Radikalisme di mana dan kapan pun selalu menjadi masalah dalam kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Lebih-lebih ketika radikalisme itu berwujud aksi kekerasan yang merugikan kehidupan bersama seperti antara lain konflik fisik, teror atau terorisme, hingga perang secara terbuka. Apapun alasan atau motifnya, termasuk atas dorongan keyakinan agama atau membela paham tertentu, radikalisme tetap bermasalah. Sejarah perang misalnya atau konflik sosial dan teorisme, selalu menjadi trauma sosial yang awet dan memilukan dalam kehidupan umat manusia.
Di Indonesia saat ini pemerintah dan masyatakat dicekam oleh sejumlah peristiwa terorisme. Bom Sarinah memang tidak eksplosif, tetapi hebohnya di dalam dan ke luar negeri luar biasa. Meski sementara pihak ada yang mengeritisi dan melihat beberapa kejanggalan, tetapi berita dan tanggapan yang berkembang sangatlah meluas dan menjadi keprihatinan serius semua pihak. Kekerasan tetap kekerasan. Bom tetap membahayakan nyawa manusia, yang tidak dapat ditoleransi. Semua pihak, termasuk Muhammadiyah mengecam keras tindakan kekerasan seperti itu.
Namun menyangkut bagaimana kadar merespons dan strategi menghadapi terorisme sebagai salah satu bentuk radikalisme ternyata tidak tunggal atau seragam. Pandangan tentang radikalisme bermacam-macam, demikian halnya dengan kontra-radikalisme yang disebut dengan deradikalisme tak satu pandangan. Dalam kaitan ini, memang banyak masalah yang rumit atau kompleks, tidak dapat dipandang dan dihadapi secara simpel atau sederhana, memerlukan sudut pandang dan cara yang menyeluruh.
Radikalisme
Radikalisme pada awalnya bukan sesuatu yang berbahaya. Radikal itu “to radic”, yakni kembali pada “akar”, sesuatu yang dipandang mendasar sebagaimana fungsi akar bagi sebuah pohon. Dalam beragama orang yang kembali pada “radic” atau “akar” ingin segala sesuatu berpijak pada akar keyakinan, yaitu prinsip-prinsip mendasar yang menjadi pedoman bagi setiap orang beriman atau beragama. Dalam Islam kembali pada tauhid sebagai dasar keyakinan utama.
Namun karena orang berpaham atau beragama yang serba kembali “ke akar”, biasanya kemudian menjadi kaku, tidak mau kompromi, dan mengabsolutkan atau memutlakkan pandangan keyakinannya. Lebih-lebih tatkala sikap yang dogmatik seperti itu didasari oleh pandangan yang terbatas, sempit, dan parsial atau tidak menyeluruh mengenai sesuatu yang dipandang mendasar itu. Hanya terbatas pada satu ayat atau bahkan kata secara harfiah, kemudian melahirkan absolutisme pandangan atau paham, yang lahir ialah merasa diri paling benar dengan pemahamannya dan memandang yang lain salah, ketika diaplikasikan lantas melahirkan pandangan radikal sempit tetapi diabsolutkan.
Seperti pemahaman Imam Samudra tentang “irhab” (turhibuna) dalam ayat ke-60 Surat Al-Anfal sebagai “teror”, sehingga tindakan teror itu menurut dirinya dibenarkan oleh agama. Demikian pula makna “jihad” sebagai “qital” benar adanya, di samping makna lain, dan Rasulullah beberapa kali berperang. Tetapi ketika jihad perang itu dilakukan berdasarkan pandangan sekelompok kecil orang, dengan motif dan kondisi yang berbeda, maka lahirlah sikap radikal yang absolut tadi. Pandangan seperti itulah yang melahirkan radikalisme dalam makna dan pemahaman umum selama ini.
Dalam pandangan Anthony Giddens, sikap radikal atau radikalisme cenderung berpaham keras, dan di antara mereka yang radikal terdapat sikap revolusioner, meskipun tidak semuanya seperti itu. Kaum radikal apapun akhirnya cenderung bersikap keras dan membenarkan kekerasan, termasuk kekerasan atasnama agama atau dalam kehidupan orang beragama. Karena kekerasan itu menjadi paham atau pandangan yang diabsolutkan, maka lahirlah radikalisme. Sedangkan tindakan atau prosesnya disebut radikalisasi, serta pelakunya dikenal sebagai orang radikal atau radikalis. Tindakan teror dan terorisme termasuk dalam kategori radikal, radikalisasi, radikalis, dan radikalisme dalam pengertian sebagaimana diuraikan di atas.
