Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 54 tahun di Yogyakarta. Kiprahnya dalam membentuk dan mengembangkan Muhammadiyah sudah tidak diragukan lagi. Ini dapat kita baca dari berbagai tulisan yang mengulas biografi sang Kiai. Namun, ada satu hal yang tampaknya belum banyak diketahui orang, yakni bagaimana media cetak di zamannya mengenang kepergian sang Kiai untuk selama-lamanya? Koran dan majalah apa saja yang memberitakan meninggalnya Kiai Dahlan? Bagaimana isi reportase mereka dalam menggambarkan Kiai Dahlan?
Sejauh mana jangkauan media cetak ini? Dalam pengamatan saya terhadap berbagai koran dan majalah yang terbit pada tahun 1923 itu, setidaknya ada empat koran dan satu majalah yang membuat obituari Kiai Dahlan, suatu jumlah yang tergolong cukup banyak di eranya. Ada empat koran Belanda yang memberitakan meninggalnya Kiai Dahlan dan mengulas kiprah sang Kiai selama hidupnya, dalam kadar berbeda, yakni Soerabajasch Handelsblad, De Indische Courant, Bataviaasch Nieuwsblad, dan Algemeen Handelsblad. Adapun majalah yang menurunkan reportase soal meninggalnya Kiai Dahlan ialah majalah terbitan Muhammadiyah sendiri, Soewara Moehammadijah, yang kini telah bertransformasi menjadi Suara Muhammadiyah.
Soerabajasch Handelsblad, koran perdagangan yang terbit di Surabaya, dan Bataviaasch Nieuwsblad, sebuah koran yang terbit di Batavia, adalah yang paling awal menurunkan obituarinya. Kutipan obituari Bataviaasch Nieuwsblad, yang mengutip dari Soerabajasch Handelsblad, dimuat dengan lengkap di buku yang ditulis oleh Abdul Mu’thi, dkk (2015: 129). Disebutkan bahwa:
Menurut Soerabajasch Handelsblad, almarhum Haji Dahlan adalah sosok yang terkenal dalam pergerakan Hindia, yang dikenal dengan tindakannya yang lunak; gerakan Islam yang dipimpinnya selalu diupayakan agar terbebas dari kecenderungan politik. Muhammadiyah tetap menjadi organisasi sosial Islam dan membawa banyak manfaat; atas desakannya, sekretarisnya Haji Fachrodin telah dikirim ke Jeddah untuk memahami perbuatan para jamaah haji di atas kapal-kapal haji. Haji Fachrodin diminta untuk membuat laporan tentang hal tersebut.
Di samping itu, diterangkan pula berbagai terobosan yang dibuat Kiai Dahlan agar para jamaah haji bisa naik haji dengan aman dan nyaman. Salah satunya terkait pemeriksaan jamaah haji wanita yang awalnya dilakukan oleh dokter pria asing. Kiai Dahlan turun tangan sehingga hanya para dokter pemeriksa wanitalah yang kemudian memeriksa jamaah haji wanita. Penekanan juga diberikan pada aktivitas Kiai Dahlan mendirikan sekolah, yang kemudian diberi subsidi oleh pemerintah. Oleh masyarakat, tulis wartawan Soerabajasch Handelsblad, sosok ini dianggap berpengaruh sehingga kepadanya diberi gelar ‘kijahi’ alias Kiai.
Seperti diterangkan di atas, laporan Soerabajasch Handelsblad dikutip oleh koran lainnya yang terbit di Batavia, Bataviaasch Nieuwsblad. Koran yang dipimpin oleh F.H.K. Zaalberg dan G. Molenaar ini pada edisi Jumat, 2 Maret 1923, menurunkan reportase berjudul “Hadji Achmad Dachlan.” Isinya sama persis dengan laporan Soerabajasch Handelsblad. Hanya bagian pembukanya saja yang berbeda. Memang, Bataviaasch Nieuwsblad menyebutkan bahwa mereka mengutip laporan dari koran Surabaya itu (‘aldus het Soer. Hbld’ atau ‘demikianlah menurut Soerabajasch Handelsblad’).
