Oleh: Lya Fahmi
Dalam rangka ulang tahun Ibu yang ke-64, Fauzia Fahmi berinisiatif untuk merayakannya di sebuah restoran besar di Jl Palagan Tentara Pelajar. Restoran ini sangat sering kami lalui, tapi aku pribadi tak pernah berpikir mencoba makan di sana. Selain karena harganya pasti mahal, juga karena aku bukan penggemar ikan bakar. Kalo ikan bakar di Kalimantan aku suka, tapi kalo ikan bakar dari Cianjur kok aku ragu.
Baru saja memasuki restoran itu, Luqman Satriya Siambodo segera berbisik, “Eh, itu ada Pak Haedar.”
Aku mengikuti arah dagu masbojo. Benar, ada Pak Haedar bersama keluarga disalah satu meja. Kami pun menempati meja disebelah meja yang ditempati Pak Haedar dan keluarga.
Cukup lama aku dan masbojo berunding apakah kami akan menyapa Pak Haedar atau tidak. Kenapa tak langsung kami sapa? Karena aku dan masbojo hanya pernah jadi kader ortom dan telah lama menghilang dari peredaran struktur Muhammadiyah. Kami berdua bukan kader macam Cak Priyo A Sancoyo yang dengan sangat mudah dikenali oleh tokoh-tokoh PP Muhammadiyah. Aku yang sensitif terhadap penolakan merasa khawatir Pak Haedar akan menunjukkan wajah krik krik karena disapa oleh orang-orang yang tak ia kenali.
Tapi masa iya sih aku pura-pura mengabaikan ayahanda nomor satu di Muhammadiyah ini hanya karena kecemasan pribadi? Di dalam hati, aku pun merasa itu sikap yang kurang tepat dan tak sopan. Setelah melalui diskusi dan proses regulasi emosi yang cukup panjang, akhirnya aku dan masbojo beranjak dari kursi dan menghampiri Pak Haedar di mejanya.
“Permisi, Pak Haedar. Saya Lya, dulu kader IMM UGM…”
Yang aku harapkan hanyalah Pak Haedar menyambut jabat tanganku tanpa wajah krik krik, basa-basi sebentar, dan kami diijinkan berfoto bersamanya. Trus udah, kami kembali ke meja kami dan beliau melanjutkan obrolan dengan anak-anaknya.
Tapi yang dilakukan Pak Haedar dan Bu Noordjannah adalah menunjukkan wajah yang antusias karena tiba-tiba disapa oleh kader yang gak pernah lagi ikut sibuk ngurusi Muhammadiyah. Beliau berdua bertanya apakah rombongan meja sebelah adalah keluarga kami, ketika kami katakan ya, Pak Haedar dan Bu Noordjannah segera bangkit berdiri menghampiri dan menyalami seluruh anggota keluarga. Terus terang, aku sangat terkejut dengan respon Pak Haedar dan Bu Noordjannah yang begitu rendah hati. Padahal, bagiku beliau cukup duduk saja dan basa-basi sebentar. Tapi mungkin Pak Haedar punya standar perilaku menghormati orang lain yang lebih tinggi dari diriku yang asal-asalan ini.
Setelah berbincang sebentar dan berfoto bersama, kami kembali ke meja masing-masing. Tak lama, Pak Haedar pun meninggalkan restoran ini. Di meja makan, kami masih sibuk mengekspresikan rasa senang bertemu Pak Haedar.
Setelah selesai makan, kami pun bersiap pulang. Mas Arie menuju kasir, tapi kemudian segera kembali membawa kabar tak terduga.
“Hmm, ini makannya udah dibayarin Pak Haedar..” Katanya sambil nyengir.
WHAAATTT???? Dibayarin Pak Haedar??? Momen mengejutkannya ternyata bukan Pak Haedar yang berdiri meninggalkan kursi dan datang menghampiri rombongan keluarga kami. Lebih dari itu, beliau diam-diam juga membayar tagihan kami. Ya Allah, aku jadi malu karena selama ini sering acuh dan abai pada orang lain.
Hari itu, aku belajar respek, rendah hati, dan kepedulian dari Pak Haedar Nashir.
Aku gak paham kenapa orang sekeren itu ada yang bermaksud menjewer. Eh gimana?