Deradikalisme
Pemerintah terutama melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan sejumlah pihak melakukan strategi “deradikalisasi” atau “deradikalisme” dalam menghadapi radikalisasi atau radikalisme. Ekstrem dilawan ekstrem. Guna menghadapi kekerasan seperti terorisme harus dilawan dengan kontra-kekerasan, baik dengan pendekatan yang lunak (soft-approach) maupun keras (hard-approach).
Konsep dasar deradikalisasi cukup baik, yakni menangkal sekaligus menawarkan terapi atas radikalisasi. Pemikiran dasarnya bersifat antitesis, bahwa radikalisasi dilawan atau kontra deradikalisasi dan radikalisme kontra deradikalisme. Terdapat pembongkaran atau penihilan terhadap radikalisme seperti suatu serum antibodi, sehingga diharapkan radikalisme hilang atau tereliminasi.
Namun setiap bentuk kontra selalu menimbulkan benturan keras. Nilai-nilai ajaran agama yang dipandang memberi sinyal atau arti pada hal-hal yang dapat memicu paham dan sikap radikal dinihilkan atau dibongkar seolah bukan bagian dari ajaran. Sebaliknya diproduksi hal-hal yang dipandang mendukung sikap toleran yang dapat menghilangkan sikap radikal. Hal yang demikian tentu baik tetapi mengandung kelemahan juga, karena letaknya bukan sekadar pada reduksi substansi ajaran semata tetapi pada keluasan pemaknaan, sehingga yang diperlukan ialah tafsir yang luas dan komprehensif.
Problem lain dalam pendekatan deradikalisasi terkandung unsur radikal juga, yang bersifat dekonstruksi. Jika pada paham radikalisme terkandung ajaran atau ideologi Islam yang serba absolut atau diabsolutkan, pada paham deradikalisme terkandung ekstrimitas yang lain yakni relativisme sebagaimana muatan paham dekonstruksi. Meminjam padanan konsep Tariq Ali, terjadi “clash of fundamentalism” atau benturan antardua paham ekstrem kaum fundamentalis, yang satu cenderung serba tekstual-konservatif sedangkan yang satunya lagi serba kontekstual-liberal. Radikalisme dalam paradigma konservativisme-fundamentalisme versus deradikalisme dalam paradigma liberalisme.
Catatan lain dari program deradikalisasi dan deradikalisme ialah kecenderungan melawan radikalisme sebagai suatu “proyek”, baik berskala nasional maupun internasional. Banyak pihak terlibat untuk menanam “saham” dalam proyek radikalisasi itu, sehingga berlomba merangsang sebanyak mungkin pihak masyarakat untuk terlibat dalam melakukan kontra radikalisme melalui sponsor dan dana. Karena sebagai proyek maka kecenderungan “mengawetkan” radikalisme, sebab kalau radikalisme hilang maka tidak akan lagi ada proyek “deradikalisme”.
Akibatnya lain, terjadi perluasan area deradikalisasi sehingga berkembang pandangan dan sikap publik seolah setiap jengkal area Indonesia terdapat radikalisme. Lebih jauh, seluruh Indonesia pun seolah menjadi sarang-sarang radikalisme. Indonesia di kancah dunia pun akhirnya terkenal atau dibikin tersohor menjadi bangsa dan negeri radikalisme dan terorisme. Dampak negatif ini sangat merugikan nama Indonesia, termasuk karena sering dikaitkan dengan Islam dan ada organisasi Islam yang bergairah dalam proyek deradikalisasi maka umat Islam pun dirugikan.
Jalan Moderasi
Muhammadiyah sepakat seratus prosen untuk menolak radikalisme atau ekstrimisme seperti terorisme dan tindakan teror, lebih-lebih yang mengatasnamakan agama dan menyalahgunakan konsep jihad. Kita juga mengakui ada tindakan terorisme yang dilakukan sebagian kelompok kecil yang kebetulan beragama Islam dan membawa ajaran jihad secara serampangan. Pandangan dan tindakan teror di mana pun dan atas nama apapun di belahan dunia pernah terjadi dan mungkin akan terus terjadi.
