Bapak tua itu, Thohari namanya, telah beruban sepenuhnya. Usianya tidak lagi muda. Lipatan kulit di wajah dan tangannya menjadi penanda batang usianya yang ke 75 tahun. Hingga kini ia masih lagi setia berjuang mengurus Muhammadiyah di kampung selain juga harus menggarap sawahnya setiap saat untuk hidup sehari-hari sebagaimana kehidupan masyarakat di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Saat usianya masih remaja pada 60 tahun yang silam, ia dan teman-teman seangkatannya, termasuk Markhaban, adalah murid Buya Syafii Maarif di SMA PGII di Baturetno. Meskipun kenangan itu telah berlalu lebih dari separuh abad yang lalu, murid yang berbakti tidak akan pernah lupa pada gurunya.
Sepanjang jalan setapak yang kami lalui dipenuhi bendera Muhammadiyah. Anak-anak remaja berseragam Tapak Suci menyambut kedatangan kami. Sejauh mata memandang, terhampar sawah dengan tanaman padi yang siap dipanen. Di ujung jalan tampak gagah sebuah gedung SD Muhammadiyah Inovatif Baturetno, sebuah bukti nyata atas perjuangan para pengurus Muhammadiyah di sini untuk mencerdaskan anak Bangsa. Sesaat setelah kami menempuh perjalanan selama tiga jam dari Yogyakarta untuk sebuah pengajian peringatan Isra Mikraj, panitia dan segenap pengurus menyambut kedatangan kami secara antusias. Sebuah baliho terpampang menyambut kedatangan tamu dari Yogyakarta: “Selamat Datang Buya Syafii Maarif di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Baturetno.”
Di Kecamatan ini, sejak tahun 1959 hingga 1964, Buya mengabdikan diri sebagai seorang guru dengan gaji serba pas-pasan. Pertama kali ke Baturetno, umur Buya baru 24 tahun. Sebelumnya, untuk menghidupi diri sendiri, Buya pernah bekerja sebagai buruh di toko besi, kemudian menjadi seorang pelayan di toko kain, dan tibalah suatu hari Murdiyo, teman sekelasnya waktu di Mu’allimin Yogyakarta, mengajak Buya ke Baturetno untuk ikut berdangang bersama Murdiyo. Di sini Buya pernah jualan rokok dan tembakau di warung milik Pak Markum. Kemudian hari, Buya diminta untuk mengajar sebagai guru honorer di beberapa sekolahan tingkat menengah. Murid-muridnya dulu, sebagian telah tiada, sebagian lagi masih dapat bersua dengan Buya dalam keadaan sehat, termasuk Thohari dan Markhaban.
Di sebuah ruang kelas di SD itu, Thohari, murid Buya dulu, nampak amat terharu dengan kedatangan Buya Syafii. Ia langsung menyalamai dan mencium tangan Buya dalam tempo yang cukup lama. Beberapa kali kedua matanya ia usap dengan punggung telapak tangan. Ia menatap wajah Buya dalam-dalam. Air matanya tak kuasa ia tahan. Satu persatu jari jemarinya menghitung mereka yang telah tiada. Buya manggut-manggut dengan sambil terus mendengarkan muridnya itu meluapkan kesedihan dan keharuannya. Thohari tak menyangka masih lagi dipertemukan dengan guru idolanya dulu.
Tak lama berselang, Markhaban berseloroh sambil menirukan gaya Buya mengajar. Dari gaya bicara sampai gerak badan saat Buya mengajar dulu ditirukan oleh Markhaban. Sontak saja semua yang ada di dalam ruang kelas itu tertawa lepas. “Anda ini ingatannya kuat sekali,” kata Buya kepada Markhaban. Kemudian Buya naik ke atas panggung bersama Murdiyo. Di hadapan ratusan jamaah, Buya dan Murdiyo menyampaikan petuahnya sambil bernostalgia. Pengajian Isra Mikraj ini, Rabu (3/4/2019), diisi oleh seorang dai muda asal Bayat, Klaten, yang diawali dengan temu kangen Buya Syafii Maarif.
