‘Proyek’ meredam radikalisme agama yang santer dipropagandakan akhir-akhir ini mendapatkan sasaran bidik baru. Pemikiran Muhammad bin Abdil Wahab (Wahabiy) yang mengusung semangat puritanisme dituduh sebagai paham Islam radikal. Dengan karakteristik yang radikal, paham Wahabiy disinyalir menjadi salah satu inspirasi gerakan terorisme di tanah air. Seperti apakah paham Wahabiy? Bagaimanakah masa depan paham puritan ini? Berikut petikan wawancara Mu’arif dari Suara Muhammadiyah dengan Prof Dr Amin Abdullah, mantan ketua Majelis Tarjih dan mantan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Citra Wahabiy sebagai paham yang menginspirasi gerakan teroris makin santer. Menurut bapak, benarkah penilaian tersebut?
Sebenarnya, persoalan ini sangat kompleks. Satu faktor tidak bisa dijadikan sebagai sumber untuk memberikan penilaian, apakah Wahabiy dapat disebut sebagai inspirator gerakan teroris. Persoalan ini melibatkan banyak faktor. Ada faktor politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Jadi, persoalannya multifaktor.
Pada aspek mana paham Wahabiy sangat rentan melahirkan gerakan terorisme?
Memang paham keagamaan dapat menjadi salah satu dari inspirasi gerakan teroris. Tetapi di atas segalanya itu bermuara pada problem keadilan. Jika persoalan belum ada solusi, atau keadilan belum dapat ditegakkan, orang akan dengan mudah menjadikan agama sebagai legitimasi untuk meruntuhkan rezim. Dalam persoalan ini, satu hal yang paling mudah dibidik adalah argumen ketidakadilan.
Seperti apakah karakteristik pemikiran Wahabiy?
Untuk bisa mengetahui karakteristik gerakan ini, kita perlu melihat sejarah pada era 1750-an. Kita perlu memahami kondisi sosial dan politik di tanah Arab pada era tersebut. Sebagai gerakan keagamaan, memang benar Wahabiy gerakan purifikasi. Tetapi, satu hal yang harus dicatat, bahwa semua agama juga memiliki potensi yang sama. Dalam agama Kristen juga ada gerakan purifikasi yang radikal. Demikian juga dalam Islam, ada gerakan purifikasi seperti Wahabiy yang sangat radikal. Hanya saja, pada era modern seperti sekarang ini, persoalannya sudah sangat kompleks, tidak cukup hanya purifikasi.
Adakah yang harus dikoreksi dari paham Wahabiy?
Manusia tidak hidup sendiri. Pada era modern sekarang ini, kita semua hidup sebagai warga dunia, world citizen. Dengan demikian, kita juga perlu kesadaran baru. Yaitu, kesadaran bahwa kita sedang hidup bersama dengan orang lain yang memiliki latarbelakang kewarganegaraan, agama, sosial, dan budaya berbeda. Saya sendiri tidak tahu, apakah kesadaran baru semacam ini tumbuh di kalangan pengikut Wahabiy atau tidak.
Dapatkah pemikiran Wahabiy diaplikasikan dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia?
Kalau yang dimaksud ajaran tauhid sebagai bagian dari keadilan, maka semua orang pasti masih membutuhkannya. Isu keadilan masih akan terus relevan. Gerakan purifikasi harus dapat menjawab persoalan sosial kekinian yang makin kompleks. Kasus korupsi yang marak di Indonesia, misalnya, adalah bagian dari krisis moral. Jika kasus korupsi dipahami sebagai bagian dari persoalan agama, maka gerakan purifikasi harus dapat memberikan jawaban atas ketidakadilan sosial ini. Agar gerakan purifikasi tetap relevan, perlu perjumpaan dengan ilmu-ilmu sosial yang lain. Persoalan kehidupan manusia di era modern sekarang melibatkan banyak faktor yang kompleks.
Muhammadiyah sering dituduh Wahabiy. Menurut bapak, benarkah tuduhan tersebut?
