Oleh: Erik Tauvani
Memimpin adalah menderita, demikianlah arti dari sebuah pepatah kuno Belanda yang sangat terkenal yang berbunyi leiden is lijden. Pepatah ini kerap dikutip oleh tokoh-tokoh nasional di masa perjuangan awal kemerdekaan Indonesia untuk menggambarkan betapa sulitnya situasi kala itu. Mereka yang menjadi pemimpin bangsa pasca kemerdekaan harus siap menderita berjuang untuk mewujudkan cita-cita bangsa di tengah segala keterbatasan dan situasi sosial politik yang sangat labil. Namun di balik penderitaan itu, pasti ada tersimpan kebahagiaan yang tidak dapat digantikan dengan apapun di dunia ini, kecuali balasan dari Allah Swt.
Selaras dengan hal itu, mengurus Muhammadiyah bagi para pimpinan dari tingkat ranting hingga pusat bukanlah perkara mudah. Pepatah leiden is lijden juga berlaku di sini. Namun bagi para pimpinan, mengeluh adalah sebuah pantangan. Meminjam ungkapan Buya Ahmad Syafii Maarif: Mengurus Muhammadiyah itu memang sangat melelahkan, tapi jika niatnya tulus, pasti membahagiakan. Mereka, para pejuang, adalah orang-orang yang tulus berkorban untuk bangsa dan negara. Betapapun tampak penderitaan mereka, ketulusan itu menggerakkan jiwa dan raga hingga ke akhir hayat. Tampaknya memimpin adalah menderita, namun karena sebuah ketulusan, mereka sesungguhnya merasa bahagia.
Di sekitar kita, ada banyak kisah keteladanan, sekecil apapun itu, dari sosok-sosok pemimpin yang, mungkin saja, luput dari pengetahuan dan kepekaan karena dianggap biasa. Padahal jika kita berada di posisinya, belum tentu bisa dan mau melakukan hal itu. Mereka adalah orang tua, guru, pimpinan lembaga, rekan kerja, sahabat, atau bahkan diri kita sendiri. Mereka rela bersusah payah dalam hal-hal tertentu, namun di waktu yang bersamaan, mereka juga merasa bahagia.
Adalah Deni Al Asy’ari, Direktur Suara Muhammadiyah, pada saat Tanwir di Bengkulu beberapa waktu yang lalu ikut turun ke lapangan bersama tim dari Suara Muhammadiyah. Di sekitar Masjid At-Tanwir Universitas Muhammadiyah Bengkulu dalam rangka persiapan pameran dan bazar, Deni membaur bersama tim untuk angkut-angkut barang. Direktur muda ini tampak bolak-balik menggotong barang-barang di atas pundaknya urusan selesai. Ini tidak biasa bagi seorang direktur di sebuah amal usaha besar seperti Suara Muhammadiyah. Mungkin terlihat melelahkan, namun bagi Deni, ini menggembirakan hingga staf yang lain pun ikut bersemangat. Kegembiraan itulah yang menjadikan pekerjaan terasa lebih ringan.
Di Suara Muhammadiyah, sebagaimana yang saya rasakan, bangunan kekeluargaan di antara pimpinan dan staf terjalin demikian kuat. Kantor tak pernah sepi dari suasana canda dan tawa. Tak jarang di antara mereka ada yang membawakan makanan untuk disantap bersama-sama. Sesepuh dan para pimpinan yang sederhana dan rendah hati menjadi pendidikan tersendiri bagi para staf. Mas Deni yang turut membantu angkut-angkut barang saat di Bengkulu sejatinya membuat para staf tidak enak hati. Tapi karena ketulusan, semua menjadi larut dalam kegembiraan.
Akhirnya, kami sampaikan rasa terima kasih kepada Mas Deni Al Asy’ari atas keteladanannya. Memimpin Suara Muhammadiyah adalah amanah yang tidak ringan. Namun di tangan Mas Deni, yang tampaknya berat menjadi terasa lebih ringan. Pendidikan kesederhanaan dan membaur dengan staf menjadi suntikan semangat tersendiri bagi kami. Dari sini kami belajar bahwa sesungguhnya memimpin adalah bergembira. Tabik