Oleh Hatib Rahmawa, Anggota MPK PP Muhammadiyah
Tidak terasa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sudah mencapai umur 52 tahun. Sebuah umur yang tidak bisa dikatakan muda. Dalam rentan sejarah, sejak lahirnya tahun 1964 hingga saat ini, tentulah banyak kiprah yang diberikan IMM kepada Muhammadiyah, terutama mensuplai aktor-aktor penggerak dan pemimpin di internal Muhammadiyah, di berbagai level mulai ranting hingga pusat. Persebaran alumni-alumninya di berbagai AUM, mulai dari AUM Kesehatan, Keuangan, bahkan Pendidikan juga memberikan warna tersendiri. Di luar itu, banyak pula alumni yang berkiprah dalam dunia politik, gerakan sosial, dan berbagai komunitas lainnya, yang tentu saja, dalam pengamatan penulis, mereka semua masih konsisten membawa identitas Muhammadiyah. Moral mereka dapat diuji ketangguhannya, meskipun penulis yakin godaan syahwat dan nafsu dunia jauh lebih berat ketimbang penulis yang masih berkiprah di internal Muhammadiyah.
Berdasarkan kisah dan penuturan para founding father IMM, mulai dari H. Rosyad Soleh, Samsu Hudaya Nurdin, dr. H. Sudibyo Markus, dan sederetan tokoh yang penulis tidak dapat sebutkan namanya satu persatu, cikal bakal berdirinya IMM berawal dari kelompok-kelompok kajian di kampus-kampus. Orientasinya adalah mensiarkan Islam di lingkungan kampus. Pada waktu itu IMM terlihat agak menjauhi hiruk-pikuk politik kampus, meskipun beberapa tokoh awal IMM, seperti almarhum Djazman Alkindi sudah aktif di Golkar, dan Muhammad Amin Rais menjadi aktor penggerak reformasi. Itulah sebabnya ranah gerak IMM, salah satunya adalah kemasyarakatan, selain keagamaan dan keilmuan.
Bersemainya IMM di lingkungan kampus menjadi keuntungan tersendiri untuk Muhammadiyah. Pertama, banyak dari kader-kader IPM, ataupun anak dari keluarga Muhammadiyah yang dapat meneruskan perkaderannya di lingkungan kampus. Kedua, dari rahim perkaderan IMM banyak melahirkan kader-kader intelektual yang kiprahnya sangat dinanti-nanti untuk memperkuat AUM yang selama ini miskin kader intelektual-ideologis. Kader-kader intelektual-ideologis inilah yang susah dicari.
Rasionalitas Kader IMM
Dikarenakan hidupnya di kampus, dimana kultur ilmiah berkembang, wajarlah jika kader IMM menjadi sangat rasional. Rasionalitas kader IMM yang tumbuh secara alamiah ini bukanlah ancaman bagi Muhammadiyah. Sebab Muhammadiyah sejak awal berdirinya juga mencerminkan sisi rasionalitas. Salah satu ciri gerakan modernis menurut Barton adalah rasionalitasnya. Muhammadiyah menjadi sangat rasional jika dibandingkan dengan gerakan revivalis lainnya.
Menurut penulis rasionalitas Muhammadiyah bersumber dari kepribadian dan sikap KH. Ahmad Dahlan sebagai figur central gerakan Muhammadiyah. Interaksi KH. Ahmad Dahlan dengan dunia luar membuka cakrawala dan kemapanan pemikirannya. Sebagai misal pertemuannya dengan Abduh, tokoh pembaruan Mesir. Bukankah fikiran-fikiran Abduh menjadi inspirasi KH. Ahmad Dahlan? Siapa Abduh? Salah seorang pembaharu dari Mesir yang terkenal dengan rasionalitas tafsirnya, al-Manar. Abduh belajar kepada Jamaluddin Al-Afghani. Siapa Jamaluddin al-Afghani? Salah seorang tokoh pembaharu yang kekeuh mengkampanyekan pintu ijtihad masih terbuka lebar. Tokoh yang sampai akhir hayatnya memilih melajang hanya untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme Islam. Hamka, dengan apik dalam bukunya Jamaluddin Al-Afghani, menceritakan bagaimana sosok tersebut dari kafe ke kafe mendidik mahasiswa berfikir rasional. Jangan menolak filsafat. Sebab bagaimanapun juga di dalam ilmu tersebut manusia diajarkan kebijaksanaan. Manusia diajarkan berfikir sistematis. Manusia diajarkan cara berfikir ilmiah.
