Idul Fitri merupakan momentum kemenangan kaum beriman dalam melaksanakan ibadah puasa, untuk kembali kepada kesucian diri setelah sebulan penuh melakukan pendidikan ruhaniyah dan mengendalikan diri agar bisa menggapai fitrah. Makna fitrah pada dasarnya jauh lebih luas dan mendasar daripada sekedar “suci” atau “bersih” sebagaimana dipahami oleh masyarakat pada umumnya.
Merujuk pada Al-Qur’an, fitrah adalah pola cipta manusia yang berakar pada kesucian diri yang tunduk pada hukum dan desain ciptaan Allah. Fitrah juga dapat dikatakan sebagai karunia dari Allah yang melekat dan tidak bisa berubah pada penciptaan manusia (telaah: Qs Ar-Rum [30]: 30). Dengan demikian, dalam diri manusia terdapat pola-pola yang permanen untuk selalu cenderung kepada atau menetapi kebenaran dan kebajikan serta selalu ingin bersikap dan berbuat yang baik dan benar, sesuai perkenan Allah SwT dan demi kemaslahatan hidup bersama.
Proses pencarian atau penyadaran jati diri kemanusiaan tersebut tampak jelas dalam berbagai praktik ibadah yang dilakukan kaum beriman selama bulan Ramadhan, mulai dari menahan lapar-dahaga, mengendalikan hawa nafsu dan memelihara hati, melaksanakan shalat tarawih, tadarus, i’tikaf, sampai dengan mengeluarkan zakat fitrah. Dapat dikatakan bahwa berbagai bentuk ibadah di bulan Ramadhan tersebut merupakan premis-premis penyusun ataupun prasyarat bagi penyadaran kemanusiaan yang bermuara kepada pengenalan diri yang fitri.
Dengan demikian, maka ber-Idul Fitri juga berarti kembali kepada akar dasar kemanusiaan, yaitu penyerahan ulang diri manusia kepada Allah SwT secara tulus. Idul Fitri bukan sekedar kembalinya manusia ke waktu silam dalam masa sebagaimana masa bayi yang seringkali dilukiskan seperti kertas putih atau lembaran kosong yang belum ternoda.
Dalam kerangka kesadaran kemanusiaan itulah, fitrah dalam momentum Idul Fitri memiliki harapan untuk menjadi lebih bermakna dan fungsional. Kembali kepada fitrah setiap kali memasuki Idul Fitri adalah kembali kepada kesadaran dasar kemanusiaan kita masing-masing, yaitu penyerahan diri kepada Allah secara total.
Dengan kata lain, substansi ibadah puasa itu harus menjadi wacana yang hidup sebagai paradigma kaum beriman yang mewujud dan membumi dalam kehidupan manusia. Dus, grafik korupsi dan rebutan jabatan kekuasaan akan menurun. Begitu pula dengan ketidakadilan dan penyelewengan di bidang ekonomi dan politik maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelaksanaan pembangunan tidak akan lagi terusmenerus berlangsung.
Karena itu, sekali lagi, Idul Fitri adalah momentum bagi penandasan ulang atau reafirmasi fitrah kemanusiaan atau peneguhan kembali jati diri manusia, sekaligus menjadi kritik agar keber-Islam-an atau ketundukan manusia terhadap Allah SwT jangan sekedar formalistik dan simbolik saja. Selamat `Idul Fitri 1 Syawwal 1438 H, Ja`alanal-Lahu wa’iyyakum min al-`Aidin wa al-Faizin. (asep p. bahtiar)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 13 Tahun 2017