Etika merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan. Selain hukum, etika merupakan dasar manusia menata lika-liku perjalanan peradaban. Jika etika ini diabaikan oleh setiap insan, sudah barang tentu, hukum berpotensi akan rusak diterobosnya. Dan akibatnya, pranata sosial yang ada akan porak poranda.
Hal-hal itulah, yang kini, sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat Indonesia, yakni ihwal etika elit negeri. Gonjang-ganjing yang terjadi di antara para pemangku kebijakan, semakin hari, semakin disoroti oleh publik. Seolah, hampir sudah tidak percaya terhadap penegakan hukum di negara yang subur nan makmur ini. Masyarakat hanya ingin melihat nilai-nilai kemanusiaan yang ada di setiap diri pribadi elit negeri, yaitu nilai etikanya dalam menyelenggarakan pemerintahan Indonesia.
Rakyat banyak gusar dengan sikap yang dipertontonkan para elit negeri, terkhusus para politisi dan birokrat yang terlibat dalam aneka kegaduhan politik. Empat tokoh yang hadir dalam Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat malam (4/12), yang bertema “Etika Publik Elit Negeri” ini, yakni Ahmad Syafii Maarif, Sholahudin Wahid, Mohammad Sobari, Dr Haedar Nashir semuanya mengkritisi elit negeri yang tidak mampu memperlihatkan etika luhurnya kepada publik.
Menurut budayawan Mohammad Sobari, etika para elit negeri sungguh sudah tidak ada. “Etika publik sudah mati,” ujar Sobari yang terkesan kecewa.
Kepada para hadirin, Sobari juga menyatakan, sesungguhnya dari budaya negeri ini banyak sumber keluhuran yang sangat dahsyat yang bisa dijadikan nilai-nilai luhur etika di Indonesia. Bahkan, menurutnya, nilai-nilai etika itu sudah sangat tertanam di pedesaan-pedesaan sejak lama.
Sobari juga mengungkapkan, etika seharusnya menjadi dimensi kognitif hidup setiap orang, apalagi seorang muslim. Etika seharusnya bisa menjadi dimensi afektif. Yakni, keseimbangan dimensi kognitif dan afektif dari etika tersebut bisa diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Sehingga, etika menjadi dimensi evaluatif bagi setiap insan. Dimensi-dimensi itu, lanjutnya, diharapkan dapat terserap dan memang termanifestasi dalam hidup. Dan tolok ukur, puncak tertinggi etika bagi umat Islam menurut Sobari adalah Nabi Muhammad. “Rasul adalah puncak etika,” katanya.
Senada dengan hal itu, ketika menanggapi etika elit negeri di Indonesia ini, pengasuh Pesantren Tebu Ireng Sholahudin Wahid mengatakan, seruan-seruan moral yang dilontarkan kepada elit negeri oleh setiap pihak dianggap lewat begitu lalu saja. “Seperti khutbah di atas bukit yang tersapu oleh angin,” ujarnya menganalogikan. Kisruh yang terjadi yang melibatkan Mahkamah Kehormatan Dewan Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia dan beberapa pihak, menurutnya, justru tidak memahami apa yang disebut etika. Sebab, tutur dia, hal-hal yang substansi terkait etika malahan sama sekali diabaikan.
Gus Sholah juga menegaskan, saat ini, bangsa Indonesia seolah kehilangan keteladanan. Oleh karena itu, menurut Gus Sholah, penerapan etika pun mesti dimulai dari setiap diri masing-masing. Tak terkecuali kaum muda diharapkan menyadari ini.
Di sisi lain, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Ahmad Syafii Maarif mengatakan, etika di tanah Nusantara ini sudah tidak menentu. “Tingkatnya bukan mati, tapi lumpuh,” ujarnya menyesalkan etika elit negeri.
Buya Maarif juga mengatakan kalau runtuhnya peradaban Islam, lantaran umat Islam belum mampu menyeimbangkan kepentingan dunia dan akhirat secara seimbang. Padahal, wahyu yang diturunkan Allah, mengarahkan agar peradaban Islam ini semakin maju. Bukan justru saling menyangsikan satu sama lain sesama umat Islam.
Karena itu, ukuran khairu ummah, atau umat yang maju, harus benar-benar jelas. Yakni, dipikirkan secara serius oleh umat Islam. Elit Indonesia, harus menjunjung nilai-nilai Islam terutama soal etika dalam mengemban amanah.
“Tapi saya tidak mau mengajak pada putus asa. Di ujung lorong sana ada lilin-lilin kecil. Masih ada harapan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah melalui muktamarnya, terus berkomitmen kuat untuk menjadi pemandu moral. Hal ini dilakukan, lantaran ada sisi paradoks yang terjadi dalam kehidupan politik bangsa Indonesia.
Kekuasaan, menurut Haedar, jika kehilangan nilai spiritual, maka rentan terjadi deviasi atau penyimpangan. Seperti hal yang diperlihatkan elit negeri di MKD DPR RI. Di sana justru yang ada adalah peragaan kekuasaan yang overdosis.• (Ridlo Abdillah)