Negeri ini gonjang-ganjing. Isu meluas, seorang petinggi wakil rakyat dikabarkan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk minta bagian saham. Bila sungguh terjadi sungguh menjadi aib nasional. Bagaimana mungkin perbuatan itu dilakukan seorang pemimpin tertinggi wakil rakyat yang mestinya terhormat!
Bantah membantah dan tuding menuding kian ramai. Dukung mendukung dan serang menyerang opini pun kian panas. Mahkamah Kehormatan Dewan pun turun tangan, semula agak bersandiwara tetapi atas desakan publik yang luas akhirnya mau menyidangkan secara terbuka. Apakah petinggi negara yang bersangkutan bersalah secara etik atau tidak? Hingga tulisan ini dipublikasikan belum diketahui hasilnya.
Sebenarnya sudah lama negeri Indonesia ini menjadi sarang para makelar, broker, dan mafia kelas hiu untuk banyak hal yang menyangkut urusan bangsa dan negara. Minyak, gas, tambang, dan sumberdaya alam lainnya dimakelari dan dijadikan lahan jarahan. Segala macam kebutuhan rakyat pun menjadi mahal, mengimpor, dan tak terjangkau rakyat. Tidak hanya keperluan sehari-hari, perkara hukum dan politik pun banyak broker atau mafianya. Itulah ulah para calo berdasi.
Calo berdasi itu perlente dan banyak menduduki posisi-posisi penting dalam kekuasaan, selain di luar kekuasaan. Kerjanya selain menjadi penghubung para pihak yang berkepentingan juga menjadi tukang catut, meras, dan menggadaikan kepentingan bangsa dan negara. Bagi mereka yang penting mendapatkan uang atau konsesi kekuasaan dalam setiap lalulintas transaksi, tak peduli tindakannya itu merugikan bangsa dan negara.
Melalui para calo berdasi itulah hutan, tanah, sumberdaya alam yang luar biasa kaya di bumi Indonesia ini dipertukarkan, digadaikan, dan dijual dengan harga murah. Mereka tidak peduli negara dan rakyat dirugikan, yang penting dirinya memperoleh fee atau uang keuntungan dari pekerjaan pencaloannya. Mereka dengan gampang menjelma menjadi hartawan-hartawan kaya raya melebihi kedudukannya sebagai petinggi negeri. Mereka banyak yang menjadi konglomerat dadakan, meski asal muasalnya tidak sedikit sosok-sosok biasa.
Para calo berdasi itu pekerjaannya seperti lintah darat modern. Pandai memancing para pihak untuk bertransaksi dan menentukan proyek-proyek raksasa. Anggaran negara pun dapat dipercalokan sehingga jatuh ke tangan-tangan yang rakus, sekaligus dirinya memperoleh keuntungan yang besar dengan ongkang kaki. Mereka biasa disogok dan menyogok demi proyek-proyek yang mendatangkan keuntungan melimpah. Para calo berdasi itu bisa menjelma menjadi para mafia atau mafioso.
Para pelaku pencaloan itu beragam wajah. Mereka yang tergolong kelas bawah, menengah, hingga kelas atas. Di antara oknum-oknum partai politik, bahkan ormas keagamaan pun tidak jarang melakukan pekerjaan pencaloan itu demi kepentingan diri dan golongan atau kroninya. Mereka bisa menjadi staf khusus, staf ahli, dan apa saja yang dibawa para petinggi kuasa yang berasal dari partai politik atau golongannya. Kalangan profesional dan pejabat karir pun sering kalah kuasa oleh para calo berdasi itu. Pekerjaannya hilir mudik dan merasuk ke semua lingkungan.
Pada umumnya calo berdasi itu bermain dalam situasi yang rawan dan sering memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan sebesar-besarnya. Perbuatan mereka sering tersembunyi, mempertaruhkan hajat hidup publik, berdusta, menipu, dan mengorbankan urusan bangsa dan negara. Para calo berdasi itu perangainya rakus hanya untuk memperkaya diri sendiri atau bersama kroninya dengan mengorbankan kepentingan umum. Rakyat dan negara dirugikan oleh para calo berdasi itu.
Perbuatan calo berdasi itu batil. Islam sungguh melarang umatnya memakan harta yang subhat hingga haram. Allah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs An-Nisa’: 29).• A. Nuha