Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs Al-Hujurat ayat 13)
Pada saat jamaah masjid masih homogen, tidak banyak masalah yang muncul. Mereka saling mengenal. Nyaris tidak ada perbedaan yang berarti. Ketika mereka shalat, antara yang dilakukan iman dengan yang dilaksanakan semua yang makmum sama. Imam pun berlaku lazimnya seperti imam shalat yang lain.Ketika mereka berpuasa, tanggal pelaksanaan puasa sama, cara berpuasa sama dan ketika berjamaah tarawih mereka juga melakukan dengan cara yang sama.
Demikian juga dengan hal-hal lain. Ketika takmir masjid yang bergabung dalam Panitia Hari Besar Islam (PHBI) di tingkat kecamatan, maka jamaah pun selalu mengikuti dan aktif membantu panitia hari besar Islam itu. Peringatan Hari Besar Islam yang dilakukan secara rutin. Dengan menyelenggarakan peringatan Hari Besar Islam, anak-anak, remaja, ibu-ibu dan siapa pun yang menjadi jamaah masjid bisa terlibat dan dilibatkan. Mereka mendapat pengalaman yang berharga, baik ketika ikut membantu dan bergabung dengan panitia, atau ketika mereka menjadi peserta kegiatan.
Pengalaman beragama ketika beribadah di masjid, pengalaman beragama ketika mengikuti peringatan Hari Besar Islam ini sangat kaya nilai. Mereka dapat lebih mengenal agama Islam dan mengenal keindahan Islam, bahkan merasakan keramahan Islam, lewat pengalaman beragama seperti ini. Biasanya, pengalaman beragama seperti ini sulit dilupakan, memengaruhi kehidupan mereka selanjutnya. Mereka menjadi pengikut Islam yang ramah, menjadi pengikut Islam yang toleran, menjadi pengikut Islam mengenal dan memahami perbedaan.
Kemudian, ketika lewat proses waktu dan perubahan zaman, jamaah masjid di satu tempat atau di banyak tempat berubah menjadi homogen, pengalaman berharga di jamaah homogen di atas dapat, dijadikan bekal dalam bergaul di tengah jamaah masjid yang makin heterogen. Bedanya sederhana, mereka telah begitu mengenal diri sendiri, punya percaya diri yang tinggi, militan dalam arti positif, dan sangat terbuka terhadap perbedaan.
Memang pernah berkali-kali muncul dinamika, muncul suasana hangat ketika dari jamaah masjid yang baru, yang berasal dari luar desa atau kampung, atau mereka, yang berasal dari desa dan kampung tetapi baru pulang dari belajar agama di tempat yang jauh. Yang terjadi di tubuh jamaah, bukan sekadar heterogen secara sosial ekonomi dan budaya, tetapi heterogen juga dalam cara beragama, karena ilmu agama mereka ditimba dari sumber yang berbeda-beda.
Meski secara garis besarnya sama, tetapi cabang-cabang ilmu agama sangat banyak yang menyediakan banyak variasi. Ini menyebabkan mereka yang terbiasa dengan hal-hal yang lama merasa kurang nyaman. Sebab muncul begitu banyak pandangan, bahkan cara beragama dengan jamaah masjid yang lebih awal hadir di situ. Karena banyak yang mendalami ilmu agama kemudian melakukan perubahan kecil-kecilan disitu ada yang setuju dan ada yang tidak.
Suatu kasus unik pun terjadi. Ketika takmir masjid yang telah mendalami ilmu agama kemudian memutuskan bahwa para imam shalat Maghrib, isyak, dan Subuh ketika membaca basmalah harus sirr atau disembunyikan, tidak dibunyikan, jamaah pun paham setelah diberi penjelasan. Lalu suatu Maghrib, ada imam shalat, dia warga baru, masih membaca basmalah dengan cara jelas dibunyikan. Takmir bersidang, dan yang baru itu untuk waktu seterusnya tidak boleh menjadi imam. Imam yang baru ini kecewa. Karena menurut dia membaca basmalah dengan cara dibunyikan itu hukumnya tidak sampai membatalkan shalat. Nilai keutamaannya, menurut yang memutuskan untuk menyembunyikan suara ketika membaca basmalah, yang utama adalah yang sirr itu.
Ternyata pendapat imam yang baru ini ada pendukungnya. Lalu diadakanlah musyawarah terbuka di masjid itu. Dihadiri oleh semua jamaah, takmir masjid, dan para ahli ilmu agama. Dicari jalan keluarnya. Dijelaskan bagaimana batas-batas perbedaan itu perlu dipahami. Hasilnya, kompromi. Imam yang baru itu diperkenankan kembali menjadi imam, tetapi jadwalnya dikurangi. Lebih sedikit dari imam yang lain. Semua hadirin menerima keputusan itu. Dan jamaah masjid pun damai kembali ada saat jamaah masjid masih homogen, tidak banyak masalah yang muncul. Mereka saling mengenal. Nyaris tidak ada perbedaan yang berarti. Ketika mereka shalat, antara yang dilakukan iman dengan yang dilaksanakan semua yang makmum sama. Imam pun berlaku lazimnya seperti imam shalat yang lain.Ketika mereka berpuasa, tanggal pelaksanaan puasa sama, cara berpuasa sama dan ketika berjamaah tarawih mereka juga melakukan dengan cara yang sama.