Tapi, Mu’thi, dkk. hanya menyebut Soerabajasch Handelsblad dan Bataviaasch Nieuwsblad saja saat menjelaskan wafatnya Kiai Dahlan. Padahal, ada beberapa media cetak lainnya yang juga menulis obituari sang Kiai. Bahkan, berita meninggalnya Kiai Dahlan tidak hanya diterbitkan oleh koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda saja, tapi juga oleh koran berbahasa Belanda yang terbit ribuan kilometer dari Hindia Belanda. Adalah salah satu koran terkemuka di Negeri Belanda yang menerbitkannya. Namanya Algemeen Handelsblad, salah satu koran tertua di Negeri Belanda yang terbit di Amsterdam. Koran ini sebenarnya adalah koran ekonomi, yang banyak berbicara soal harga komoditas dagang atau jadwal kapal di seluruh dunia. Tapi di kolom ‘Onze Oost’ ([Hindia] Timur Kita), koran ini menurunkan berita tentang meninggalnya Kiai Dahlan. Walaupun isi beritanya sebenarnya hanyalah versi ringkas dari laporan Soerabajasch Handelsblad dan baru diterbitkan sebulan lebih (3 April 1923) setelah sang Kiai wafat, publikasi ini jelas memperlihatkan atensi koran Amsterdam ini pada sang Kiai sebagai sosok penting di wilayah jajahan Belanda di Timur, terutama lewat dua organisasi emansipasi di mana ia aktif, Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Bisa diduga, obituari terpanjang untuk Kiai Dahlan ada di Soewara Moehammadijah. Berita ini hadir di Soewara Moehammadijah No. 2 dan 3., Tahun ke-4, Februari-Maret 1923, tepatnya di halaman 74-75. Di bagian awalnya terpajang foto Kiai Dahlan yang kini menjadi ikonik: berkemeja putih, bersorban dan berkacamata, menyimbolkan kesalehan dan kecendekiaan sang Kiai.
Isi obituari Soewara Moehammadijah berbeda dari laporan-laporan koran Belanda. Bila koran Belanda mengenang Kiai Dahlan dengan menekankan pengaruhnya yang besar di Hindia Belanda, Soewara Moehammadijah mengenang dengan lebih spiritual, personal dan emosional. Sementara koran Belanda menggarisbawahi relasi antara Kiai Dahlan dengan pemerintah kolonial melalui subsidi sekolah, Soewara Moehammadijah fokus pada ekspresi duka cita warga Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Isinya:
Inna lillahi wainna ilaihi radji’oen.
Dengan hati jang sedih kami beritahoekan pada saudara-saudara teroetama kaoem Moehammadijah dan Sarikat Islam, bahwa pada hari Djoemoeah menghadap malam Saptoe 23/24 Februari 1923 kira poekoel 11.45 u, Kejahi Achmad Dachlan Ketib Amin, ketoea dari perserikatan Moehammadijah dan Adviseur Centraal Sarikat Islam telah berpoelang ke rachmatoellah.
Dari pada itoe, marilah kita bersama-sama memoedji kepada Allah moedah-moedahanlah arwach marhoem Kejahi A. Dachlan itoe dianoegerahi Sorga pahlanja.
Lagi poela dengan pengharapan sepenoeh-penoehnja soedikan apalah kiranja saudara-saudara sama bersolat Gaib adanja.
Mengoeboernja
Maka pada pagi hari Saptoe, kira djam poekoel 10 siang, Djinazat beliau diangkatkan kekoeboer kampoeng Karang-Kadjen. Dengan beratoes-ratoeslah orang sama toeroet berdoeka-tjita, dan toeroet menganter kekoeboeran. Maka pada masoeknja Djinazat kekoeboer, kira-kira djam 12 betoel.
Soewara Moehammadijah juga melaporkan berbagai telegram yang datang pada hari pemakaman Kiai Dahlan. Pengirimnya berasal dari berbagai daerah di Jawa, mulai dari Sumberpucung, Kedungjati, Purwokerto, Purbalingga, Kudus, Jombang, Kepanjen, Pekalongan, dan Weltevreden. Para pengirim telegram ini mengekspresikan bela sungkawa mereka sekaligus mendoakan mendoakan yang terbaik untuk arwah Kiai Dahlan.
Meninggalnya Kiai Dahlan mendapatkan perhatian luas dari publik, termasuk pers. Untuk media berbahasa Belanda yang diterbitkan oleh orang Belanda dan terutama sekali ditujukan untuk audiens Belanda di Hindia Belanda dan di Negeri Belanda, reportase ini merupakan bukti pengakuan atas pengaruh sang Kiai dalam mengedukasi warga pribumi, membebaskan mereka dari kebodohan dan taklid, serta mengajak mereka untuk beradaptasi dengan dunia modern. Adapun bagi Muhammadiyah, sebagaimana tercermin dalam reportase Soewara Moehammadijah, kepergian sang Kiai adalah sebuah kehilangan besar yang di sisi lain juga berarti saatnya bagi para penerus sang Kiai untuk mengambil alih estafet kepemimpinan Muhammadiyah dan membawanya ke arah yang lebih maju.
___
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 tahun 2018
___
Baca juga