Seruan Untuk Negara Yang Gagal

Seruan Untuk Negara Yang Gagal

Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim

Surat Ali Imron 104, dan beberapa ayat lainnya, benar-benar menginspirasi lelaki sederhana itu  untuk menggerakkan dakwah yang hingga sekarang masih terasa kuat pengaruhnya.

Perjalanan sosial dan intelektual keagamaannya dari semenjak di kampung Kauman Jogyakarta hingga Makah telah menyadarkannya ada sesuatu yang salah dalam perjalanan masyarakat Indonesia dalam waktu yang panjang. Dan kesalahan itu luar biasa sistemik sifatnya, antara lain:

Pertama, pemerintah kolonial yang sangat eksploitatif dan diskriminatif sehingga menimbulkan kesengsaraan massif. Fungsi-fungsi pelayanan, pengayoman, pembinaan yang seharusnya ditegakkan oleh negara/pemerintah tidak nampak.

Sementara kerajaan-kerajaan Islam kita makin hari makin diperlemah dengan berbagai cara. Adu domba salah satunya. Tak sedikit juga kemudian penguasa dan keluarga penguasa justru menjadi pro kolonial dan koruptif.

Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa negara/pemerintah kolonial telah melalukan viktimisasi secara sistimatik terhadap rakyat/masyarakat ( a systematic victim against the people).

Berbagai perlawanan rakyat di banyak tempat dilancarkan dipimpin oleh banyak hero termasuk para pemimpin agama. Bahkan para pujangga dan ahli agama menuliskan semangat perlawanan ini dalam Hikayat (antara lain Hikayat Perang Sabil oleh Tengku Pantee Kulu di Aceh) dan Fiqhul Jihad (Fiqih Jihad).

Spirit liberasi/liberty yang menggelora era itu banyak disebut sebagai Proto Nasionalisme, nasionalisme lokal yang nantinya menjadi bagian penting dari kebangkitan nasionalisme Indonesia yang sering kita sebut-sebut di awal abad ke dua puluh.

Kedua, politik Islam pemerintah kolonial Hindia Belanda yang juga salah kaprah dan justru menimbulkan ekses negatif bahkan terhadap pemerintah.

Kecurigaan dan ketakutan yang sangat luar biasa terhadap Islam sebagai agama yang menginspirasi perlawanan sangat mewarnai kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial terhadap Islam. Karena itu, upaya mensuboordinasikan Islam sangatlah kuat sehingga Islam dan umat Islam benar-benar di bawah kontrol/kendali pemerintah kolonial.

Jadi, sebagaimana kritik yang pernah disampaikan oleh C.Snouck Hugronje dalam salah satu nasehatnya kepada pemerintah Hinda Belanda, kebijakan pemerintah tentang Islam dan umat Islam tidak didasarkan kepada pemahaman yang baik.

Dalam kapasitasnya sebagai adviceur voor Islamische Zaken, saran nasehat dan kritik Hugronje tentu sangat didengar oleh pemerintah. Itupun, tetap menimbulkan kecurigaan dan sentimen negatif umat Islam.

Kebijakan Islam pemerintah tetap tidaklah tulus sebagai bagian dari pelayanan dan perlindungan. Tetap diskriminatif dan membatasi gerak keagamaan Islam.

Ini nampak misalnya tentang Haji. Soal hukum juga begitu, diskriminatif. Pemihakan terhadap supremasi hukum adat (adats recht) didukung oleh para ahli hukum adat Hindia Belanda semisal Prof Van Vollen Hoven dan Prof Ter Haar sangat kuat.

Hukum Islam dimarjinalkan. Pendidikan Islam juga begitu antara lain dengan diterbitkan undang-undang/peraturan tentang sekolah-sekolah swasta termasuk Muhammadiyah, “Toezicht ordonnantie particulier onderwijs” dan “wildenschoolen ordonnantie.”

Kebijakan agama juga diskriminatif. Prosentase pertumbuhan masjid jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan gereja. Semua ini menimbulkan sentimen negatif umat Islam terhadap pemerintah, karena kebijakan-kebijakan tersebut tidaklah benar-benar tulus sebagai bagian dari pelayanan, perlindungan dan fasilitasi terhadap umat Islam. Islam dan umat bahkan bangsa Indonesia, by system dan by design, dipurukkan.

Ketiga, sistim pendidikan yang tidak berkeadilan dan sekular. Sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang disediakan pemerintah Hindia Belanda tidak menganut prinsip “education for all,” hanya orang-orang dari kelas sosial dan ekonomi tertentu saja yang bisa menikmati sekolah/pendidikan formal secara sempurna.

Sementara, mayoritas masyarakat hanya bisa menikmati pendidikan yang sangat terbatas yaitu “kelas angka loro.” Selebihnya, bagi warga muslim mayoritas terkonsentrasi di pengajian-pengajian di Mushala atau masjid, gilda-gilda tarekat, pondok-pondok pesantren yang lebih banyak menyediakan materi-materi keagamaan.

Tentu saja pusat-pusat pendidikan umat ini diselenggarakan tidak berdasarkan kepada logika birokrasi administrasi modern akan tetapi elan vitalnya tak diragukan.

Apalagi, jaringan dengan pusat-pusat kajian Islam secara internasional terbuka, misalnya haramain. Banyak tokoh dan pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari kantong-kantong pendidikan Islam ini. Tapi semua ini tetap tidak bisa dipungkiri bahwa fakta keadilan pendidikan tak dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda.

Tentu ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan proses pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah, meskipun ternyata gagal.

Masih banyak bukti-bukti historis lainnya yang memberikan gambaran kesalahan yang terjadi dalam sejarah bangsa kita yang dilakukan oleh pemerintah. Ini sekaligus memberikan gambaran nyata bahwa  kekuasaan dan negara telah gagal dalam menangani atau mengelola umat dan bangsa.

Muhammadiyah, sebagai kekuatan atau organisasi civil society Islam tampil dengan gagasan dan gerakan kongkrit yang solutif, liberatif, humanis dan futuristik.

Diinspirasi antara lain oleh Surat Ali Imron 104, seruan Muhammadiyah untuk menegakkan kebaikan atau “al-Khoir” secara personal maupun struktural terus digelorakan. Al-Khoir yang sifatnya struktural itu antara lain seruan untuk membangun keadilan sosial, ekonomi; tegakkan hukum secara adil; bangun pemerintah yang benar-benar mengayomi, memfasilitasi dan mendorong kemajuan; hentikan kejahatan negara terhadap warga; proteksi agama dan mendorong agama sebagai faktor kemajuan; hormati martabat kemanusiaan; bangun kebersamaan. Jadi, dedikasi Muhammadiyah kepada bangsa, Pancasila, NKRI ini antara lain dilakukan dengan cara pembelaannya terhadap kedaulatan negara, hukum dan kemanusiaan.

Siapapun yang melanggar dan merusak kedaulatan ini, termasuk yang dilakukan oleh negara sekalipun, Muhammadiyah tampil menyerukan kebaikan dan hentikan kezaliman agar negara ini juga menjadi negara yang baik.


Penulis adalah Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI & Ketua Dewan Pakar Fokal IMM

Exit mobile version