Jamaah shalat Jum’at yang berbahagia.
Mari kita tingkatkan takwa kita kepada Allah SwT dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Salah satu bentuk takwa adalah memelihara sifat qana’ah, yaitu merasa cukup, rela atas hasil yang diusahakannya, dan menjauhkan diri dari rasa tidak puas terhadap ketentuan Allah.
Orang yang memiliki sifat qana’ah yakin bahwa yang diperoleh dari hasil usahanya adalah ketentuan Allah SwT dan yakin pula bahwa ketentuan tersebut adalah yang terbaik untuk dirinya. Mereka senantiasa bersyukur atas nikmat Allah SwT, dan senantiasa sabar atas cobaan yang diberikan oleh Allah SwT.
Orang yang qana’ah sangat beruntung baik di dunia maupun di akhirat. Abdullah bin Amr’ Rasulullah bersabda;
“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi rizki yang cukup dan Allah menganugerahi sifat qana’ah atas apa yang telah diberikan-Nya,” (HR Muslim).
Qana’ah tidak sama dengan putus asa atau nglokro yang bisa membuat manusia jadi malas. Malas itu sendiri dibenci dalam Islam.
Qana’ah juga tidak sama persis dengan pepatah Jawa nrimo ing pandum. Qana’ah bukan berarti tidak boleh berusaha. Qana’ah tetap harus disertai dengan usaha yang gigih dan sungguh-sungguh.
Orang yang memiliki sifat Qana’ah sadar bahwa semua nikmat itu datangnya dari Allah SwT. Bukan dari siapa-siapa. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surah An-Nahl (16): 53;
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…”
Jamaah shalat Jum’at yang berbahagia.
Menjadi orang yang qana’ah tidak gampang. Nafsu selalu memacu manusia agar terus mengejar kepuasan, baik kepuasan kepemilikan harta, jabatan, kekuasaan, popularitas, wanita, dan sebagainya. Padahal kepuasan itu tidak ada batasnya. Akhirnya banyak orang terjerumus ke dalam jalan setan seperti menipu, merampok, korupsi, bahkan mengemis, dan lain-lain.
Ada baiknya kita merenungkan anjuran Rasulullah saw bagaimana ukuran orang yang qana’ah itu. Dalam sebuah hadits dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda;
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya,” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa tiga nikmat di atas jika telah ada dalam diri seorang muslim, maka itu sudah jadi nikmat yang besar. Siapa yang di pagi hari mendapatkan tiga nikmat tersebut berarti ia telah memiliki dunia seisinya.
Jamaah shalat Jum’at yang berbahagia.
Banyak orang mengikuti hawa nafsu, berlomba-lomba mengejar kepuasan tanpa memperhatikan rambu-rambu, akhirnya justru terjungkal ke dalam lembah kehancuran, seperti dipenjara dan sebagainya.
Dalam Islam memang tidak dilarang mengejar kekayaan dan kepuasan lainnya, asal dilakukan sesuai dengan rambu-rambu. Dari Abdullah bin Hubaib, Rasulullah saw bersabda;
“Tidak masalah memiliki kekayaan bagi orang yang bertakwa kepada Allah. Sementara kesehatan bagi orang yang bertakwa kepada Allah, lebih baik daripada kekayaan. Dan jiwa yang tenang termasuk kenikmatan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Orang yang takwa sadar bahwa harta benda yang melimpah bukanlah segalanya. Harta yang melimpah tidak menjamin seseorang bisa bahagia. Kiranya benar sabda Rasulullah saw seperti berikut;
”Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Jamaah shalat Jum’at yang berbahagia.
Cara yang baik untuk memelihara sifat qana’ah dan menghilangkan rasa tamak, yaitu dengan memperhatikan hadits Nabi sebagai berikut yang artinya ”Lihatlah pada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah perhatikan orang yang berada di atas kalian. Lebih pantas engkau berakhlak seperti itu sehingga engkau tidak meremahkan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadamu.” (HR. Ibnu Majah).
Tentu saja hadits ini berlaku untuk urusan duniawi, bukan untuk urusan ukhrawi. Dalam urusan duniawi seperti kepemilikan harta, kita harus melihat orang yang berada di bawah kita. Tetapi dalam urusan ukhrawi kita harus melihat orang yang ada di atasnya. Kita harus berlomba-lomba melakukan ibadah dan kebaikan.
Jamaah yang berbahagia, semoga khutbah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien!
Marilah pada khutbah yang kedua ini kita khusyukkan hati kita untuk berdoa ke hadirat Allah SwT agar kita selalu mendapatkan hidayah dan bimbingan-Nya.•
———————————
Drs H Maghfur Saan, Mubaligh Muhammadiyah di Batang, Jawa Tengah.