Tindakan kontra radikalisme atau kontra terorisme dalam batas tertentu memang diperlukan dan harus dilakukan. Namun masalahnya, apakah program deradikalisme harus dipermanenkan, termasuk melalui satu institusi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pertanyaan lain, apakah seluruh daerah, kawasan, dan kondisi Indonesia harus dibikin meluas dengan proyek radikalisme itu, sehingga akhirnya terjadi demam terorisme di setiap sudut negeri? Apakah akan terus dibiarkan sekaligus dilanggengkan Indonesia dicap sebagai negara dan bangsa teroris lewat penanganan yang gaduh dan generalisasi seperti itu? Masalah ini menjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi radikalisasi dan radikalisme.
Pada saat yang sama publik juga ada yang meragukan atau bertanya-tanya untuk sejumlah kasus yang disebut tindakan teror atau terorisme, yang kejadiannya terkesan ganjil seperti di kompleks Sarinah yang lalu dan kasus lainnya. Sebagian kelompok masyarakat pun bertanya mana teroris yang aseli dan mana yang semi-aseli dan buatan. Pertanyaan kritis tersebut di alam demokrasi dan masyarakat yang cerdas sah adanya, bukan berarti bersetuju dengan terorisme. Bukan untuk menyetujui terorisme, tetapi mencari sudut pandang yang objektif dan menyeluruh serta menentukan strategi yang lebih tepat dalam menghadapi terorisme dan radikalisme di negeri ini.
Karenanya yang berkembang dalam pikiran Muhammadiyah sejak era kepemimpinan Prof Din Syamsuddin hingga kini bahwa menghadapi radikalisme sebagai ditawarkan jalan moderasi. Keras tidak harus semuanya dilawan keras, ada yang harus dihadapi keras tetapi melalui jalur hukum dan bukan sembarang ditembak mati, tetapi ada pula yang menggunakan cara lunak atau persuasi. Menghadapi radikalisme pun harus dengan pandangan menyeluruh, tidak parsial atau sebaliknya generalisasi. Program deradikalisme dan deradikalisasi cenderung parsial karena lebih berat pada proyek atau program.
Deradikalisme juga akan menjadi masalah manakala diawetkan sebagai sebuah proyek, lebih-lebih manakala melibatkan pihak dan dana asing. Sementara itu, dengan program deradikalisme antarkomponen bangsa akan saling tuding baik menyangkut paham maupun kepentingan, seperti tuduhan terus menerus terhadap paham Wahabi oleh seorang pegiat deradikalisasi. Muhammadiyah bukan menolak deradikalisasi sebagai sikap dasar menghadapi radikalisme dan terorisme, tetapi berbeda cara pandang dan strategi yang ditawarkan, bahwa menghadapi kelompok ekstrem tidak harus dengan ekstrimitas yang sama radikalnya. Kelompok Islam moderat semestinya menawarkan jalan moderasi, bukan deradikalisme yang cenderung ekstrem dan liberalisasi.
Pada posisi ini sebenarnya pendekatan moderasi dapat dijadikan jalan ketiga dalam menghadapi radikalisme. Moderasi merupakan jalan tengah untuk memilah-milah mana radikalisme yang harus dihadapi dengan pendekatan persuasi dan mana yang perlu tindakan hukum. Moderasi juga menawarkan “blocking area”, yakni melakukan lokalisasi penanganan kasus radikalisme, sehingga tidak harus dijeneralisasi atau diperluas cara penanggulangannya kecuali di area-area yang rawan radikalisme. Dengan moderasi juga tidak akan menudingkan pelaku teroris atau kaum radikal pada golongan keagamaan tertentu. Tawaran moderasi juga tidak menjadikan penanggulangan radikalisme menjadi proyek sebagaimana program deradikalisasi. Jalan moderasi lebih membawa suasana normalisasi, sehingga Indonesia tidak di-blow-up seolah menjadi negeri teroris, yang tersohor sampai ke mancanegara!•