Demikian juga dengan hal-hal lain. Ketika takmir masjid yang bergabung dalam Panitia Hari Besar Islam (PHBI) di tingkat kecamatan, maka jamaah pun selalu mengikuti dan aktif membantu panitia hari besar Islam itu. Peringatan Hari Besar Islam yang dilakukan secara rutin. Dengan menyelenggarakan peringatan Hari Besar Islam, anak-anak, remaja, ibu-ibu dan siapa pun yang menjadi jamaah masjid bisa terlibat dan dilibatkan. Mereka mendapat pengalaman yang berharga, baik ketika ikut membantu dan bergabung dengan panitia, atau ketika mereka menjadi peserta kegiatan.
Pengalaman beragama ketika beribadah di masjid, pengalaman beragama ketika mengikuti peringatan Hari Besar Islam ini sangat kaya nilai. Mereka dapat lebih mengenal agama Islam dan mengenal keindahan Islam, bahkan merasakan keramahan Islam, lewat pengalaman beragama seperti ini. Biasanya, pengalaman beragama seperti ini sulit dilupakan, memengaruhi kehidupan mereka selanjutnya. Mereka menjadi pengikut Islam yang ramah, menjadi pengikut Islam yang toleran, menjadi pengikut Islam mengenal dan memahami perbedaan.
Kemudian, ketika lewat proses waktu dan perubahan zaman, jamaah masjid di satu tempat atau di banyak tempat berubah menjadi homogen, pengalaman berharga di jamaah homogen di atas dapat, dijadikan bekal dalam bergaul di tengah jamaah masjid yang makin heterogen. Bedanya sederhana, mereka telah begitu mengenal diri sendiri, punya percaya diri yang tinggi, militan dalam arti positif, dan sangat terbuka terhadap perbedaan.
Memang pernah berkali-kali muncul dinamika, muncul suasana hangat ketika dari jamaah masjid yang baru, yang berasal dari luar desa atau kampung, atau mereka, yang berasal dari desa dan kampung tetapi baru pulang dari belajar agama di tempat yang jauh. Yang terjadi di tubuh jamaah, bukan sekadar heterogen secara sosial ekonomi dan budaya, tetapi heterogen juga dalam cara beragama, karena ilmu agama mereka ditimba dari sumber yang berbeda-beda.
Meski secara garis besarnya sama, tetapi cabang-cabang ilmu agama sangat banyak yang menyediakan banyak variasi. Ini menyebabkan mereka yang terbiasa dengan hal-hal yang lama merasa kurang nyaman. Sebab muncul begitu banyak pandangan, bahkan cara beragama dengan jamaah masjid yang lebih awal hadir di situ. Karena banyak yang mendalami ilmu agama kemudian melakukan perubahan kecil-kecilan disitu ada yang setuju dan ada yang tidak.
Suatu kasus unik pun terjadi. Ketika takmir masjid yang telah mendalami ilmu agama kemudian memutuskan bahwa para imam shalat Maghrib, isyak, dan Subuh ketika membaca basmalah harus sirr atau disembunyikan, tidak dibunyikan, jamaah pun paham setelah diberi penjelasan. Lalu suatu Maghrib, ada imam shalat, dia warga baru, masih membaca basmalah dengan cara jelas dibunyikan. Takmir bersidang, dan yang baru itu untuk waktu seterusnya tidak boleh menjadi imam. Imam yang baru ini kecewa. Karena menurut dia membaca basmalah dengan cara dibunyikan itu hukumnya tidak sampai membatalkan shalat. Nilai keutamaannya, menurut yang memutuskan untuk menyembunyikan suara ketika membaca basmalah, yang utama adalah yang sirr itu.
Ternyata pendapat imam yang baru ini ada pendukungnya. Lalu diadakanlah musyawarah terbuka di masjid itu. Dihadiri oleh semua jamaah, takmir masjid, dan para ahli ilmu agama. Dicari jalan keluarnya. Dijelaskan bagaimana batas-batas perbedaan itu perlu dipahami. Hasilnya, kompromi. Imam yang baru itu diperkenankan kembali menjadi imam, tetapi jadwalnya dikurangi. Lebih sedikit dari imam yang lain. Semua hadirin menerima keputusan itu. Dan jamaah masjid pun damai kembali.• (Mustofa W Hasyim)