Ajaran Moderasi Islam dari Nabi di Era Digital
عنْ أبي هُرَيرةَ عنِ النبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاّ غَلَبَه، فسَدِّدوا وقارِبوا، وأبْشِروا، واسْتَعِينوا بالغدْوَةِ والرَّوْحةِ وشيءٍ منَ الدُّلْجة (رواه البخاري)
“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang memberat-beratkan diri dalam beragama kecuali dia akan dikalahkan oleh agama itu sendiri, maka laksanakanlah agama dengan tepat tanpa berlebihan, usahakan beragama untuk mencapai kesempurnaannya, bergembiralah dengan pahala yang dijanjikan, dan minta tolonglah pada Allah agar dapat istiqamah dalam beribadah pada pagi hari, petang hari, dan pertengahan malam hari,” (HR Al-Bukhari).
Dewasa ini, di tengah derasnya arus informasi khususnya lewat dunia maya, kita akan dengan mudahnya menyaksikan model-model manifestasi keberagamaan (penghayatan dan pembuktian lewat perilaku) yang dilakukan oleh umat Islam. Status di media sosial, tulisan atau artikel ringkas yang sangat mudah disebarluas online tanpa melalui editor sebagaimana ditunjukkan dalam kerja-kerja redaksi jurnalistik resmi, hingga proxy conflict (konflik halus tanpa senjata sebagaimana di dunia nyata) yang dilakukan bahkan ‘lebih semangat’ antarsesama Muslim dikarenakan beberapa hal, di antaranya berbeda penafsiran terhadap sumber-sumber ajaran Islam dan yang utama kebanyakan adalah kepentingan politik yang berbeda. Ragam perilaku yang ditunjukkan di dunia maya tersebut mencerminkan perilaku keberagamaan mutakhir umat Islam, khususnya di lingkup Indonesia, meski kita bisa menariknya di lingkup global umat Islam.
Beberapa model keberagamaan Islam di dunia maya tersebut dapat dikelompokkan dalam dua macam. Pertama, model beragama yang tekstualis, yaitu mereka yang memahami, menafsirkan dan menjalankan Islam sesuai dengan bunyi harfiyah nash-teks sumber ajaran Islam (AlQur’an dan Hadits) dengan tanpa membuka celah penafsiran yang terkait erat dengan semangat zaman serta kesejarahan. Pendekatan ini mereka gunakan untuk merespons masalah-masalah aktual (duniawi) dengan tanpa membedakan mana yang termasuk perkara ibadah dan muamalat. Contoh sederhananya, kita akan dapati di salah satu situs online dari kelompok ini, pendapat yang melarang adanya gambar-gambar di rumah-rumah Muslim karena mengikuti bunyi teks Hadits, “la tadkhulu al-malaikah baitan fihi kalbun wala shuratun”, yang berarti malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar (HR AlTirmidzi).
Padahal, Hadits ini dapat ditarik kepada sebuah pertanyaan, jika gambar tersebut ada di dalam buku, kertas, handphone, dan dalam kain yang kita simpan di lemari rumah, apakah termasuk ke dalam larangan tertulis hadits tersebut? Pemahaman yang ekstrem dan ketat seperti ini kemudian dipaksakan sebagai satu-satunya kebenaran dalam beragama dikarenakan adanya perasaan paling dekat dengan kebenaran yang terkandung dan tertulis dalam teks. Contoh populer lain adalah apa yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan diri Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) yang banyak menghancurkan bangunan cagar budaya di Irak dan Suriah dikarenakan menurut mereka berpotensi mengarah pada kesyirikan.
Kelompok kedua adalah mereka yang cenderung menjauh dari nash-teks, bersikap lebih longgar dalam beragama serta mengikuti perilaku dan pemikiran dari budaya dan peradaban lain, terutama yang sekarang memimpin dunia, yaitu Barat. Kelompok seperti ini biasanya diistilahkan dengan Muslim liberal. Kecenderungan mereka yang terlalu longgar dan jauh dalam menafsirkan teks agama hingga overdosis dalam hal kontekstualisasi (menyesuaikan dengan kondisi terkini). Sehingga akan kita dapati dalam salah satu situs online milik kelompok ini pembelaan yang kuat akan hak-hak kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dengan menarik jauh penafsiran ayat mengenai kisah kaum Sodom dalam Al-Qur’an.