Dengan tangan yang gemetar menggenggam mikrofon karena usia yang sepuh, Murdiyo memulai bicara: “Usia saya mau saya habiskan berjuang di Baturetno. Saya ingin husnul khatimah. Saya ini satu didikan dengan Buya Syafii. Kami dulu di Mu’allimin dididik salah satunya oleh pencipta lagu Sang Surya, Pak Djarnawi Hadikusumo. Buya ini setiap detik dalam hidupnya sangat bernilai. Saya berusaha agar hidup saya juga bernilai. Setiap saat saya berdoa, Ya Allah, jangan matikan saya sebelum Muhammadiyah di Baturetno ini bisa maju seperti di Jogja.”
Buya Syafii kemudian menyampaikan kesannya terhadap sahabatnya itu sekaligus meberikan wejangan kepada para jamaah: “Murdiyo ini sahabat saya sejak di Mu’allimin. Dia dikirim ke Donggala sebagai anak panah, dan saya dikirim ke Lombok. Dia seorang aktifis yang setia hingga kini. Saya ke sini karena diajak beliau pada tahun 1959. Sebelumnya, saya jadi pelayan toko di Solo, lalu ketemu Murdiyo dan diajak ke sini. Bagi saya Baturetno ini tidak bisa dilupakan. Tempat ini sudah menjadi bagian dari hidup saya. Jika saja dulu saya diangkat jadi PNS di sini, mungkin hidup saya akan tetap di sini.” Tepuk tangan riuh dari jamaah menghentikan Buya sesaat.
Buya melanjutkan: “Saya lihat kampung ini sekarang sudah berubah sama sekali. Jalan rayanya sudah sangat hebat. Lain dengan zaman saya dulu. Jangan putus asa berjuang meskipun dengan segala keterbatasan. Mengurus Muhammadiyah dan Aisyiyah itu memang melelahkan, namun jika niatnya tulus pasti membahagiakan.” Di hadapan pemerintah kecamatan yang turut hadir, Buya berkata: “Muhammadiyah ini sangat setia kepada bangsa. Pemerintah seharusnya ikut membantu SD Muhammadiyah ini. Kalau Pemerintah membantu Muhammadiyah, sesungguhnya ia membantu dirinya sendiri.”
“Murdiyo”, kata Buya, “mengabdikan diri kepada Allah dengan cara mewakafkan dirinya melalui Muhammadiyah.” Buya mengakhiri kalimatnya dengan mengutip Chairil Anwar: “Kita tidak ada yang tahu kapan datangnya Malaikat Maut. Hidup ini hanya sekali, harus berarti, setelah itu mati.” Tepuk tangan kembali bergemuruh sebagai penanda selesainya temu kangen bersama Buya Safii. Sebelum kembali ke Yogyakarta, Buya Syafii dan Suara Muhammadiyah menyumbangkan dua unit komputer untuk SD Muhammadiyah Inovatif Batureto.
Akhirnya, pertemuan guru dan murid sejak lebih dari setengah abad yang lalu itu hanya berlangsung sesaat saja. Buya Syafii, Mas Isngadi, Bung Ribas, Pak Dwi Agus, dan saya harus segera kembali ke Yogyakarta. Di dalam mobil, sambil melihat-lihat hamparan sawah dan rumah-rumah warga Baturetno yang telah berubah sejak setengah abad yang lalu, Buya berkata: “Kita mau makan tengkleng di mana?” (Erik Tauvani)
Baca juga:
Garis Nasib, Guru Bahasa Inggris menjadi Guru Bangsa
Haedar Nashir dan Sebuah Janji
Syafii Maarif: Guru Aisyiyah yang Dibayar Murah Lebih Berhak Masuk Surga Daripada Saya