SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir mengajak untuk mengkonstruksi kembali pikiran Islam lewat paradigma iqra, menurutnya masih banyak diantara umat Islam yang mudah mengkafirkan sesamanya, lantaran klaim penafsiran tentang Islam.
“Saran saya ajakan tadi itu bagaimana cara mengkonstruksi Islam dengan paradigma iqra yang melampaui, mendalam dan tidak membuat kita saling berebut tafsir, sehingga Islam menjadi kerdil, bahkan, diri kita menjadi kerdil. Jangankan dengan orang lain yang beda agama, beda negara, bahkan sesama muslim saja kita mudah untuk takfiri,” ujarnya
Hal ini disampaikannya pada acara Dialog Kebangsaan “Islam, Kebangsaan dan Perdamaian” yang di selenggarakan di Auditorium Abdulkahar Mudzakir, Universitas Islam Indonesia, Kamis (28/2).
Ada kekerdilan yang dipahami oleh masyarakat Indonesia sekarang ini, dalam memahami Islam, banyak sekali firqoh-firqoh yang berebut untuk mengedepankan bahwa penafsirannya yang paling benar.
“Dan tak jarang tafsirnya itu digunakan sebagai alat pemukul bagi pihak lain, dan juga sebagai alat menyempitkan ruang pemikiran pihak lain,” jelas Haedar
Hal itu disebabkan karena salah dalam cara membaca dan memahami pesan-pesan keislaman, serta hilangnya narasi iqra yang sesungguhnya.
“Kita kehilangan narasi iqra yang dalam arti sesungguhnya dalam mengkonstruksi Islam,” imbuhnyanya
Dalam konteks yang sama, Haedar juga menjelaskan adanya kekerdilan dalam kebangsaan. Hal ini dikarenakan masih banyak masyarakat yang menggunakan survey sebagai salah satu tolok ukur dalam memahami realita.
“Yang muncul adalah konstruksi survey, dan konstruksi survey telah mencekoki pemikiran masyarakat, sehingga semuanya dikonstruksi narasi verbal jangka pendek.”
Menanggapi hal tersebut, Budayawan Emha Ainun Najib sebagai narasumber lainnya menyampaikan bahwa ini adalah dakwah, yang mana dalam dakwah tersebut bukan seberapa pintarnya orang dalam penafsiran, akan tetapi tadabbur dalam Al-qur’an, outputnya, seberapa bermanfaat bagi semua manusia.
“Tafsir itu adalah pengaruh barat, karena yang unggul itu adalah yang paling pintar, kalau tadabbur nggak, pintar nggak apa-apa, nggak pintar nggak apa-apa yang penting output setelah bergaul dengan Al-qur’an seberapa manfaat bagi semua manusia,” tegasnya.
Dan dalam dakwah juga harus menggunakan metode bil-hikmah, denggan segala bentuk kepintaran di kristalisasikan dalam kebijaksanaan.
Di akhir penutupan dialog Cak Nun juga mengatakan bahwah hadirnya Muhammadiyah bukan untuk saling berkompetisi, untuk saling beradu dan mengalahkan satu sama lain, tetapi Muhammadiyah hadir dengan membawa pergerakan dakwah yang menerapkan metode bil-hikmah.
Salah satu contoh yang diterapkan oleh organisasi Muhammadiyah dengan metode bil-hikmah yaitu ketika Muhammadiyah hendak memilih ketua atau pimpinan yang baru.
Dengan tidak melihat seberapa tinggi pangkatnya, akan tetapi seberapa banyak kebermanfaatannya bagi seluruh manusia.(Ian/Afn)
Baca juga
Risalah Pencerahan Tanwir Muhammadiyah Bengkulu
Akademisi dan Budayawan Urun Rembuk Gagas Pusat Kebudayaan Islam Indonesia