Bisa benar, bisa tidak. Inspirasi gerakan Muhammadiyah yang mengusung semangat pemurnian Islam tidak bisa lepas dari sejarah. Kemungkinan benar masih membutuhkan kajian dan penelitian lebih lanjut tentang hubungan ini dalam konteks kesejarahan. Sebab, dari segi lokalitas sejarah sudah berbeda. Namun, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah berbeda dengan Wahabiy. Muhammadiyah mendirikan Perguruan Tinggi dengan membuka ilmu-ilmu baru. Gerakan Wahabiy tidak seperti itu. Muhammadiyah melakukan aktivitas, seperti mendirikan Rumah Sakit. Gerakan Wahabiy tidak melakukan seperti itu. Muhammadiyah juga mewadahi aktivitas kaum perempuan, sebut saja ‘Aisyiyah. Gerakan Wahabiy tidak sampai kesitu. Jadi, tidak mudah menganggap Muhammadiyah sama dengan Wahabiy. Adanya ruang bagi pengembangan kreativitas seni, penyelenggaraan PTM, pendirian rumah sakit, dan akomodasi gerakan perempuan, menjadi indikasi bahwa secara organisasi gerakan Muhammadiyah berbeda dengan Wahabiy.
Sekarang permasalahannya, jangan melihat gerakan Muhammadiyah dari aspek purifikasinya saja, tapi lihatlah aspek dinamisasinya.
Pada aspek manakah gerakan Muhammadiyah sering dinilai sejalan dengan paham Wahabiy?
Pada aspek pemurnian. Aspek ini ketika masuk wilayah budaya menjadi masalah. Kajian budaya membutuhkan ilmu-ilmu lain, seperti filsafat, sosiologi, antropologi, dan lain-lain. Jika budaya hanya dibenturkan dengan semangat purifikasi, maka itu akan menjadi masalah. Oleh karena itu, perlu digunakan ilmu-ilmu lain untuk mengkaji budaya.
Dari segi organisasi, Muhammadiyah jelas tidak identik dengan Wahabiy.
Menurut Bapak, apakah pola gerakan Wahabiy sama dengan Muhammadiyah?
Wahabiy itu bermetamorfosa. Gerakan ini berhubungan dengan istana (kekuasaan—red.). Kasus perang Irak dan Kuwait membuat rezim Saudi Arabia ketakutan, kemudian mengundang Amerika Serikat. Begitu juga latarbelakang kemunculan gerakan ini berkaitan dengan politik kekuasaan setempat. Dengan demikian, pola gerakan Wahabiy sejak awal hingga sekarang sudah berbeda.
Latar belakang gerakan Wahabiy berbeda dengan Muhammadiyah. Tantangan-tantangan yang dihadapi juga berbeda. Jika Wahabiy memiliki relasi dengan kekuasaan rezim setempat, maka Muhammadiyah tidak seperti itu. Tantangan-tantangan yang dihadapi Muhammadiyah di Indonesia (dulu Hindia Belanda—red.) juga berbeda dengan Wahabiy di Arab Saudi.
Ke depan, apakah puritanisme masih dapat bertahan di tengah kehidupan masyarakat modern yang makin kompleks?
Ini dialektika kehidupan yang melibatkan banyak faktor. Harus ada dialektika antara agama, budaya lokal, dan keilmuan. Jangan memahami persoalan hanya sepotong, tetapi harus secara keseluruhan.
Menurut saya, semangat puritanisme masih tetap relevan jika bersinergi dengan ilmu-ilmu sosial lain. Misalnya, dalam kasus moral, semangat pemurnian dari korupsi masih dibutuhkan. Saya kira, semangat semacam ini selamanya masih akan terus ada. Ke depan, semangat pemurnian masih dibutuhkan. Tentu saja dengan catatan, asalkan mau berdialog dengan ilmu-ilmu kontemporer yang terus berkembang.
Kita adalah warga dunia dan membutuhkan kesadaran baru tentang itu. (rif)