Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Mencoba memahami pergolakan politik di dunia Arab dan sekitarnya termasuk Iran dan Afghanistan, yang begitu rumit dan kompleks, saya sering berseloroh kepada teman-teman bahwa semua ini gara-gara bahasa Arab menyebut kata politik dengan siyasah (t). Pasalnya, seperti kata akademisi terkemuka Inggris keturunan Lebanon, Albert Hourani dalam Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (1962), orang Arab memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap bahasa mereka dibandingkan masyarakat manapun di dunia. Mereka bukan hanya memandang bahasa Arab sebagai seni tertinggi, melainkan juga bagaimana mereka mendefinisikan dirinya: bangsa Arab adalah meliputi semua masyarakat yang berbahasa Arab.
Berbeda dengan bahasa Indonesia yang menerjemahkan kata ”politic” dengan “politik”, bahasa Arab menerjemahkan kata “politic” dengan “siyasah” (nakirah, indifinite article) atau “al-siyasah” (bentuk ma’rifah, difinite article). Kata siyasah berakar kata sâsa-yasûsusiyasatan yang artinya seperti dalam contoh kalimat sasa al-dawaba yasusuha siyasatan yang berarti qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya) atau sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi atau mengatur perkara).
Sampai di sini tidak ada masalah alias baik-baik saja. Hanya saja ketika kata Arab siyasah (t) masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi “siasat” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya, antara lain, politik (muslihat, taktik, tindakan, kebijakan, atau akal) untuk mencapai suatu maksud maka konotasinya menjadi lain. Pasalnya, siasat juga berarti muslihat dan cara berperang bagaimana mengalahkan lawan: termasuk, dan utamanya, bagaimana negara menghancurkan oposisi, dan oposisi menjatuhkan negara. Dalam kata klasik Melayu siasat malahan berarti siksa, aniaya, hukuman. Kata kerja menyiasat artinya menyiksa, menganiaya, menghukum (hal 1.300). Pantas kita orang Indonesia gagal memahami politik di dunia Arab yang terus bergolak itu.
Dulu jernih, kini keruh
Ketika perang Irak-Iran (1980-1988) bangsa Indonesia bersikap jernih dalam pengertian tidak melihatnya secara sektarian Sunni-Syi’ah. Padahal baik rezim Irak pimpinan Presiden Saddam Husein yang Sunny maupun penguasa baru Iran pimpinan Ayatullah Khomeini yang Syiah keduanya sama-sama melakukan politisasi agama secara habis-habisan. Irak memelintir perang tersebut sebagai perang yang berdimensi keagamaan dengan menyebutnya Perang Qaddisiyyah (Qaddisiyyah Saddam). Perang Qaddisiyah (636) adalah perang antara tentara-tentara Arab-Islam melawan dinasti Sassanid, Persia, yang dipimpin Kaisar Yazdegrid III yang beraliansi dengan Kaisar Heraclius dari Bysantium pada masa penaklukan Islam. Sementara Ayatullah Khomeini menyebut perang tersebut sebagai Pertahanan Suci melawan agresor atas Islam dan Revolusi Islam.
Tetapi perang dan pergolakan politik yang terjadi di seantero dunia Arab sekarang ini, baik di Yaman (antara pemberontak Houthi yang didukung Iran dan aliansi Arab yang dipimpin Saudi), Syria (antara Pemerintah Presiden Bashar Al-Assad yang didukung Iran beserta Hizbullah dan pemberontak yang didukung Saudi beserta beberapa rezim Arab), maupun fenomena Islamic State in Irak and Syria, dan lain-lainnya, telah membingungkan banyak kalangan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, dan memancing keberpihakan yang fatalnya sangat sektarianistik.
Di dunia Arab apa yang disebut dengan politik itu -seperti tercermin dalam bahasanya- dihayati sebagai benar-benar merupakan siasat yang canggih. Tidak mudah bagi kita orang Indonesia memahami perpolitikan di negara-negara Arab yang begitu rumit, kompleks, dan enigmatik itu. Politik di sana berbeda dengan di sini: alih-alih sekadar pengetahuan mengenai persoalan kenegaraan dan segala tindakan yang terkait dengan itu, di sana politik bukan hanya who get what, when, and how, melainkan siasat dalam bentuknya yang paling sempurna (par excellence) dan tinggi (in optima forma) yang tidak mudah disimplifikasi dalam perspektif agama atau apalagi sektarianisme yang miopik dan hitam putih.
