“Rumah Muhammadiyah” di Garut

Oleh: Asep Purnama Bahtiar

Tempat berkumpul, berlindung, dan beristirahat sebuah keluarga, itulah antara lain tentang fungsi rumah pada umumnya dalam kehidupan manusia. Rumah menjadi entitas fisikal bagi orang perorang dalam sebuah keluarga untuk berkarya, berangkat, dan pulang. Rumah merupakan penanda subsistem atau subunit dalam struktur dan sistem sosial masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan.

Seperti itulah rumah, namun tidak demikian bagi orang pergerakan, rumah lebih dari sekedar itu. Rumah menjadi arena perjumpaan, pertemuan, dan perjuangan para aktivis dan penggerak untuk mewujudkan visi dan misi organisasi yang bergelora hingga melampaui batas-batas individu dan sekat-sekat sosial budaya setempat.

Pun demikian, kehadiran tokoh berpengaruh dan sosok hebat tempo doeloe galibnya berlangsung di sebuah rumah tokoh. Sebagai misal KH Ahmad Dahlan pada masanya bila ke Surabaya kerap menyambangi HOS Tjokroaminoto di rumahnya untuk bersilaturahim, bertukar pikiran, dan beradu gagasan dengan tokoh utama Syarikat Islam itu. Begitu pula halnya kalau Guru Politik tokoh-tokoh bangsa ini bertandang ke Jogja, pasti silaturahim ke rumah KH Ahmad Dahlan.

Rumah Muhammadiyah

Hal yang sama dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan ketika berkunjung ke Garut (Jawa Barat) pada tahun 1922. Beliau mendatangi rumah HM Djamhari seorang saudagar besar dan salah tokoh pergerakan Islam yang berkontribusi luar biasa bagi Muhammadiyah di daerah Garut pada paruh pertama abad ke-20. Selain KH Ahmad Dahlan, yang pernah melawat ke Garut di antaranya H Fachroeddin dan HOS Tjokroaminoto bersama beberapa tokoh SI lainnya.

HM Djamhari sendiri, menurut penelusuran Syafaat R Selamet (2010), kalau pergi ke Yogyakarta untuk urusan bisnisnya kerap menemui KH Ahmad Dahlan dan generasi awal Muhammadiyah, sekaligus menyaksikan langsung dari dekat kiprah gerakan Muhammadiyah di Kauman dan sekitarnya. Dari sinilah semakin tumbuh kesadaran HM Djamhari tentang pentingnya gerakan Islam yang terorganisir untuk kepentingan umat dan masyarakat luas, khususnya di daerah Garut (Jawa Barat).

Ada dugaan historis, lawatan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah ke Garut pada tahun 1920-an itu dilanjutkan ke Bandung, Cianjur, dan Batavia. Di Bumi Priangan ini pula KH Ahmad Dahlan menikah dengan seorang putri penghulu Cianjur yang bernama Aisyah dan dikaruniai seorang anak yang diberi nama Siti Dandanah. Lawatan inilah yang meninggalkan jejak-jejak Persyarikatan di Tanah Pasundan, dan selanjutnya terbukalah lahan dakwah Muhammadiyah di berbagai daerah di Jawa Barat.

Kembali ke rumah HM Djamhari tersebut, pada zamannya termasuk rumah yang berkelas: berdinding tembok yang kokoh, berlantaikan tegel dengan komposisi yang indah, kamar dengan tempat tidurnya yang nyaman, dan tentu juga perabotan mebelir yang bagus dan lengkap. Belum ada informasi yang akurat berapa kali KH Ahmad Dahlan berkunjung ke rumah HM Djamhari dan berapa malam beliau menginap. Namun yang jelas rumah yang terletak di Lio Jl. Pasar Baru no. 90 (35) depan Kantor Pegadaian ini bisa dikatakan sebagai “Rumah Muhammadiyah”di Garut, paling tidak karena dua alasan.

Pertama, rumah HM Djamhari ini, satu-satunya rumah di Garut yang pernah disambangi oleh pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, dan beliau juga sempat menginap. Kedua, sang empunya rumah HM Djamhari adalah salah satu tokoh awal Muhammadiyah di Garut dan juga sempat bergiat di SI, yang tidak terhitung nilai jasa dan kontribusinya secara moril dan materil terhadap Muhammadiyah.

Karena itu pula bercerita tentang “Rumah Muhammadiyah” ini tidak bisa dilepaskan dari peran dan kiprah seorang sosok yang bernama HM Djamhari (1882-1947) dan dinamika gerakan Muhammadiyah di Garut pada masanya. Rupanya paham agama dan gagasan pembaruan Muhammadiyah sudah dikenal oleh umat Islam di Garut ketika KH Ahmad Dahlan masih sugeng, melalui organisasi setempat yang bernama Al-Hidayah. Sebagaimana diketahui pendiri Muhammadiyah ini wafat pada 23 Februari 1923, sementara rintisan pembentukan Muhammadiyah di Garut ini sudah berlangsung sejak 1920-an.

