JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah pada 9 November 2018 mengusung tema “Prof. Dr. Mr. R.H Kasman Singodimedjo Santri Nasionalis Berkemajuan”. Hadir sebagai narasumber antara lain sejarawan Prof Anhar Gongong, cendekiawan Yudi Latief, ketua PP Muhammadiyah Prof Bahtiar Effendy. Pengajian yang diikuti cucu Mr. Kasman, Seno Hadi Utomo ini diberi pengantar oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Pada Hari Pahlawan 10 November 2018, tokoh Muhammadiyah Kasman Singodimedjo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudi Latief menyebutkan bahwa dalam sejarah pergerakan Indonesia, tidak ada tokoh yang melampaui kelengkapan sisi kepahlawanan Kasman Singodimedjo. Alasan politiklah yang menjadi salah satu ganjalan anugerah gelar Pahlawan Nasional Mr. Kasman Singodimedjo.
Kasman terlibat dalam Petisi 50, sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya. Oleh sebab itu, ketika Presiden Soeharto memberikan penghargaan Bintang Mahaputera kepada semua tokoh yang pernah duduk di BPUPKI dan PPKI pada 12 Agustus 1992, satu-satunya anggota yang tidak diberi penghargaan tersebut adalah Mr. Kasman Singodimedjo.
Pada November 2012, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui sebuah tim yang diketuai oleh AM Fatwa, mengajukan gelar Pahlawan Nasional bagi tiga tokoh Bapak Republik Indonesia dari latar belakang Muhammadiyah, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Dari tiga nama yang diajukan tersebut, Ki Bagus Hadikusumo lebih dahulu mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 2015 berdasar pada Keppres Nomor 116/TK/2015. Dengan demikian, hanya Prof. Abdul Kahar Muzakkir yang menanti pengesahan gelar dari Presiden.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Prof. Syamsul Bahri menyatakan bahwa yang mengganjal pengesahan gelar adalah sikap normatif gubernur Jawa Tengah terhadap butir F pada Pasal 25 UU No. 20/2009 yang mengatur syarat umum gelar pahlawan dengan menganggap pengalaman Mr. Kasman menjadi pidana politik sebagai pidana kriminal. “Keadaan ini menghambat, sehingga Pak Fatwa dan PP Muhammadiyah membentuk telaah hukum pidana apakah UU tersebut dapat dijadikan justifikasi. Maka atas dasar pandangan para ahli, kami membuat sebuah legal opini. Itu artinya di dalam hukum pidana Mr. Kasman nihil,” ungkap Syamsul Bahri.
Abdul Mu’ti juga sempat menceritakan perjuangan berat AM Fatwa dan tim memperjuangkan Kasman Singodimedjo sebagai pahlawan nasional. “Ketika beliau (AM Fatwa) dirawat di Rumah Sakit, SMS saya, ‘mas Mu’ti ada satu tugas penting yang belum saya selesaikan yaitu memperjuangkan pak Kasman sebagai pahlawan nasional.’ Itu SMS terakhir. Setelah saya terima SMS itu saya telepon pak Malik untuk besuk beliau ke rumah sakit, ternyata ajal sudah menjemput,” ujarnya.
Sepeninggal AM Fatwa, kata Mu’ti, PP Muhammadiyah perlu untuk melanjutkan perjuangan. Sampai suatu ketika, Mu’ti bertemu dengan salah satu perwakilan dari pejabat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah guna membahas permohonan PP Muhammadiyah untuk menjadikan Kasman sebagai pahlawan nasional.
“Saya mengatakan begini ‘bapak, saya bukan keluarga pak Kasman dan kami mengusulkan ini juga bukan karena beliau itu adalah tokoh Muhammadiyah, tapi kami mengusulkan gelar pahlawan ke pak Kasman ini karena tanggung jawab kebangsaan kami bahwa sejarah bangsa ini harus ditulis dengan benar dan generasi bangsa ini harus mewarisi apa yang menjadi hak mereka sebagai anak bangsa yaitu mendapatkan informasi sejarah dan pendidikan yang benar dari para tokoh pendahulunya,” tuturnya.
Mu’ti kemudian menerangkan tentang peran besar Kasman bagi republik ini. “Perjuangan Pak Kasman adalah perjuangan kebenaran yang jernih dan tidak diliputi oleh nafsu. Beliau adalah tokoh yang senantiasa berjuang di jalan yang benar,” ulasnya. Jaksa Agung pertama ini pernah terlibat di Jong Islamieten Bond hingga menjadi Komandan Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta.
Pada peringatan Hari Pahlawan tahun 2018 ini, pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh nasional. Mereka antara lain Depati Amir dari Bangka Belitung, Abdulrahman Baswedan dan Yogyakarta, Pangeran Muhammad Noor dari Kalimantan Selatan, Kasman Singodimedjo dari Jawa Tengah, KH Sjam’un dari Banten, dan Ibu Agung atau Hj. Andi Depu dari Sulawesi Barat. (ribas/ppmuh)