Apapun alasannya, Muhammadiyah tidak akan membenarkan tindak terorisme. Muhammadiyah juga berpandangan kalau terorisme adalah musuh bagi semua peradaban. Walau begitu, berbeda dengan pemerintah RI dan ormas Islam yang lain. Muhammadiyah tidak sepakat jika program deradikalisme yang kini tengah dijalankan pemerintah terus dilanjutkan, apalagi jika dijadikan program nasional.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr H Haedar Nashir, saat menjadi pembicara kunci di seminar yang digelar Suara Muhammadiyah di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (29/2).
“Muhamadiyah tidak akan masuk gerakan deradikalisme karena akan terjebak kepentingan proyek,” ujar Haedar.
Haedar juga menyatakan, bahwa siapapun telah sepakat bahwa kekerasan atas nama apapun harus dihadapi dan dihentikan. Akan tetapi, bila proyek deradikalisme terus berlanjut pasti akan membawa dampak yang sangat tidak sederhana. Apalagi deradikalisme yang diusung dalam proyek ini selalu dikaitkan Islam.
Menurut Haedar, ekstrem tidak boleh dilawan dengan ekstrem karena hanya akan melahirkan bentuk ektremisme baru. Maka akan jadi masalah kalau kelompok Islam yang selama ini moderat seperti Muhammadiyah malah ikut menjadi radikal dengan bergabung dalam program deradikalisme.
Selain itu, ketika program deradikalisme ini dijadikan sebagai sebuah proyek maka akan terkait dengan dana, sumber pendanaan, sponsor dan sebagainya. Jika ini terjadi, maka program ini akan sangat sulit dihentikan. Ketika sudah tidak ada teroris pun program itu akan tetap berusaha dipertahankan.
Program deradikalisme ini kalau diterapkan secara nasional juga akan hanya menciptakan atmosfer yang kurang sehat. Indonesia terkesan penuh berisi teroris.
Kampung-kampung yang yang tidak mempunyai potensi radikalisme akan menjadi ikut heboh. Apalagi ada suatu kemetenrian di satu daerah yang mengumpulkan pemangku masjid serta KUA untuk diradikalisasi, padahal daerah itu tidak ada potensi radikalisme apalagi terorisme.
“Kalau ini terus terjadi, maka akan akan demam deradikalisme hingga atmosefer yang tidak perlu. Ibaratnya kita itu akan melempar nyamuk dengan batu”.
Dalam seminar “moderasi antitesis radikalisme dan deradikalisme” yang merupakan rangkaian dari acara Milad ke-101 Majalah Suara Muhamadiyah ini, Haedar Nashir juga menyayangkan data yang kurang valid dari pemerintah tentang potensi radikalisme.
“Semula dikatakan ada 49 pesantren terindikasi, namun ketika data dibantah oleh pihak yang terkait dengan pensantren yang terindikasi, data tersebut menyusut menjadi 19. Padahal, data itu diklaim diperoleh lewat serangkaian validasi,” tandas Haedar.
Oleh karena itu, di tiap kesempatan Muhamadiyah selalu mengusulkan penanganan terorisme dengan cara blocking area juga dengan pendekatan lebih soft. Moderasi jauh efektif untuk membendung arus radikalisme. [k’ies]