YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id—Menjadi Muhammadiyah menuntut siapa pun untuk memahami Muhammadiyah terlebih dahulu. Ungkapan bahwa mengenal merupakan pra syarat mencintai tidaklah salah. Demikian halnya, mengenal persyarikatan Muhammadiyah secara komprehensif merupakan langkah awal untuk menjadi Muhammadiyah dan siap berkonstribusi bagi Muhammadiyah.
Dalam rangka itu, panitia Darul Arqam Madya (DAM) Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Sleman menghadirkan Prof Yunahar Ilyas untuk mengenalkan Muhammadiyah. Para peserta DAM dari seluruh Indonesia itu memperoleh materi tentang Paham Islam Berkemjauan menurut Muhammadiyah, pada Jumat (9/9).
Dalam acara yang berlangsung di BLK PAY Yogyakarta itu, Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Tarjih dan Tabligh itu menguraikan tentang lima pondasi dan sekaligus pilar dari Islam Berkemajuan. Kelima hal itu telah menjadi ciri khas Muhammadiyah sejak awal kelahirannya hingga hari ini dengan beberapa konstektualisasi.
Pertama, tauhid. Menurut Yunahar, Muhammadiyah sepanjang usianya terus melakukan upaya pemurnian tauhid. Muhammadiyah menginginkan tauhid yang murni. Ketauhidah yang murni pada akhirnya akan membawa masyarakat yang maju, dengan perilaku beragama yang efektif dan efisien.
“Jika tauhid tidak murni, beragama jadi berbiaya mahal,” kata Yunahar. Dalam rangka mewujudkan tauhid yang murni, Muhammadiyah menolak semua bentuk sintesisme, singkretisme dan relativisme agama.
Kedua, pemahaman al-Quran dan Hadis secara independen, komprehensif dan integratif. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak terikat dengan aliran theologis, mazhab fikih serta tharekat sufiyah manapun. Menurut Yunahar, Muhammadiyah tetap pada posisi sebagai ahlus al-sunnah wa al-jamaah, sesuai dengan sebutan nabi dalam hadis al-firqah al-najiyah min al-salaf.
Dengan posisi ini, Muhammadiyah tidak menolak sama sekali atau anti terhadap mazhab, aliran theologis, atau tharekat sufiyah. Terutama dalam hal fikih, Muhammadiyah lebih mementingkan metodologinya atau fikih manhaji bukan fikih mazhabi. Muhammadiyah tetap mempertimbangkan semua pendapat para imam mazhab dalam mengambil suatu instinbat hukum. Demikian halnya dalam tasawuf, Muhammadiyah memandang bahwa tasawuf sebenarnya telah diajarkan dan dipraktekkan oleh Nabi.
Ketiga, tajdid. Muhammadiyah memandang bahwa tajdid memiliki dua sayap yang harus berjalan seimbang. Yaitu pemurnian (purifikasi) dan dinamisasi (modernisasi). Purifikasi dalam ranah akidah, ibadah dan akhlak. Sementara dinamisasi dalam semua aspek kehidupan yang sangat luas, meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Yunahar memandang bahwa Muhammadiyah masih harus lebih giat lagi dalam melaksanakan tajdid dinamisasi. “Tajdid kedua ini masih kurang,” ujarnya. Kyai Dahlan, kata Yunahar, telah melakukan tajdid sesuai dengan zamannya dengan mendirikan sekolah dan rumah sakit modern, misalnya. Meskipun sempat ditertawakan, tawaran ini pada akhirnya diterima luas. Hari ini harusnya Muhammadiyah mampu untuk mengaktualkan tajdid dalam bidang politik dan ekonomi untuk ditawarkan kepada Negara.
Keempat, moderat (wasatiyah). Muhammadiyah selalu memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem. “Kita harus paham radikal, harus paham liberal, baru kemudian mengambil sikap,” katanya. Aktualisasi dari moderat ini adalah tidak bersikap hegemonik serta selalu menghargai pendapat orang lain. “Jadilah muslim yang biasa-biasa saja sebagaimana Pak AR,” ujar Yunahar.
Sebagai gerakan wasatiyah, Muhammadiyah juga menolak gerakan takfir dan sikap memaksakan. Dalam berdakwah, kata Yunahar, Muhammadiyah menganut prinsip untuk memajukan dan menggembirakan masyarakat. Kosa kata memajukan dan menggembirakan sudah ada sejak awal berdirinya Muhammadiyah. Dakwah pencerahan Muhammadiyah dilakukan secara bijaksana dengan bahasa yang santun.
Kelima, gemar beramal. “Sedikit bicara banyak bekerja itu watak Muhammadiyah,” tutur Yunahar. Sifat ini melekat pada setiap pimpinan, anggota, kader, dan warga Muhammadiyah di mana saja. Oleh sebab itu, Amal Usaha Muhammadiyah selalu lahir dan tumbuh berkembang dari bawah, bukan atas instruksi dari atas. Bagi Muhammadiyah, beramal dan berilmu merupakan keharusan dalam rangka mencapai gerakan ilmu-amaliyah dan amal-ilmiyah. (Ribas)