Di Kairo, satu kota metropolis tertua, akan ditemukan fragmen drama yang to be continued dan never ending antara dua lakon yang merepresentasikan dua kutub: kebaikan dan keburukan. Kebaikan yang tidak akan pernah padam sekalipun menghadapi tembok tebal kejahiliyahan modern –dalam istilah Sayyid Qutub– yang berwujud, salah satunya, diktatorisme (alistibdad). Kelompok Islamis selalu saja dalam sekian dekade menemui tembok tebal tersebut dalam mewujudkan misi “islamisasi” dan manifestasi keimanan Islam dalam pemahaman mereka. Tembok tebal tersebut diinisiasi para penguasa Mesir dari waktu ke waktu, yang berwatak kakek moyang mereka: para Pharaoh (Fir’aun), raja-raja Mesir.
Sementara, kelompok Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan sayap Islam lain seperti Al-Azhar (yang lebih moderat) adalah representasi dari watak kebaikan Musa. Contoh paling mutakhir adalah revolusi rakyat yang menggulingkan kekuasaan Hosni Mubarak. Tapi hanya dalam waktu kurang dua tahun setelah itu, kalangan Islam harus berhadapan lagi dengan bentuk diktatorisme lainnya.
Dua kutub itu juga terepresentasi dalam pertarungan kubu Islamis dan sekuleris. Kaum Islamis menginginkan Islam menjadi nilai dasar kenegaraan dan bangsa. Kaum sekuleris menginginkan Mesir menjadi multi wajah mengingat sejarah panjangnya sebagai titik pertemuan (plot) yang menggabungkan peradaban Pharaoh (Fir’aun), Helenistik Yunani, Romawi, Koptik Nasrani, dan Islam. Perdebatan panjang ini terekam dan ratusan ribu buku pun terbit. Sehingga Kairo (dalam bahasa Arab, “Al-Qahirah” artinya yang ditaklukkan) mendapat julukan baru: kota penuh perdebatan.
Lalu, siapa Musa? bayi yang ditenggelamkan di sungai Nil setelah ibunya mendapat ilham Tuhan. Bahwa Musa akan diselamatkan dari makar banalitas Fir’aun yang membunuh seluruh bayi laki-laki. Ilham itu benar. Musa pun dipilih Tuhan menjadi Nabi penyelamat Bani Israil, kabilah pertama yang memperoleh kehormatan diceritakan pertama kali dalam Al-Qur’an. Siapa Fir’aun? Tepatnya Fir’aun Ramses II adalah merepresentasikan kejahatan: kelaliman, kebengis-kejian, hingga otoritarianisme-diktatorisme (istibdad). Kesombongannya memunculkan kredo anti-kematian sebagaimana kredo Tuhan sejatinya, hingga kredo dapat melakukan apa saja (yang tentu) dengan fasilitas sihir.
Musa adalah lakon kebaikan. Fir’aun adalah lakon keburukan. Penggalan drama kehidupan dua lakon tersebut, Tuhan memberikan pengajaran tentang narasi drama kehidupan selanjutnya. Drama apakah yang akan terjadi? Sebetulnya dengan mudah bisa ditebak jika kita tekun dan cerdas membaca ayat-ayatNya. Dan di Kairo, narasi itu bermula dan berlanjut hingga kini. Di Maydan al-Tahrir (lapangan pembebasan) di pinggir sungai Nil, Musa dan Fir’aun timbul tenggelam. Timbul tenggelam. Dulu, kini, dan yang akan datang. (Abu Khalilah Kinayah)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 tahun 2017