Bablasan sejarah lama
Politik di Arab itu menjadi penjuru atau variabel independen dalam berbagai kehidupan, bahkan sampai dalam pengembangan ilmu dan pemikiran yang nota bene banyak dicerna di sini dalam konteks Indonesia yang sebenarnya sama sekali berbeda. Setelah menjelaskan fenomena politik di dunia Arab yang berperan sangat besar dalam menggerakkan, mengarahkan, membatasi, dan membelokkan pemikiran Arab-Islam sejak era kodifikasi, Abed Al-Jabiri, seorang pemikir Arab kontemporer, penggagas proyek pemikiran Kritik Nalar Arab dalam Takwin al-‘Aqlu al-‘Arabi (1989), mengatakan bahwa berbagai analisis terhadap pemikiran dan keilmuan Arab tidak akan pernah utuh -dan kesimpulan-kesimpulannya bisa menyesatkan- jika tidak mempertimbangkan faktor politik baik secara struktural maupun historis.
Pasalnya, politik (siyasah) lah yang melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam, dan karena itu politik lah yang sejatinya menjadi ibu dari skisma Sunni-Syiah. Sebab setelah peristiwa tahkim (arbitrase) yang mengakhiri Perang Syiffin (657 M), peperangan dahsyat antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, wacana politik mulai masuk ke tengah-tengah agama. Sikap-sikap politik yang bersifat parsial mulai mencari sandaran dalam agama, dan ini merupakan langkah teoritis permulaan yang menjadi landasan bagi apa yang di kemudian hari disebut dengan ilmu teologi atau ilmu kalam dan ilmu jadal, pen.).
Sebelum 657 M golongan Suni, Syiah, dan Khawarij belum dikenal dalam sejarah Islam. Buya Syafii Maarif dalam salah satu tulisannya menyatakan Perang Syiffin itulah yang memicu munculnya sekte-sekte dalam Islam yang merusak seluruh perjalanan sejarah umat Islam selama sekitar 14 abad (“Kapan Umat Islam Muak Berperang: Berkaca pada Perang Unta dan Perang Siffin”, Republika, Selasa, 12 Mei 2015). Sunni-Syiah itu produk sejarah dan warisan politik masa lalu. Betapa menentukannya politik pascaPerang Syiffin dalam perjalanan sejarah Arab_Islam sampai hari ini, Dr.Thoha Husen, ilmuwan dan sastrawan Mesir modern, menyebut perang itu sebagai malapetaka terbesar (al-fitnatu al-kubra) dalam sejarah Arab-Islam.
Dalam konteks dan perspektif historis maka ilmu teologi dalam Islam bukan semata-mata perbincangan soal akidah atau keimanan, tetapi, seperti kata Al-Jabiri, merupakan praktik politisasi dalam agama in optima forma. Fatalnya dalam nalar Arab, politik masa lalu bukan hanya sebuah peristiwa semata, tetapi juga merupakan preseden dan dasar-dasar (ushul) di mana orang-orang dari generasi yang lebih belakangan (khalaf) mewarisi pengetahuan kultural dari generasi-generasi pendahulunya (salaf). Negara (kekhalifahan, daulah, dan kesultanan, dulu; atau kerajaan/al-mamlakah, republik/ al-jumhuriyah, kini) dan oposisinya sama saja kelakuannya: masing-masing ingin merengkuh masa lalu itu dan memanfaatkannya untuk kebaikan dirinya sendiri. Dari sini persaingan untuk memperebutkan masa lalu merupakan penampakan dari fenomena perebutan masa kini dan masa depan.• (bersambung)
________
Hajriyanto Y. Thohari. Anggota PP Muhammadiyah (2015-2020), mantan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014).
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Wawasan Edisi 1 Januari 2019