Oleh: Imron Nasri
Prof Dr Khaled M Abou El Fadl, guru besar hukum Islam di University of California at Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, mengatakan, secara sejarah, dunia Islam tak mengerti dengan baik dunia Barat. Barat juga tak tahu tentang Islam. “Secara historis, citra Islam di Barat jauh lebih buruk daripada citra Barat di negara-negara Islam.” ujar Khaled. Pandangan semacam itu, memang seringkali muncul. Dunia Barat selalu mencitrakan Islam sebagai sebuah ajaran yang mentolerir kekerasan, mencap orang-orang Islam sebagai fundamentalis, radikal dan semacamnya. Pencitraan semacam itu, memang sudah berjalan cukup lama.
Namun sebenarnya kesan keras, radikal, fundamentalis itu, penyebabnya adalah negara-negara Barat juga. Berbagai peristiwa yang kita lihat adalah karena sikap negara-negara Barat, yang selalu memancing upaya munculnya sikap-sikap keras seperti itu. Ironisnya, pandangan semacam itu terjadi juga di tanah air, di mana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Adanya usulan, beberapa waktu yang lalu tentang penghapusan kolom agama di KTP, pencabutan Perda tentang pemakaian jilbab di Aceh, ini menunjukkan bahwa ada semacam ketakutan, yang kadang-kadang kurang beralasan, terhadap kiprah dan kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang Islam. Begitu juga ketika ada ormas Islam yang dipandang sebagai “garis keras” melakukan tindakan, itu karena sikap dan tindakan pihak-pihak yang berwenang tidak pernah tegas. Bahkan terkesan membiarkan. Itu hanya sebagian contoh,mengapa terjadi sikap keras seperti itu.
Islamophobia
Ditengah upaya melakukan dialog-dialog, di Indonesia justeru muncul sikap ketakutan terhadap Islam. Walaupun itu dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat, tetapi memunculkan dampak yang cukup serius dalam tatanan masyarakat, terutama pemerintahan. Munculnya peraturan –praturan daerah (perda) di beberapa tempat yang berbau Islam, oleh sebagian masyarakat dipersoalkan. Muncullah Islamophobia. Munculnya kasus ini, menurut pandangan Syamsul Arifin, karena adanya keterputusan dialog. “Umat Islam terlalu miskin kosa kata dalam memilih istilah. Oleh karenanya, hanya masalah istilah, kemudian menjadi menakutkan bagi sebagian pihak yang memang menyimpan semacam ketakutan pada Islam selama ini. Kita semua sepakat jika kemaksiatan itu harus kita larang, tetapi karena istilahnya yang menakutkan sebagian orang, maka tujuan baik itu menjadi kurang produktif. Kalau kita bisa memilih kosakata yang baik mungkin masalahnya akan lain” ujarnya
Yang lebih parah lagi ketakutan itu tidak hanya secara lokal (Indonesia) saja, tapi sudah mendunia. Ketakutan itu muncul karena Indonesia sangat potensial untuk menjadi negara besar. Baik dilihat dari potensi sumber daya alamnya maupun penduduknya. Kalau Islamophobia tersingkirkan (dari Indonesia), maka akan menjadi ancaman besar bagi Barat. Namun dalam pandangan Prof Dr Ali Mufrodi, munculnya sikap Islamophobi ini, karena semakin antipatinya penganut Islamophobi terhadap Islam. Sehingga mereka selalu membuat berbagai macam cara untuk memfitnah umat Islam dan berusaha menjerumuskannya dengan isu-isu yang menyesatkan. Opini dunia, seolah-olah umat Islam itu kejam, membunuh orang yang tidak berdosa, termasuk melakukan pemboman di pusat-pusat keramaian.
Melihat fenomena seperti itu, menurut guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, nampaknya umat Islam terutama tokoh-tokoh Islam di Indonesia segera mengambil inisiatif sebagai mediator atau fasilitator untuk mempertemukan mereka yang terlibat konflik untuk bisa terbuka apa sebenarnya yang mereka inginkan. Adanya upaya dialog ini, menurut Prof Dr Bambang Cipto, MA, rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini, upaya penyelesaiannya adalah dengan dialog yang menampilkan kedua pihak. Sehingga masing-masing bisa memahami eksistensinya sekalipun sangat sulit untuk damai. Minimal bisa mengurangi konflik yang panjang. Karena menurutnya, konflik antara Islam garis keras dengan Islamophobi, secara politik merugikan umat Islam, khususnya umat Islam di Indonesia. Masalahnya, menurut Bambang Cipto, ini karena memang media massa baik yang ada di Indonesia dan media asing sering menyoroti hal-hal yang dramatis seperti itu, yakni konflik Islamophobi dengan Islam garis keras. “Ini sangat merugikan umat Islam secara politis. Karena beritanya tidak seimbang dan diskriminatif dan ini nampaknya sudah menjadi bulan-bulanan media.”
Selain itu, menurut Bambang Cipto, pesoalan itu menjadi rumit,karena umat Islam lemah dalam koordinasi. Umat Islam kurang mampu mengimbanginya, karena tokoh Islam berjalan sendiri-sendiri dan berkomentar sendiri, sehingga muncul kesan umat Islam terpecah-pecah. Sehingga kekuatan non Islam mudah melumpuhkannya. Bahkan media menggiring Islam sebagai gerakan radikal, di mana konflik semakin meluas tidak hanya di bidang politik saja tetapi juga di bidang ekonomi bahkan militer.
Prof Khaled, mengatakan juga sebagaimana dikatakan Bambang Cipto bahwa, media juga memperkuat streotipe tentang Islam. Ketika ada orang tertentu yang berteriak Allahu Akbar sebelum melakukan perusakan, maka segera disebarkan oleh media. Untuk itu menurut Prof Khaled, kaum Muslim perlu sering-sering untuk menjelaskan Islam kepada Barat. “Satu suara untuk mengatasi mispersepsi ini tak cukup. Kalau saya yang memberi penjelasan, mereka bilang saya hanya mewakili diri sendiri, “ tutur Khaled.
Cuma, Khaled mengatakan, cukup susah mendapatkan buku-buku tentang Islam yang benar-benar mewakili Islam. “dalam beberapa tahun terakhir, hanya tiga buku Islam yang ditulis orang Islam. Lima puluh buku lainnya ditulis oleh non Muslim,” Hal ini tentu memunculkan masalah baru, mengapa bukan orang Islam sendiri yang menjelaskan agamanya? Pertanyaan ini wajar muncul, karena, kata Khaled warga AS sedang memerlukan kenyamanan psikologis pasca serangan 11 September. Wallahu’alam.