JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Maarif Institute kembali menggelar Sekolah Pemikiran Maarif gelombang kedua pada 23-28 November 2018. Kegiatan ini sebagai upaya merawat ide-ide besar Buya Syafii Maarif mengenai kemanusiaan, kebudayaan, dan keindonesiaan. Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan periode kedua ini ditandai dengan seminar bertema “Memposisikan Peran dan Pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif dalam Peta Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia” di Aula KH Ahmad Dahlan, Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta pada Selasa (27/3).
Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Daraz menyatakan bahwa program ini bertujuan untuk menyosialisasikan berbagai gagasan Buya Syafii yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan, dan kebinekaan kepada anak-anak muda dengan berbagai latar belakang etnis, suku, agama, dan budaya. “Buya seringkali secara jernih menyampaikan pandangan kritisnya terhadap berbagai permasalahan keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan yang seringkali menyimpang dari rel yang seharusnya,” katanya.
Maarif Institute sebagai lembaga yang didirikan untuk menerjemahkan berbagai ide-ide besar Buya Syafii, merasa memiliki tanggungjawab besar untuk menularkan dan menyebarluaskan pandangan kritis Buya Syafii. Terlebih dalam suasana kebangsaan yang larut dengan antagonisme seperti saat ini.
Berdialog dengan Al-Qur’an dan Gerakan Ilmu
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga Dewan Pembina Maarif Institute, Prof M Amin Abdullah menyampaikan, ada dua kata kunci untuk memahami horizon pemikiran Islam dari Buya Syafii. Yaitu bagaimana umat Islam memperlakukan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang bermuatan pedoman etika sosial dan pentingnya Ilmu pengetahuan bagi umat Islam. “Ungkapan yang biasa digunakan Buya Syafii adalah (1) mari kita berdialog dengan Al-Qur’an dan (2) Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu,” ujarnya.
Menurutnya, dua untaian kata tersebut yang coba diramu ulang dari gurunya Fazlur Rahman sewaktu mengambil program PhD di Chicago pada tahun 1970-1980-an. Hal ini telah mengubah jalan pikiran dan pandangan hidup Buya Syafii dari yang semula agak maududian (terpengaruh oleh gagasan Al-Maududi) ke rahmanian (gagasan Fazlur Rahman).
Dalam konteks perkembangan pemikiran Islam kontemporer, kata Amin Abdullah, pendekatan pembaharuan metode tafsir dan hukum Islam, yang tampak pada sosok dan figur intelektual Buya Syafii merupakan perspektif teoritik dari kedua intelektual Muslim kontemporer, Abdullah Saeed dan Jasser Auda. Kedua sosok ini bercorak progressif ijtihadi.
Dalam pandangan Buya Syafii, al-Qur’an harus dijadikan core. “Buya (Syafii) tidak meninggalkan nash Al-Qur’an, tapi sebaliknya, justru nash Al-Qur’an lah yang menjadi partner dialognya dan inspirator utamanya lewat tafsir tematik yang terilhami dari gurunya Fazlur Rahman,” ulas Amin Abdullah.
Adapun gerakan Ilmu yang Buya Syafii impikan, lanjut Amin, rasanya masih jauh dari kenyataan. Sebab, syarat-syarat metodologis dan kelembagaan pendidikan agama dan pendidikan Islam di Tanah Air masih belum mendukung tercapainya impian itu.
Oleh karena itu, kegiatan semacam ini diharapkan bisa mendorong tumbuhnya gerakan ilmu. “Kami berharap kegiatan ini bisa menumbuhkan tunas baru, pelanjut kiprah moral dan intelektual yang selama ini telah dihidupkan Buya Syafii Maarif dalam berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.
Umat Islam harus Menjadi Solusi
Dalam kesempatan itu, Maarif Institute juga meluncurkan buku Merawat Kewarasan Publik: Refleksi Kritis Kader Intelektual Muda tentang Pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Buku ini ditulis oleh anak-anak muda tentang gagasan dan pemikiran mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif mengenai moralitas dan keadaban publik. Diharapkan dapat menjadi pelita di tengah bangsa yang sarat dengan berbagai persoalan keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan.
Buya Syafii Maarif berharap umat Islam Indonesia mampu menjadi solusi atas berbagai permasalahan yang sedang mendera bangsa Indonesia dan umat Islam di seluruh penjuru dunia. “Saya berharap umat Islam di Indonesia benar-benar mengembangkan Islam yang terbuka, inklusif, dan memberi solusi terhadap masalah bangsa,” kata Buya Syafii.
Sebagai “muazin bangsa”, Buya Syafii terus berupaya memerangi ketidakadilan, korupsi, dan mafia yang merongrong bangsa. Gagasan dan refleksi pemikirannya lahir dari keprihatinan atas kondisi bangsa, termasuk menyangkut umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia.
“Sepatutnya umat Islam tak lagi mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Saya ingin melihat ketiganya satu padu, satu tarikan nafas dalam kehidupan di negeri tercinta ini,” ulasnya.
Perda Syariah
Terkait dengan polemik Peraturan Daerah berlandaskan agama, terutama yang bernuansa syariah, Buya Syafii memiliki pandangan tersendiri. Menurutnya, Perda Syariah yang selama ini dipraktekkan di beberapa daerah justru menjadi masalah baru. Bahkan, Perda Syariah terkadang sejatinya hanya berorientasi pada kekuasaan dan jangka pendek.
“Perda itu sebenarnya problematik ya, karena itu sesungguhnya pendukung Perda itu bukan hanya partai Islam, partai macam-macam, sekuler, lebih beriorientasi kepada kekuasaan jangka pendek untuk menjaga mendapatkan konstituen,” ujarnya usai peluncuran buku.
Kehadiran perda-perda berbasiskan agama, kata Buya Syafii, dapat menjadi ganjalan dalam pelaksanaan hukum positif di Indonesia. “Menurut saya itu harus ditinjau kembali ya. Perda berlawanan dengan UUD bawa ke MA saja. Duri dalam daging itu, artinya mengganggu pelaksanaan konstitusi Indonesia ini dan bisa menimbulkan perpecahan,” paparnya. Padahal, hukum positif di Indonesia telah menyerap nilai-nilai agama.
Ketika perda syariah disalahgunakan, maka justru telah melenceng dari tujuan syariah itu sendiri. Yaitu untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, persaudaraan, kesetaraan, keadilan, dan lainnya. “Syariah itu keadilan, kebersamaan,” ujarnya.
Falsafah Gincu dan Garam
Buya Syafii Maarif juga mengingatkan tentang falsafah gincu dan falsafah garam. Gincu terlihat jelas, tetapi tidak memberi rasa apa-apa. Sebaliknya, garam yang tidak terlihat wujudnya, memiliki pengaruh rasa. Jika ingin menjalankan ajaran Islam, kata Buya Syafii, maka harus berpedoman kepada falsafah garam, yang bisa berpengaruh besar kepada umat.
“Kalau mau menegakkan ajaran Islam itu harus berpedoman kepada filsafat garam, terasa tapi tak tampak, jangan kepada gincu, tampak tapi tak terasa,” pungkas Buya Syafii Maarif. Agama tidak cukup dijadikan sombol, tetapi harus dipahami dan dijalankan substansinya. (ribas)