Oleh: Khairudin Aljunied, PhD
Sejak kelahiran agama Islam, kaum Muslim telah banyak memperdebatkan dengan sengit tentang tempat akal dan wahyu dalam kehidupan manusia. Kelahiran kaum Muktazilah pada abad VIII menyegarkan kembali perdebatan tentang sejauhmana akal dapat digunakan untuk memahami perintah-perintah dan kebijaksanaan penciptaan Allah. Bagi kaum Muktazilah, akal adalah instrumen kunci dan alat paling utama bagi semua pemahaman. Posisi intelektual semacam itu pada gilirannya memantik respon dan perlawanan sengit dari banyak ulama arus utama. Ahmad Ibn Hanbal (780–855), Abu Ja’far Ahmad al-Tahawi (853–933), dan Abu al-Hasan al-Ashari (874–936) adalah beberapa ulama berpengaruh yang menyusun rumusan yang bertujuan menyelaraskan akal dan wahyu dalam pemikiran Islam. Akibat keberaniannya membantah dan menelanjangi kontradiksi ideologi Muktazilah, ulama-ulama itu pun harus menghadapi persekusi dan bahkan kematian hingga pengaruh kaum Muktazilah mulai meredup pada abad X.
Pergeseran penting lainnya dalam pemikiran Islam dapat kita amati setelah abad X. Ulama konservatif mulai memandang curiga fungsi akal dalam wacana Islam. Sikap itu justru mendorong menjalarnya taklid ke penjuru dunia Islam di Jazirah Arab, yang selanjutnya merombak pemikiran filosofis-keilmuwan. Dengan demikian, pintu ijtihad akhirnya tertutup saat umur Islam yang dibawa Nabi Muhammad baru mencapai lima abad dan setelah perdebatan teologis tentang tempat akal dan rasionalitas dibelenggu di berbagai penjuru dunia Islam.
Kaum Muslim di Dunia Melayu sebetulnya merupakan orang baru dalam dunia Islam lantaran Islam baru masuk ke kawasan itu sekitar abad XI dan XII, dan mereka mengikuti jalur intelektual yang amat berbeda dari jalur yang diambil oleh Muslim di Jazirah Arab. Sejak abad XIV, ulama Muslim Melayu menyusun banyak waad (perjanjian) tentang perkara legal dan filosofis yang mampu menggairahkan dinamika intelektualisme Islam di kawasan itu. Tetapi, taring zaman kolonialisme akhir (abad XVIII) melumpuhkan Islam di dunia Melayu, mengubahnya dari agama yang didorong oleh akal (intelectually-driven faith) yang mampu memengaruhi urusan bina negara dan kehidupan sosial masyarakat Muslim menjadi—sebagaimana dijabarkan oleh Azyumardi Azra dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries —agama privat dan personal [yang] menjustifikasi dirinya sendiri dalam bahasa yang sekuler (2004:150).
Pemikiran Islam di Ranah Melayu, yang dahulu sempat layu, akhirnya bangkit pada akhir abad XIX dan awal abad XX, berkat kemunculan gagasan-gagasan baru—yang merupakan bentuk respon terhadap kolonialisme Eropa dan modernitas—terkait akal dan rasionalistas dalam masyarakat Muslim. Di antara sekian banyak ulama Muslim reformis dan revivalis, adalah Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Ridha yang mempertanyakan pandangan masyarakat Muslim pada kala itu terkait akal, sembari melancarkan kritik terhadap ketergantungan ulama kepada tradisi intelektual terdahulu. Pada zaman kapal uap dan penerbitan, gagasan-gagasan itu menyebar dengan cepatnya hingga mencapai dunia Melayu. Gerakan pembaruan yang dipimpin oleh ulama seperti Sayid Syekh al-Hadi, Syekh Tahir Jalaluddin, dan Ahmad Hassan (juga dikenal sebagai Hassan Bandung) mempromosikan gagasan-gagasan itu dengan begitu giatnya sampai-sampai pada awal abad XX dunia Melayu menjelma menjadi panggung pertempuran intelektual antara ulama tradisionalis dan reformis. Atau dengan kata lain, pertempuran akal melawan taklid kepada adat-kebiasaan dan otoritas.
Hamka pun ikut terjun dalam berbagai perdebatan terkait marginalisasi akal dan wahyu dalam pemikiran Islam di Tanah Melayu. Ia menyerukan agar segenap masyarakat Muslim menggunakan akal yang berpedoman (guided reason) dalam berpikir.
