JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kondisi keagamaan umat Islam Indonesia setelah reformasi menjadi semakin beragam dan terbuka. Kondisi ini menjadi perhatian khusus Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Dalam Pengkajian Ramadhan di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jl KH Ahmad Dahlan, Tangerang Selatan, Senin (5/6/2017), Haedar menyatakan bahwa Muhammadiyah harus terus memainkan posisi moderat di tengah arus post tradisionalis dan post modernis.
Dalam paparannya, Haedar menyatakan bahwa, terjadi lompatan dan perubahan kategorisasi Islamic Movement. Dahulu kaum tradisionalis dianggap jumud dan kolot sementara kaum modernis dianggap modern, terbuka, dan kritis. Saat ini, post-tradisionalis melahirkan corak yang cenderung liberal-kritis sementara neo-modernis atau neo-salafisme terjebak dalam sikap konservatif.
Haedar merunut ke sejarah masa silam. “Sewaktu BPUPKI bersidang memperbincangkan dasar negara, hampir mayoritas yang mampu berpolemik, berdebat dengan kelompok nasionalis lulusan barat itu tokoh-tokoh modernis,” katanya, lantas menyebut beberapa nama seperti Agus Salim, Moh Nasir, Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Hamka, Moh Roem, Sukiman. Mereka hampir semuanya dari kelompok modernis. Dari tadisional hanya Wahid Hasyim, Wahab Hasbullah.
“Ini karena kaum modernism ini paham tentang konsep negara. Saat itu hanya kaum modernis yang siap dengan soal-soal pikiran modern tentang kenegaraan. Menjadi gerakan alternative. Pada saat itu, kaum modernism siap dan mampu berdialog soal-soal Islam dan isu-isu kenegaraan yang kontemporer. Mereka punya referensi pada Islam klasik maupun pada pikiran-pikiran baru,” ulasnya.
Baca: Haedar Nashir: Saatnya Kita Kembali
Setelah reformasi, neo islamisme justru resisten dan bahkan menolak pikiran-pikiran modern Barat dan ingin mengkonstruksi fikih siyasah lama sedangkan pikiran keislaman klasiknya tidak begitu kuat. Lalu bahkan melahirkan kelompok yang ingin melahirkan kembali negara Islam, termasuk khilafah Islam. Misalnya kelompok ini ingin memilki artikulasi dalam politik, demo misalkan, tetapi anti demokrasi. Demokrasi haram dalam menerapkannya dan mempelajarinya. “Mereka ingin salafi dalam politik. Inilah yang memperkuat ketegangan antara muslim dengan negara. Negara dipersepsi sebagai thagut yang menjadi lawan dari sistem Islam,” ujarnya.
“Ketika Muhammadiyah ingin mengambil posisi agak moderat saja, masih dianggap agak ke kiri. Karena tuntutan politiknya adalah tuntutan yang neo ortodoksi,” kata Haedar. Sebaliknya, oleh kelompok yang kiri, Muhammadiyah dianggap terlalu kanan. “Kita sedang dihadapkan pada pandangan keagamaan dan politik yang kompleks, dari yang sangat ke kanan kananan sampai ke yang ke kiri-kirian.,” tambahnya.
“Di tengah posisi ini, penting bagi kita untuk memahami kembali agar kita tidak kehilangan arah. Karena kita ada tuntutan untuk memandu kehidupan umat. Kalau kita ingin memandu kehidupan umat islam dalam hal keberagamaan bagaimana kita harus bisa menjadi pemandu di tengah keberagaman,” ajak Haedar.
Menurut Haedar, paham Muhammadiyah yang pedomannya ada di Majelis Tarjih menjadi lompatan baru bagi Muhammadiyah. Dalam tafsir sudah memperkenalkan konsep bayani, burhani, irfani. Ada juga reformulasi pandangan keagamaan Muhammadiyah yang berlandaskan pada pikiran kiai Dahlan yang kemudian disebut dengan konsep Islam Berkemajuan.
Baca: Haedar Nashir: Tidak Mungkin Muhammadiyah Berdakwah Keluar Jika di dalam Masih Belum Selesai
Dalam tauhid, misalnya, Haedar mengingatkan bahwa konsepnya adalah penggabungan hablum min Allah dan hablum min al-nas. Tidak cukup hanya dimensi rukun tapi juga dimensi ihsannya. Kelas menengah baru sekarang ingin hidup ikhsan. Mereka mengalami kehilangan rohani, menurut bahasa Peter L Berger. “Muhammadiyah tidak bisa menjadi alternative jika masih menggunakan pola pendekatan lama,” kata Haedar. Dalam urusan mu’amalah, tidak semakin banyak tajridnya. Hal itu berangkat dari kaidah ushul fiqh bahwa semua urusan mu’amalah boleh selama belum ada dalil yang melarang.
“Dalam konteks politik, alhamdulillah pandangan Muhammadiyah relatif kuat. Konsepnya tetap modernism Islam. Siapa pun rezimnya, Muhammadiyah selalu menerima pemerintah yang sah. Ini kan campuran modernism Islam pada daya kritisnya dengan teologi Sunni. Kita punya garis Khittah. Ini ijtihad dalam politik. Khittah tahun 71 di Makassar,” ulasnya
Dalam Khittah Denpasar tahun 2002, Muhammadiyah mempertegas, bahwa politik itu adalah al-umur al-dunyawiyah. “Kata nabi, antum a’lamu bi umuri dunyakum. Ini masuk wilayah ijtihad. Dalam sejarah juga tidak ada satu format politik Islam yang tunggal. Lalu Muhammadiyah berijtihad bahwa negara bisa beragam bentuknya, tidak ada yang qat’iy (pasti). asalkan mencapai tujuan negara supaya baldatun tayyibatun warabbun ghafur,” kata Haedar. (Ribas)
Baca: Haedar Nashir: Perlu Membaca Ulang Manhaj Muhammadiyah Agar Tidak Kesasar Jalan