Cerdas dan Bijak Ala Nabi

Cerdas dan Bijak Ala Nabi

Foto Dok Ilustrasi

Kecerdasan dan kebijakan adalah sifat mutlak yang dimiliki Rasul atau Nabi. Sifat itu juga diperlukan oleh seorang pemimpin. Tidak mengherankan jika dalam khazanah ilmu tauhid, sifat fathanah (cerdas) dimasukkan menjadi salah satu sifat wajib bagi Rasul. Sedang sifat baladah atau bodoh dimasukkan dalam sifat mustahil bagi rasul.

Sifat cerdas seorang Nabi juga dilengkapi dengan sifat bijak penuh hikmah. Kalau kecerdasan terkait erat dengan pemahaman atau pemikiran, maka hikmah lebih terkait dengan ketepatan dalam menyikapi dan merespons permasalahan. Dalam sejarah kehidupan Nabi, kita menemukan sejumlah tindakan Nabi yang cerdas sekaligus bijak, bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi Rasul.

Misalnya, saat peletakan Hajar Aswad setelah Ka’bah direnovasi. Ketika itu muncul masalah yang menjurus pada permusuhan di antara para pemimpin di Makkah. Mereka saling merasa berhak meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Akhirnya muncul usulan dari salah seorang penduduk Makkah, barangsiapa yang pertama kali masuk Masjidil Haram, maka dialah yang berhak meletakkan Hajar Aswad.

Usul ini disepakati. Dan ternyata Rasulullah saw adalah orang yang pertama kali memasuki masjid. Maka beliaulah berhak meletakkan Hajar Aswad. Namun, dengan kecerdasan dan kebijakannya, Rasulullah saw membentangkan sorban dan meletakkan hajar aswad di tengahnya, kemudian masing-masing pemimpin kabilah memegang ujung sorban dan mengangkatnya bersama-sama.

Semua pemimpin kabilah pun akhirnya memperoleh kehormatan dan tidak ada yang ditinggalkan. Semua pihak puas. Ini merupakan solusi cerdas sekaligus bijak yang hasilnya dapat menghindarkan permusuhan.

Bijak dan sabarnya Rasulullah saw tergambar dalam riwayat berikut ini. Beliau pernah didatangi orang Badui. Orang tersebut buang air di pojok masjid Madinah. Melihat kejadian itu, para sahabat marah dan hendak menghajarnya. Akan tetapi, Rasulullah saw malah tersenyum dan berkata, “Janganlah kalian marah, biarkan ia selesaikan dulu perbuatannya dan ambilkan air untuk menyiramnya.” Kemudian orang Badui itu berdoa memohon rahmat kepada Allah SwT, dan Rasulullah saw mengamininya. Demikianlah sifat fathanah Nabi, yang mesti kita contoh. Jadilah umat yang cerdas sekaligus bijak, semoga.

Dr Ali Trigiyatno, Dosen Pascasarjana IAIN Pekalongan, Wakil Ketua PDM Batang, Jawa Tengah

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 tahun 2017

Exit mobile version