Apa sebetulnya akal yang berpedoman itu? Yang dimaksudkan Hamka dengan akal yang berpedoman adalah, pertama, bentuk akal dipandu oleh wahyu Allah yang diajarkan oleh para nabi. Para nabi menjelaskan pertanyaan manusia tentang rahasia ciptaan Ilahi melalui perantara kitab suci yang diilhami oleh wahyu Allah. Para nabi tidak hanya menjelaskan tentang wahyu, mereka menegakkannya dengan menggunakan hukum dan mewujudkannya dalam kehidupan mereka sendiri sehingga pengikut mereka dapat meneladani dan meniru mereka. Hamka menghancurkan pendapat kaum Muktazilah yang menyatakan bahwa filosof adalah setingkat dengan nabi, atau bahkan lebih superior ketimbang nabi. Para nabi dipilih oleh Allah dan dianugerahi kemampuan spiritual dan fisik (atau duniawi). Hati mereka bersih, dan pikiran mereka selalu terdorong untuk membedakan yang haq dan batil. “Inilah mengapa para nabi tidak pernah terjangkit penyakit yang sering kali menimpa filosof [Muslim], yang bisa mengajarkan filosofi baru namun tidak bisa melengkapinya tanpa bantuan orang lain,” demikianlah terang Hamka dalam bukunya Pelajaran Agama Islam (1967:265). Bagi Hamka, Rasulullah merupakan nabi yang memiliki kedudukan paling tinggi dan memberikan pedoman tentang bagaimana umat manusia seharusnya menggunakan akal mereka. Al-Qur’an, yang diturunkan kepada Rasulullah menyerukan agar para pembacanya merefleksikan, memikir ulang, menelusuri, dan menemukan kembali instrumen akal. Ini dapat menjelaskan mengapa intelektual Muslim pernah menjadi pemikir terdepan di dunia. Mereka menggunakan kemampuan akal, yang dipandu oleh wahyu, sehingga mampu membuat kemajuan yang luar biasa. Ketika mereka mendapati akal bertentangan dengan wahyu, maka mereka pun memprioritaskan wahyu dan mencari jalan untuk mendamaikannya dengan gagasan mereka (Hamka, 1967:285–286).
Dalam benak Hamka, akal yang berpedoman juga berarti sebuah bentuk pemikiran yang dipandu oleh akhlak yang baik. Hamka menggunakan istilah akhlakul karimah untuk menggambarkan orang yang inteleknya lurus dan menggunakan akalnya demi kebaikan. Akhlak seseorang membentuk bagaimana cara ia berpikir tentang dirinya sendiri dan hal-hal di sekitarnya. Pekerjaan seseorang, entah itu sebagai ilmuwan, pelajar, atau hanya orang awam, tidak dapat menjamin bahwa orang tersebut akan menggunakan kekuatan inteleknya untuk hal-hal yang baik. Hamka memberi contoh bahwa banyak ilmuwan pada masanya yang pakar dalam bidang energi atom namun menggunakan temuannya untuk tujuan-tujuan yang destruktif karena mereka tidak peduli dengan dampak buruk yang dapat dihasilkan oleh pekerjaan mereka. Demikianlah ungkapnya dalam Pandangan Hidup Muslim (1984:20). Sebaliknya, jika akal seorang yang cerdas dipandu oleh akhlakul karimah, orang itu pasti merancang gagasan dan inovasi baru yang dapat menguntungkan seluruh umat manusia. Melalui kombinasi akhlakul karimah dan akal, manusia dapat “mengetahui apa itu baik dan buruk, apa itu jelek dan indah” (1967:222).
Selain itu, Hamka memandang akal yang berpedoman sebagai akal yang diarahkan oleh urgensi perubahan konteks dan perjumpaan dengan pengetahuan baru yang terjadi terus-menerus. Agar dapat merasakan perubahan yang terjadi di sekitar mereka, manusia harus memiliki yang disebut Hamka sebagai kebebasan berijtihad (Falsafah Hidup, 1983:258–259). Hamka menganggap ijtihad sebagai kemampuan berpikir yang didasari pada pemahaman komprehensif atas teks dan konteks yang dijumpai seorang Muslim dalam bergelut dengan masalah dalam hidupnya. Karenanya, ijtihad semacam itu dimaksudkan untuk memecahkan berbagai tantangan yang ada dalam kehidupan sehari-hari yang kita hadapi sekarang.
Hamka juga membahas tentang dampak penggunaan akal yang berpedoman. Dengan akal yang berpedoman, manusia pada akhirnya dapat meraih hikmah dan menyadari bahwa semuanya berasal dari Allah (Dari Lembah Cita-Cita, 1968:19). Hamka meminjamnya dari Muhammad Abduh, seorang yang menjelaskan hikmah sebagai contoh dari segala macam pengetahuan dan akal. Hikmah juga dapat menyadarkan orang yang sedang terjembab dalam khayalan agar tidak terjerumus dalam jalan kesalahan. Kemudian, Hamka juga memberikan penafsiran lebih mendalam tentang hikmah guna menekankan kemampuan untuk memahami maksud wahyu, yaitu Al-Qur’an. Orang yang bersekolah di perguruan tinggi bisa jadi tidak dapat memperoleh hikmah. Itu lantaran hikmah tidak dapat diperoleh dengan membaca buku atau menghadiri kuliah yang disampaikan oleh profesor terkenal. Hikmah adalah model pemikiran yang dianugerahkan oleh Allah kepada orang yang menggunakan akal dalam merefleksikan ayat-ayat dan ciptaan-Nya sehingga dapat mencapai pemahaman yang komprehensif atas realitas kehidupan (Tafsir Al Azhar I, 1982:655–658).
Dengan berbekal akal yang berpedoman, Hamka percaya bahwa Muslim dapat mencapai keseimbangan dalam menggunakan kebebasan mereka dalam berpikir sekaligus mendekatkan dirinya kepada tuntutan Ilahi. Melalui akal yang berpedoman, Muslim juga akan dapat terus-menerus merekonstruksi pemikiran dan praktik keislamannya serta mengadaptasikannya secara efektif ke dalam dunia yang semakin modern ini.
*) Associate Professor di Departement of Malay Studies, National University of Singapore