Muhammadiyah sejak awal berdirinya tegas menolak TBC, Tahayul Bid’ah Churafat. Sadar atau tidak sadar penolakan terhadap TBC dalam perspektif Muhammadiyah berdampak pada rasionalitas pengikut dan gerakannya. TBC selain menghancurkan akidah, sangat jelas merusak akal. Padahal akal adalah pondasi rasionalitas. Tahayul adalah khayalan yang diyakini kebenarannya. Khayalan itu sama dengan mythos, dalam bahasa Inggris, yang dasarnya tidak ilmiah. Keyakinan yang berangkat dari rekaan-rekaan belaka. Tahayul atau mitos muncul akibat manusia gagal mendefinisikan tanda-tanda alam. Ketika terjadi gerhana dianggap matahari atau sedang dimakan Buto. Sehingga penduduk harus memukul kentongan agar raksasa yang dianggap Buto itu pergi. Merapi meletus dianggap Mbah Petruk, sang penunggu, sedang marah, dan berbagai contoh lainnya. Larangan bertahayul yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah dapat menentramkan hati orang-orang yang beriman. Namun jika tidak dibarengi dengan penjelasan ilmiah (rasional) akal terasa kering. Ilmu tidak akan berkembang. Umat Islam akan semakin terbelakang.
Begitu pula bid’ah, di satu sisi menyelamatkan agama namun di sisi lain menumbuhsuburkan rasionalitas. Mengapa begitu? Bid’ah sebagaimana yang kita pahami adalah menambah-nambah atau mengurang-ngurangi dalam hal ibadah. Apa yang tidak diajarkan dalam hal ibadah jangan dilakukan. Dalam ibadah tidak ada kreasi. Patuh dan taat tidak lebih dari itu. Dari definisi ini kita diajak meninjau kembali tradisi (tepatnya) kebiasaan yang sering dilakukan. Tradisi yang sudah mapan dipertanyakan kembali—bukankah mempertanyakan hal yang sudah mapan bagian dari berfilsafat? Dalam shalat misalnya, membaca ‘sayidina’ boleh tidak? Niat butuh dilafalkan tidak? Segudang pertanyaan akhirnya muncul, dan ini mendorong para ulama di Muhammadiyah membuka kembali dasar-dasar agama, menggiring mereka untuk melakukan ijtihad.
Kesimpulannya apa? Tidak boleh taqlid pada tradisi. Meskipun pendapat tersebut menyelisihi para imam madzhab Muhammadiyah tetap kekeuh dengan sikapnya. Menghindari taqlid, dan mendorong ittiba’ pada Rasulullah saw. adalah proses yang sangat rasional. Bukankah makna ittiba’ adalah yattabi’u saian bil hujjin, mengikuti sesuatu dengan hujjah (argumen). Maka sering muncul pernyataan argumen itu harus rasional, maksudnya adalah harus mendasar. Tidak boleh sembarang atau asal. Harus ada dasarnya, dalam al-Qur’an maupun sunnah. Pola seperti ini dalam kerangka filsafat ilmu masuk dalam kajian epistemologi. Terlepas sadar atau tidak sadar proses ini adalah bagian dari berfikir filosofis.
Jika problem yang dibahas di luar ibadah, keterlibatan disiplin ilmu lainnya sangatlah dibutuhkan. Kasus shalat gerhana, penentuan awal bulan, adalah contoh kongkrit yang tidak dapat dielakan. Muhammadiyah tegas membedakan mana wilayah ta’aquli (perkara ilmu, rasio) dan mana wilayah ta’abudi (ibadah). Dalam bahasa lainnya dinamisasi dalam mu’amalah, dan purifikasi dalam ibadah. Dalam wilayah mu’amalah inovasi berperan penting. Darimana memunculkan inovasi kalau bukan dari akal. Bagaimana akal dapat berkembang baik kalau tidak rasional?
Setidaknya rasionalitas Muhammadiyah dapat dipelajari dari sosok KH. Ahmad Dahlan. Lihatlah bagaimana cara berpakaian KH. Ahmad Dahlan. Mulai dari atas, sorbanya mencerminkan keislaman. Maknanya, bagaimanapun seseorang berfikir haruslah diikat dengan ruh Islam, yang tidak lain al-Qur’an dan Sunnah. Turun agak ke bawah, bajunya yang ala Belanda itu memberikan kesan umat Islam harus keluar dari tradisi yang selama ini membelenggu. Dalam perkara dunia, Muhammadiyah harus dinamis. Jangan sampai perkara dunia disakralkan layaknya ibadah. Tasyabuh dalam perkara ini bukanlah perkara. Muhammadiyah harus luwes dan luas dalam pergaulan. Turun agak ke bawah, jarik dan terumpah ala priyai menegaskan, dimana bumi dipijak di situlah langit di jinjing. Betapa tingginya Muhammadiyah bercita-cita, namun kakinya tetap di Indonesia. Muhammadiyah ikut melahirkan sebuah negera yang bernama Indonesia. Olehkarena itu hukum di Indonesia juga harus ditegakkan.
