YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menjadi pembicara dalam pengajian rutin Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Rabu malam, 28 November 2018.
Haedar menyampaikan bahwa di masjid yang telah berusia 205 tahun ini, Muhammadiyah punya jejak sejarah yang juga menandakan kesatuan Muhammadiyah dengan Masjid Kauman dan sekaligus dengan Keraton Yogyakarta serta seluruh masyarakat dalam kerasidenan Ngayogyakarta Hadiningrat. “Sri Sultan HB X dalam banyak kesempatan sering menyampaikan eratnya kaitan Muhammadiyah dengan Keraton,” tuturnya.
KH Ahmad Dahlan pada seratus tahun yang lalu telah memulai jejak sejarah, mengamalkan ajaran Islam yang mendayagunakan ilmu syariat dan ilmu pengetahuan. Ketika pada 18 November 2018 Muhammadiyah memperingati milad ke-106, hal itu menandakan kiprah panjang Muhammadiyah selama lebih dari seabad. “Milad kita menjadi penting untuk kita jadikan sebagai perenungan,” ungkapnya.
Haedar menyebut di antara refleksi penting dalam milad kali ini adalah untuk memperkokoh keyakinan keislaman seluruh keluarga besar Muhammadiyah dan umat Islam, bahwa Islam itu hadir sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam. “Islam itu harus menjadi pembawa kebajikan atau kebaikan yang utama, untuk keluarga kita, masyarakat kita, bangsa, negara, dan umat manusia sedunia,” ungkapnya.
“Rahmat merupakan nilai-nilai kebaikan yang membawa kehidupan menjadi lebih utama sebagai cermin dari rahman dan rahimnya Allah yang ditebar di bumi lewat kita sebagai muslim. Kita menyisihkan duri di jalan itu bentuk dari kerahmatan Islam. Lebih luas lagi, kita menjadi Muslim yang menjadikan Islam yang membawa pada peradaban Islam yang utama,” ulas Haedar.
Ketika Muhammadiyah hadir di kampung Kauman ini, ungkap Haedar, Kiai Dahlan telah mempelopori pergerakan Islam, pemahaman Islam, dan keyakinan tentang Islam, bahwa Islam itu harus hadir sebagai din al-hadlarah atau agama peradaban. “Bahwa Islam itu harus hadir membawa peradaban yang maju. Semisal tentang arah kiblat, sesuatu yang kharikul adat. Baru seratus tahun kemudian, pada 2010, MUI mengeluarkan putusan tentang arah kiblat. Perlu seratus tahun untuk mengarahkan arah kibat yang dimulai Kiai Dahlan,” katanya.
Kiai Dahlan juga menggunakan pranata pendidikan. Wahyu pertama itu iqra bi ismi rabbika allazi khalaq. “Kita disuruh membaca dan membaca atas nama Allah, rabb kita. Tidak sekadar membaca. Membaca dalam arti literasi atau membaca dalam arti mengkaji, tadabbur, menggunakan ilmu pengetahuan yang bersifat pemikiran,” ujarnya.
Saat wahyu pertama turun, Jibril tidak membawa teks untuk dibaca. Menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah seluruh hal yang mencakup dengan kata iqra. Membaca manusia dengan seluruh alam semesta yang perlu dibuka rahasianya. Supaya pengetahuan itu terbuka, maka di satu sisi dengan kedekatan pada-Nya dan sisi lain dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki. Allah mengajarkan sesuatu yang kita tidak tahu.
Islam harus hadir sebagai pembawa risalah kemajuan. Kehadiran umat Islam harus maju. “Kalau umat Islam tertinggal, siapa yang akan menjadi khalifatu fi al-ardh. Secara sejarah, Islam di zaman nabi telah mengubah peradaban Arab jahiliyah menjadi maju. Madinah yang sebelumnya kota kecil tidak dikenal, berubah menjadi kota peradaban yang maju. Dari sini, Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di era transportasi masih terbatas, Islam telah menyebar luas. Islam menjadi agama dunia, yang membuana. Orang menyebutnya dengan Kosmopolitanisme Islam,” ulasnya.
Dari peradaban Islam itu, kata Haedar, lahir puncak dan pilar kemajuan. Universitas pertama lahir di Maroko, Mesir. Tokoh-tokoh ilmuan semisal Ibnu Sina, Al-Khawarismi, Ibnu Khaldun dan lainnya hadir. Bangunan-bangunan dengan arsitektur megah muncul dan menjadi simbol peradaban yang sebagian masih ada hingga hari ini.
Saat ini, Muslim di Indonesia menjadi agama mayoritas. Namun, Haedar mengingatkan bahwa umat Islam masih punya banyak pekerjaan rumah. Dalam pendidikan perlu terus maju. Demikian juga ekonomi, harus terus dipacu. Mereka yang menguasai ekonomi akan menguasai politik.
Demikian juga dalam hal keadaban dan nilai-nilai yang harus dipegang teguh sebagai umat beragama. Era globalisasi dunia yang telah berada di revolusi 4.0, telah ikut mengubah pola perilaku masyarakat. Medsos dengan hubungan impersonal kadang telah membuat keadaban luruh. Menyikapi fenomena ini, kata Haedar, Muslim harus berpegang pada norma agama yang mengajarkan hifzul lisan, menjaga ujaran dan menjaga tulisan. Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
“Umat Islam harus menjadi khalifah di muka bumi. Menjadi leader, pemimpin, pembawa obor, pemakmur bumi. Dalam konteks keluarga, kita tampilkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Keluarga yang harmonis dan sekaligus menghidupkan tradisi iqra yang membangun peradaban,” ujarnya. Sehingga, melahirkan generasi unggulan yang qurrata ayun dan ulul albab. Generasi yang bertakwa dan punya kesadaran masa depan di dunia dan akhirat. Mendayagunakan dunia dan semua potensi di dalamnya sebagai ladang beramal dengan sebaik-baiknya.
Haedar juga menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia ini dengan prinsip keteraturan dan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Kadang ada musibah, ada senang, ada sedih. Dalam kondisi apapun, umat Islam harus melihat sisi baik. Termasuk ketika sedang diuji bencana yang sering menimpa bangsa Indonesia. Muhammadiyah mengajak bangsa Indonesia untuk menghadapi musibah dengan bergandengan tangan. Saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. (ribas)
Baca juga:
Pengajian Tarjih 21: Bagaimana Muhammadiyah Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis?
Pengajian Tarjih 14: Bagaimana dan Kemana Tujuan Hidup Manusia?
Pengajian Tarjih 6: Menebar Kasih Sayang untuk Menjaga Kehidupan