YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pembahasan tasawuf barangkali kurang akrab di kalangan Persyarikatan Muhammadiyah. Maka pada Jum’at (30/12), Kajian Malam Sabtu (KAMASTU) yang diselenggarakan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY mengambil tema “Menyelami Samudera Ilmu Tasawuf” dengan pembicara Drs Abdul Malik Usman MSi.
Memulai pemaparannya, Abdul Malik menjelaskan bahwa dalam dirasah al-islamiyah (islamic studies) dikenal dua istilah, yaitu al-din (agama) dan fikr al-din (pemikiran keagamaan). Al-din adalah dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah, atau kata lainnya adalah syara’. Ini bersifat normatif dan sudah final. Sementara fikr al-diin merupakan bentuk pemahaman ummat. Oleh karenanya ia bersifat dinamis dan tidak pernah final. Pemahaman tersebut disesuaikan dengan dinamika zaman, persoalan dan tantangan sebagai ikhtiar atau respon untuk penyelesaian masalah (problem solving). Dapat juga dikatakan bahwa pemikiran ini sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi). Tasawuf termasuk dalam fikr al-din, karena ia merupakan dimensi batiniyah yang tidak bertepi (bahr al-ulum).
“Kyai Dahlan sangat kental dengan nuansa sufisme. Ini tercermin dalam gaya kehidupan beliau, baik yang berkaitan dengan habl min Allah maupun habl min al-naas . Begitu juga tokoh-tokoh Muhammadiyah setelahnya, seperti Buya Hamka misalnya”, ungkap Abdul Malik.
Selanjutnya Abdul Malik mengutip pendapat Ibrahim Basyuni yang menjelaskan bahwa ada tiga tahap dalam upaya memahami tasawuf, yaitu al-bidayah, al-mujahadah dan al-mazaqhat. Al-Bidayah adalah tahap kesadaran. Manusia secara fitri adalah makhluk yang sadar bahwa ia tidak mampu menguasai dirinya. Juga sebagai kesadaran kefakiran bahwa segala sesuatu bukanlah miliknya. Ia sadar bahwa dirinya dikendalikan oleh realitas mutlak. Lalu ada dorongan untuk mendekati realitas mutlak tersebut, dalam hal ini adalah Tuhan, maka ada istilah taqarrub ila Allah (mendekat kepada Allah).
“Selanjutnya tahap al-mujahadah adalah perjuangan. Yaitu kesadaran bahwa antara hamba dengan Tuhan ada jarak. Sementara di tengahnya ada halangan dan hambatan untuk mendekat. Maka perlu ada perjuangan untuk untuk menghadapinya”, ujar Abdul Malik yang juga merupakan dosen filsafat di UGM.
Hambatan yang paling nyata, lanjut Abdul Malik, adalah cinta dunia (hubb al-dunya). Padahal dunia itu adalah kesenangan yang menipu, al-Qur’an menyebutnya mata’ al-ghurur. Akan tetapi bukan berarti manusia harus membelakangi dunia.
“Membelakangi dunia justru bertentangan dengan tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardh. Harusnya sepanjang jalan itu tidak berhenti menebar kebaikan, atau istilahnya ihsan. Barangkali di Muhammadiyah lebih akrab dengan istilah ihsan, karena inilah yang kemudian berwujud menjadi amal usaha”, kata Abdul Malik.
“Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa untuk mendekat kepada Allah mesti beramal yang baik. Al-qur’an sebutkan fal ya’mal amalan saliha,” katanya.
Selanjutnya tahap ketiga, lanjutnya, al-mazaqhat yaitu lulus menghadapi rintangan. Seseorang merasa nikmat ketika berdzikir, shalat dan upaya-upaya taqarrub kepada Allah.
“Dekat dengan Allah, buktikan dengan bertindak membangun kedekatan terhadap sesama manusia, menebar kebaikan. Sebagaimana Nabi Muhammad yang telah naik menuju Tuhan dalam mi’raj, lalu kembali ke bumi membawa misi untuk kebaikan manusia”, tutur pembicara yang merupakan imam besar Masjid kampus UGM tersebut.
“Bukan tasawuf mistik, tapi implementasi kebaikan. Tidak hanya dzikir di lisan, tapi juga dengan amal yang kongkret,” tuturnya.
Spiritual Islam harus menjadikan Nabi sebagai top model yang memberi rekomendasi. Maka tasawuf harus berlandaskan pada petunjuk al-Qur’an dan Sunnah. Bukan berati seseorang dalam tahap tertentu tidak perlu lagi menjalankan aturan-aturan syari’at.
“Buya Hamka menyebutkan ada dua fungsi tasawuf. Pertama adalah sebagai sarana penukikan kedalaman iman. Kemudian akan tumbuh dzauq al-iman atau rasa iman, lalu ada dzauq al-ibadah. Fungsi kedua adalah sebagai sarana untuk menggairahkan dan menyempurnakan ibadah syari’at. Semakin jauh jelajah sufisme, semakin sempurna syari’at”, tukas Abdul Malik. Maka menjadi aneh jika ada orang yang mengaku bertasawuf tetapi meninggalkan syari’at.
“Dalam dunia modern seperti saat ini yang paling penting adalah uzlah rohani”, tutup Abdul Malik pada KAMASTU yang terakhir di tahun 2016 ini (Rayhan).