Simbolisasi KH. Ahmad Dahlan tersebut sangatlah tepat, dan begitulah ia mengajarkan kepada pengikutnya. Ia tidak suka berteori, namun apa yang difikirkannya langsung dilaksanakan, dan kita tidak perlu berdebat memberikan penafsiran lagi sebab hal tersebut nyata. Penampilan KH. Dahlan adalah epistemologi berjalan yang sangat kongkrit. Caranya merubah paham agama adalah dengan gerakan yang kongkrit, langsung dilaksanakan. Anehnya, kita saat ini masih berdebat terkait kerukunan ummat beragama, sementara KH. Dahlan sudah mengajar di Kweekschool, sekolah Belanda yang nota benenya sekolah nasrani. KH. Ahmad Dahlan telah bolak-balik masuk gereja Van Lith di Muntilan, konon gereja terbesar di Asia Tenggara, bahkan tak segan menantangnya berdebat. Kita saat ini masih berdebat tentang musik, halal atau haram, sementara KH. Dahlan sudah mengajarkan musik di sekolah yang dibangunnya. Ia juga menghidupkan marching band, tradisi anak-anak Belanda, di kalangan pribumi melalui HW. Kita saat ini masih berdebat perkara tasyabuh, sementara KH. Dahlan sudah menggunakan jas model Belanda, untuk menegaskan mana sesungguhnya urusan dunia dan mana sesungguhnya yang masuk urusan ibadah.
Harapan terhadap IMM dan Muhammadiyah
Apa yang penulis paparkan di atas, merupakan pengalaman riil ketika menjadi aktivitis IMM. Muhammadiyah dalam benak kader IMM adalah gerakan rasional. Dialektika pemikiran keislaman yang sarat dengan tradisi rasionalitas merupakan kelaziman yang tidak perlu dikhawatirkan. Itulah kekuatan IMM, dan itu merupakan keuntungan Muhammadiyah juga. Hal yang tidak pernah penulis lupakan adalah kerangka berpikir objektif yang diwariskan almarhum Kuntowijoyo, yang mana pada waktu itu karya-karyanya menjadi bacaan wajib kader IMM di era penulis. Almarhum mengajak umat Islam melakukan pengilmuan Islam, bukan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Pengilmuan Islam adalah sebuah upaya menghadirkan gagasan-gaagsan Islam ke publik, menjadi sebuah ilmu yang dapat diakses semua golongan tanpa ada sekat atau dinding berupa doktrin agama. Menurut Kunto, selama ini gagasan Islam hanya berlaku ke dalam (untuk ummat Islam), padahal ajaran Islam adalah ajaran rahmatan lil alamin (universal), yang mestinya dapat dirasakan manfaatnya oleh semua golongan. Pada wilayah inilah secara tidak disadari peran dan fungsi IMM saat ini diterapkan. Bagaimana kader-kader IMM memformulasikan gagasan-gagasan Islam tersebut sebagai alternatif dan jawaban terhadap dominasi ilmu pengetahuan barat yang matrealistik dan terkesan hegemonik, dipaksakan dalam sebuah sub kultur yang berbeda.
Kunto sangat menghindari terminologi Islamisasi ilmu pengetahuan, yang menurutnya terkesan reaktif dan sporadis. Umat Islam dalam proses ini bersifat pasif, tidak produktif, apalagi proaktif. Umat Islam terlihat menunggu dan selalu tertinggal. Ketika barat sudah menemukan berbagai hal barulah kemudian intelektual Islam mencarikan dalilnya, bahwa hal ini sudah ada dalam al-Qur’an, ternyata dalam hadis hal ini sudah dibahas lama. Sikap seperti inilah yang membuat Islam tidak pernah maju di garda depan. Ummat Islam hanya puas dengan dasar agamanya, tanpa mampu memproduksi gagasan baru.
Memang tugas sebagaimana yang diharapkan Kunto tersebut tidaklah sederhana. Kalau hanya IMM, jadi pepesan belaka. Olehkarena itu hal ini harus menjadi kesadaran kolektif intelektual Muhammadiyah, baik yang ada di struktur maupun di luar struktur, terlebih yang berada dalam dunia kampus. Penulis bukan hendak mengkerdilkan IMM, namun cuma berbagi peran. IMM lebih tepat menjadi wadah persemaian kader rasional-ideologis. Selamat Milad IMM.