Seperti yang pernah dikemukakan oleh HM Fadjri (1968), prakarsa HM Djamhari bersama Wangsa Eri, Masjamah, dan HM Gazal Tusi telah diusahakan sejak awal 1922 untuk mendirikan Cabang Muhammadiyah di Garut. Secara resmi Cabang Muhammadiyah Garut mendapatkan SK dari HoofdBestur Muhammadiyah tertanggal 30 Maret 1923. Seolah menjadi takdir sejarah kota kecil ini kemudian menjelma sebagai pintu gerbang yang membuka area dakwah Muhammadiyah di wilayah Jawa Barat. Bahkan bisa dikatakan pula bahwa Garut menjadi induk yang melahirkan Muhammadiyah di daerahdaerah terdekatnya seperti Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, dan sebagainya.

Pintu ke arah kamar pada tahun 1922 pernah dipakai menginap oleh KH Ahmad Dahlan (Dok Istimewa)

Museum Tak Bertuan

Bagaimana dengan “Rumah Muhammadiyah” di Garut itu sekarang? Sepertinya zaman dan sang waktu telah mengubahnya. Bukan saja zaman yang telah membuat rumah itu menjadi terlihat sangat tua tetapi juga ketidakpedulian orang-orang di sekitarnya kian meminggirkannya ke pojok kecil sejarah pergerakan Muhammadiyah di Garut.

Puluhan tahun orang dan masyarakat luas lalu-lalang di depan rumah itu dan sebagiannya juga sering atau pernah memasukinya untuk berbagai keperluan namun selama itu pula rumah berarsitektur klasik itu kalis dari perhatian dan perawatan yang seksama. Maka lengkaplah sudah rumah peninggalan HM Djamhari (Allahuyarham) menjadi bangunan langka yang tak terjaga dan tak terperhatikan.

Ketika penulis menyambangi rumah itu pada bulan Ramadhan lalu setelah acara Kuliah Subuh di PCM Garut Kota, nyaris tak tersisa keelokan dan nilai kesejarahannya bagi pertumbuhan dan persebaran Muhammadiyah di Garut dan sekitarnya. Dari arah depan rumah itu sudah tertutup lapak dan tenda para pedagang kaki lima yang berderet di sepanjang Jl. Pasar Baru. Bagian utama rumah di depan sudah kosong dan tidak terpelihara. Kamar yang dulu pernah dipakai KH Ahmad Dahlan untuk tidur dan istirahat juga sudah tidak menyisakan artefak-artefaknya. Seakan tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan yang bisa menghubungkan rasa hayat sejarah kita dengan masa lampau, kecuali tuturan lisan dan imajinasi silam. Rumah bersejarah itu seolah telah menjadi “museum tak bertuan”.

Menurut penuturan Pak H Husin (seorang tokoh sepuh Muhammadiyah) dan Ibu Wina (salah seorang kerabat HM Djamhari) rumah bersejarah ini sebetulnya sudah diwakafkan kepada Muhammadiyah Garut. Namun ada informasi lain kalau rumah tersebut juga ingin dijual untuk kebutuhan biaya berobat Ibu Hj Solihat (anak HM Djamhari yang masih ada) yang sedang menderita sakit di Bandung sejak beberapa tahun terakhir ini.

Kalau melihat karakter dan teladan perjuangan HM Djamhari, bisa dipastikan kalau almarhum juga akan memihak untuk diwakafkan kepada Muhammadiyah. Hal ini semestinya menjadi perhatian serius pimpinan Persyarikatan di Garut dan Jawa Barat agar “Rumah Muhammadiyah” itu bisa diselamatkan, kemudian direstorasi dan dijadikan situs bersejarah atau sebagai Museum Muhammadiyah Garut. Misalnya pimpinan dan keluarga besar Muhammadiyah di Garut menggalang dana untuk kebutuhan biaya berobat Ibu Hj. Solihat, sehingga rumah bersejarah itu bisa diselamatkan dan ahli waris yang sedang sakit juga bisa tertolong.

Hemat penulis, ada baiknya Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga mulai memberikan perhatian yang seksama terhadap artefak dan peninggalan bersejarah Muhammadiyah di berbagai daerah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Ikhtiar ini menjadi bagian untuk merawat ingatan kolektif dan menggugah kesadaran bersama betapa zaman sekarang dan masa depan Persyarikatan ini tidak bisa dipisahkan dari tempo doeloe, agar tidak seperti seperti “Rumah Muhammadiyah” di Garut itu yang menjadi museum tak bertuan karena kalis dari atensi dan apresiasi.

___

Asep Purnama Bahtiar, Dosen FAI UM Yogyakarta dan Wakil Ketua Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 17 tahun 2017

Exit mobile version