Rabbuhu Hawahu
Ada kejadian berulangulang setiap tahun yang menarik untuk dikaji. Ini berlangsung sebelum dan dalam bulan Ramadhan. Kejadiannya adalah, begitu memasuki tanggal lima atau enam Ramadhan, maka jamaah mall, jamaah pasar dan swalayan akan terus bertambah sampai melebihi jamaah taraweh. Jadi bulan puasa masih baru mulai, tetapi ingatan dan cita-cita orang sudah sampai setelah puasa, menikmati Lebaran dan lupa pada puasanya.
Bahkan ada yang lebih mengerikan lagi. Puasa belum mulai, tetapi sudah banyak yang merancang mengisi liburan Lebaran ke mana, ke hotel mana, berwisata ke mana, menikmati hiburan apa, membeli cindera mata apa, dan mencari obyek berfoto selfi di mana, kemudian makan-makan enak di restoran mana saja.
Jadi yang dirancang bukan bagaimana mengisi dan menikmati bulan puasa, tetapi justru waktu-waktu libur di balik bulan puasa. Maka tidak mengherankan kalau jauh-jauh hari tiket pesawat, kereta api, kapal, travel suah habis dipesan sebelum Ramadhan. Demikian juga hotel-hotel, restoran, sudah dipesan, EO hiburan sudah padat jadwal. Kejadian semcam ini tidak banyak yang menyadari sebagai sesuatu hal yang sama sekali tidak ideal dalam upaya mengisi hidup kita, khususnya di bulan Ramadhan dan momentum sesudahnya.
Yang paling berat waktu menjalankan ibadah puasa sekarang memang bukan pada menahan diri dan mengendalikan diri dari nafsu internal kita. Akan tetapi bagaimana hidup sekarang ini tengah berada pada tarikan gelombang hiper konsumerisme. Bukan hanya konsumerisme biasa seperti zaman dahulu. Tantangan eksternal sekarang begitu menghebat dan menggoda.
Salah satu tanda dari hiper konsumerisme adalah munculnya orientasi rabbuhu hawahu. Menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan. Pemujaan hawa nafsu, sampai seolah-olah hawa nafsu telah dipertuhankan dan Tuhan yang sebenarnya malah tidak dituhankan. Dalam industri hiburan dan media misalnya, yang dituhankan adalah rating, sedang dalam ilmu sosial yang dituhankan adalah survai. Dalam pendidikan sekolah, pernah NEM dijadikan benda pemujaan baru. Yang dituhankan dalam perdagangan adalah omzet penjualan. Dan tempat pemujaan nafsu itu namanya pasar.
OrientasiI hawahu itu tumbuh dan menjadi dominan di tengah kehidupan yang dikendalikan oleh bukan saja logika, tetapi dialektika produksi dan konsumsi, semua ini berlangsung dalam bius materialisme dan hedonisme. Jadi klop. Dialektika produksi dan konsumsi itu memang dimaksudkan untuk memompa nafsu konsumsi.
Dan dari gejala di atas maka dapat dikatakan kalau sekarang ini bagi banyak orang, hidup dihayati dan disadari sebagai sebagai ruang, waktu, dan kegiatan konsumsi. Lebih-lebih kalau kemudian hidup kita didikte oleh iklan dan kampanye hidup mewah, tinggal di tempat mewah, naik kendaraan mewah, minum-minuman mewah dan makan makanan mewah, busana-busana mewah dan conton pentas musik mewah. Kemewahan menjadi kewajaran dan dimitoskan sebagai simbol sukses hidup.
Dalam suasana hidup yang serba konsumsi dan seluruh tubuh manusia dijadikan obyek iklan dan konsumsi, bahkan kepala dan hati kita dimanjakan oleh selera konsumsi maka merk dan branding sebagai rujukan. Ada standar merk tertentu yang harus ditaati kalau ingin ’terhormat’ masuk ke dalam pergaulan masyarakat hiper konsumtif seperti ini. Kita juga menyaksikan trendsetter-trendsetter yang menyertai benda dan suasana konsumtif ini terus terbarukan. Lewat media yang tinggi kualitas teknologinya maka tercipta trenssetter untuk benda dan suasana konsumsi, dan ini selalu terbarukan.
Yang kurang disadari adalah, di tengah proses konsumerifikasi hidup, akan terjadi pula proses komodifikasi hidup. Hidup ini sendiri menjadi komoditas. Bisa-bisa agama menjadi pasar dan menjadi pesta. Pada saat yang sama, ide telah dinafsukan, dibendakan, sekaligus dituhankan dengan bahasa pemujaan yang baru.
Justru di tengah kegilaan suasana hiper konsumerisme ini maka ibadah puasa, juga ibadah-ibadah yang lain seperti shalat, zakat dan ibadah haji sebenarnya punya fungsi tersembunyi untuk menawarkan dan menyeimbangkan hidup manusia. Selalu ada tawaran spirit di balik aktivitas ibadah dan aktivitas sehari-hari kita. Di situlah agama berfungsi dan bermakna. (Mustofa W Hasyim)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 12 Tahun 2017