Beberapa waktu yang lalu saat menengok pembangunan kampus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Buya berkata kepada saya secara pelan dan hanya empat mata: “Rik, mungkin ini karya terbesar dan terakhir buat saya. Saya sudah tua. Pembangunan ini harus sampai selesai.”
Saya tersentak mendengar ucapan Buya itu. Sedih sekaligus tak bisa berkata apa-apa. Hanya mengiyakan: “Insyaallah, Buya.”
Menemani Buya sejak tahun 2012 untuk mewujudkan kampus terpadu Mu’allimin terasa begitu tertatih-tatih. Tidak mudah. Onak dan duri selalu saja ada di depan mata. Pembebasan lahan seluas 6 hektar di Sedayu, Bantul, kadang-kadang Tim Pengembangan menemui kebuntuan dana. Namun ada saja para dermawan yang berbaik hati meluangkan rezekinya.
Waktu terus bergulir. Bertahun-tahun persoalan tanah tak kunjung usai. Lagi-lagi persoalan dana. Beberapa kali Buya merogoh tabungannya sendiri untuk menutupi kekurangan itu. Buya mencari donatur ke mana-mana, tapi jika tak jua kunjung dapat, ujung-ujungnya ia pun pakai uang pribadinya. Entah sudah berapa yang ia keluarkan. Tidak sedikit.
“Rik, pakai uang ini dulu, katakan saja dari hamba Allah.” Ketika membawa segepok uang itu untuk diserahkan ke bendahara, rasa haru dan sedih menggelayut di kepala hingga air menggenang di pelupuk mata. Buya, oh, Buya.
Tidak selesai sampai di situ, kolom khusus Buya di Resonansi Harian Republika pun pernah dipakainya untuk mempromosikan pembangunan Mu’allimin. Ia beri judul: Madrasah Mu’allimin Jogja Menanti Anda. Tertanggal 30 Juli 2013. Isinya adalah penggalangan dana untuk pembangunan.
Donatur terus mengalir dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan Persyarikatan, hingga dari sahabat lintas iman. Mereka bahu-membahu mewujudkan impian Buya untuk sebuah tempat pendidikan generasi penerus Bangsa dan Persyarikatan.
Hingga ketika Buya berkesempatan bertemu para pejabat negara, Buya tak mau menyia-nyiakan peluang itu. Isi pidato kebangsaan Buya pun diselipkan misi penggalangan dana untuk pembangunan Mu’allimin. “Negara punya kewajiban untuk mencerdaskan anak Bangsa. Jika Negara membantu pembangunan Mu’allimin, maka sesungguhnya Negara telah membantu dirinya sendiri.” Tutur Buya secara lugas dan tegas
Seorang Menteri kemudian memberi respon positif kepada Buya: “Kami akan membantu mewujudkan impian Buya sampai selesai.” Ungkapan ini masih terngiang kuat di benak saya sampai detik ini.
Mu’allimin setiap tahun menerima pendaftar dari hampir seluruh penjuru negeri. Lebih dari setengahnya ditolak secara terpaksa karena kapasitas gedung yang tidak memungkinkan. Padahal banyak di antara mereka yang datang dari pulau seberang. Kata Buya: “Ini tidak bisa dibiarkan. Kita akan sangat berdosa jika dibiarkan terus-menerus.”
Setelah urusan tanah hampir rampung, pembangunan gedung pun dimulai. Sejak 2012, pembangunan akhirnya dimulai pada 2019, perlu waktu sekitar 7 tahun untuk memeras keringat, itupun baru untuk urusan tanah. Namun semangat Buya selaku Ketua Tim tak pernah padam. Mu’allimin harus punya kampus baru.
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya saat Milad Seabad Mu’allimin-Mu’allimaat menginstruksikan kepada kementerian terkait agar pembangunan ini segera dimulai. Alhamdulillah, Buya dan Tim bisa bernapas lega. Akhirnya
Para pengusaha juga turut ambil andil dalam pembangunan. PT Sinarmas pada saat idul qurban tahun lalu menyumbang seekor sapi di Mu’allimin. Hadir dalam penyerahan sapi itu: Buya Syafii, Gandhi Sulistyo, dan Mahfud MD.
Sambil jalan sambil lalu, Buya bercerita kepada Gandhi bahwa Mu’allimin akan membangun kampus baru yang besar karena di sini tidak lagi muat, kemudian Gandhi langsung menjawab: “Baik, Buya, Sinarmas akan sumbang satu unit gedung.” Sebuah respon yang tak diduga.
Kemudian seorang pengusaha muslim, Fahmi, dari Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah, berkomitmen membangun satu unit gedung berupa masjid.
Yang terbaru, insyaallah, Kalbe Farma Group juga akan ikut bantu. Kata Buya: “Matur nuwun sanget, semoga madrasah ini akan menjadi salah satu pilar Islam yg membawa rahmat bagi seluruh anak bangsa. Maarif”
Tapi, tuduhan demi tuduhan dialamatkan kepada Buya secara sadis, kejam, dan tidak bertanggung jawab terkait dengan usaha pembangunan ini. Parahnya, itu dilakukan oleh saudara seiman. Padahal mereka yang melemparkan tuduhan itu belum tentu berbuat walau sedikitpun. Buya hanya berkata: “Ah, sudahlah, biarkan saja.”
Pascagempa Jogja pada 2006 yang silam, Buya juga menjadi ketua panitia pembangunannya. Kini hasil kerja keras itu tampak memberi manfaat bagi banyak orang. Padahal penyumbanganya juga dari berbagai kalangan. Kini, Buya menjadi ketua Tim Pengembangan Kampus Terpadu. Tanpa gaji serupiah pun. Yang ada, Buya justru merogoh tabungan pribadinya.
Insyaallah, Suara Muhammadiyah juga akan ambil andil dalam pembangunan ini. Di lain sudut, beberapa jamaah pengajian pun iuran untuk membantu biaya pembangunan. Terlalu banyak dermawan yang tidak mungkin dituangkan dalam tulisan singkat ini. Kepada mereka semua, semoga Allah Swt membalas dengan yang lebih indah. Insyaallah
Akhirnya, selamat ulang tahun, Buya Syafii Maarif yang ke-84. Semoga panjang umur, sehat, dan berkah selalu. Semoga Madrasah Mu’allimin, tempat di mana Buya Syafii pernah dididik menjadi anak panah Muhammadiyah, segera berdiri megah dan menjadi pusat pendidikan kader Muhammadiyah yang memiliki ketajaman wawasan kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. (Erik Tauvani)