Kisah ini terjadi pada tahun 1922. Saat itu KH Ahmad Dahlan menyampaikan pengajian di daerah Pekalongan, Jawa Tengah. Pengajian itu dihadiri banyak orang, salah seorang di antaranya sangat terkesima dengan uraian yang disampaikan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah ini.
Ceramahnya sangat bernas, sarat dengan muatan ilmu dan dalil, serta mudah dipahami oleh semua orang, bahkan oleh orang yang paling awam sekalipun. Setelah pengajian itu selesai, orang ini berkesimpulan, bahwa “Tak diragukan lagi, Kiai Dahlan ini pasti ulama”.
Namun, orang ini masih ingin tabayun, ingin membuktikan keulamaan Kiai Dahlan. Apakah yang disampaikan Kiai Dahlan di mimbar sama dengan apa yang dilakukan sehari-hari. Karenanya, orang ini akan mengikuti Kiai Dahlan pulang ke Yogyakarta.
Ketika Kiai Dahlan pulang ke Yogyakarta, diam-diam orang ini mengikutinya dari belakang. Ketika KH Ahmad Dahlan naik kereta api, ia ikut naik. Ketika KH Ahmad Dahlan turun di Stasiun Tugu, ia pun ikut turun, dan terus mengikutinya sampai tahu mana rumah Kiai Dahlan.
Orang ini merasa perlu memastikan keulamaan KH Ahmad Dahlan. Sebab, banyak orang yang ulama di atas mimbar, tapi pada kenyataannya bukan ulama. Banyak Kiai yang pandai bilang begini dan begitu, namun hidupnya sendiri tidak begini dan begitu. Ia ingin memastikan itu.
Dua hal yang ingin dibuktikan orang ini kepada Kiai Dahlan. Pertama, shalat Shubuhnya. Dan kedua, kedermawanannya. Pertama kali, ia ingin membuktikan shalat Shubuhnya. Untuk memperoleh bukti itu, ia mencari masjid yang paling dekat dengan rumah Kiai Dahlan. Menurutnya, jika memang Kiai Dahlan adalah Kiai sungguhan, maka Kiai Dahlan akan shalat Shubuh berjamaah di masjid.
Ketika waktu subuh, orang itu bergegas ke masjid untuk menjalankan shalat Shubuh. Saat masuk masjid, ternyata ia melihat Kiai Dahlan sudah berada di masjid untuk berjamaah Shubuh. Pembuktian keulamaan Kiai Dahlan yang pertama telah berhasil. Bahwa Kiai Dahlan betul-betul ulama.
Tinggal kini membuktikan kedermawanan Kiai Dahlan. Orang ini menilai, banyak orang yang rajin shalat, tapi pelit. Banyak orang yang gemar tahajjud, tapi tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Banyak yang ulet beribadah, tapi tidak mau menolong sesama. Maka, ia ingin membuktikan hal ini pada Kiai Dahlan.
Orang itu pun mendatangi KH Ahmad Dahlan, lalu mengatakan, “Perkenalkan, nama saya Ahmad Rasyid Sutan Mansur, mau pinjam sarung Pak Kiai untuk dipakai pulang ke Pekalongan”. Ia sengaja mengatakan “Pekalongan” itu untuk memberi kesan bahwa sarung yang dipinjam itu tipis harapan akan dikembalikan.
Ahmad Rasyid Sutan Mansur itu berpendapat, jika KH. Ahmad Dahlan orangnya pelit, tentu beliau akan memberikan kain sarung yang sudah jelek. Namun kalau beliau memang betul-betul ulama dan peduli dengan sesama, pasti beliau akan memberi kain sarung yang bagus. Hasilnya? Ternyata KH Ahmad Dahlan memberikan kain sarung yang masih baru.
Pembuktian AR. Sutan Mansur telah berbuah. Ia makin kagum atas keulamaan Kiai Dahlan. Akhirnya ia berguru kepada KH Ahmad Dahlan. Setiap kesempatan bertemu dengan Kiai Dahlan, ia manfaatkan untuk menyerap ide-ide pembaruan yang dibawa Kiai Dahlan.
Pertemuan AR Sutan Mansur dengan Kiai Dahkan ini mengobati kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaruan ajaran Islam. Ia menemukan pilihan aktivitasnya pada Kiai Dahlan ini.
Ketika ia berinteraksi dengan KH Ahmad Dahlan, yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh semangatnya, terus membuncah. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah tahun 1922 itu juga.
Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaruan yang dikembangkan di Sumatera Barat. Ide pembaruan agar umat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang telah membuat umat Islam terbelakang dan tertinggal dari umat lain.
Selain itu, AR Sutan Mansur menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban usai menunaikan shalat Idul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.
Karena Muhammadiyah belum bisa didirikan di luar Kasultanan Ngayogyakarto maka AR Sutan Mansur mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang, Maninjau, yang telah masuk Muhammadiyah, di Pekalongan.
Baru pada 1923, Sutan Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tabligh dan menjadi guru agama.
Ia ikut membesarkan organisasi Muhammadiyah. Ia mendirikan Muhammadiyah di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Pada 1929, ia pun berhasil mendirikan Cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai. Sehingga, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa. Dan pada Kongres Muhammadiyah tahun 1953, kakak ipar Buya Hamka ini terpilih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, menggantikan Ki Bagus Hadikoesoemo.(Pendi Purwa)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 tahun 2017