Kedua kecenderungan di atas, hemat penulis, sama-sama tidak akan menguntungkan umat Islam. Kecenderungan pertama menjadikan umat Islam sangat eksklusif dan seakan hidup sendirian di era digital yang menjadikan dunia tidak bersekat ini. Sedang kecenderungan kedua mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya karena lebur dan larut dalam budaya dan peradaban lain.
Maka Hadits di atas menjadi sangat tepat dibaca dan di-syarh ulang di era digital ini, mengingat sejatinya kedua kecenderungan sikap di atas tidak hanya terjadi baru-baru ini, namun sebagai fenomena yang terus berulang sepanjang sejarah Islam. Jika pada kalangan sahabat Nabi Muhammad saw ada yang mempersonifikasikan Umar bin Al-Khatab ra sebagai berkecenderungan liberal karena ijtihadnya berbeda dengan teks aslinya, semisal pada kasus pembagian harta ghanimah (saat itu tanah mulai dari Mesir hingga Irak) yang tidak ia bagi sesuai aturan dalam Qs Al-Anfal: 41, namun ia ganti dengan pembayaran pajak oleh pemilik tanah tersebut. Pun ada sahabat yang dipersonifikasikan tekstual seperti Abu Bakar Al-Shiddiq ra.
Penggalan kata dalam Hadits di atas yang menunjukan agar umat melaksanakan ajaran Islam secara tengahan (wasath) dengan tidak berlebihan ke kanan maupun ke kiri adalah “walan yusadda ad-din ahadun illa ghalabahu, fasyaddidu waqaribu”. Demikian menjadi spirit yang diajarkan Nabi dalam hal memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang dapat ditarik ke dalam beberapa ciri wasathiyah Islam sebagaimana disitir dalam Qs Al-Baqarah: 143. Beberapa karakteristik dari beragama yang tawasuth (moderat) sebagai alternatif kedua kelompok kecenderungan di atas yaitu:
- Memahami realitas. Bahwa kehidupan manusia selalu berubah dan berkembang tiada batas, sementara teks-teks (nash) keagamaan terbatas. Untuk itu diperlukan klasifikasi mana ajaran Islam yang bersifat tsawabit (tetap) dan tidak boleh berubah seperti prinsip-prinsip akidah, ibadah, muamalat, dan akhlak. Juga mana yang bersifat mutaghayyirat (bersifat ekletik-fleksibel serta boleh berubah) dan dimungkinkan melakukan reintepretasi (ijtihad) ulang sesuai perkembangan zaman seperti alat atau sarana dalam ibadah atau sekedar masalah model pakaian;
- Memahami fikih prioritas. Sikap teknis moderasi dalam hal ini misalkan untuk tidak mendahulukan dan mementingkan hal-hal yang sunnah dan meninggalkan yang wajib;
- Memberikan kemudahan kepada diri dan orang lain dalam beragama. Hal ini disabdakan oleh Nabi ketika mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman dengan berpesan “yassiru wala tu’assiru”. Artinya, berilah kemudahan dalam berdakwah dan berfatwa, jangan mempersulit orang. Ini tidak berarti mengorbankan teksteks keagamaan dengan memudah-mudahkan bagi masyarakat, tetapi dengan mencermati teks Al-Qur’an dan Hadits secara mendalam untuk menemukan kemudahan yang diberikan oleh agama. Rasul sendiri jika diberikan dua pilihan, beliau selalu mengambil yang paling mudah di antara keduanya;
- Memahami teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan hadits) secara komprehensif tidak parsial atau sepotong-potong. Dengan membaca Al-Qur’an secara utuh, akan dapat disimpulkan bahwa kata jihad dalam Al-Qur’an tidak selalu berkonotasi perang mengangkat senjata melawan musuh, tetapi dapat bermakna jihad melawan hawa nafsu dan setan;
- Terbuka dengan dunia luar dan mengedepankan dialog dan bersikap toleran. Sikap ini didasari pada kenyataan bahwa perbedaan di kalangan manusia adalah sebuah keniscayaan.
Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Mukhlis Rahmanto, Dosen UMY
—
Tulisan ini telah dimuat di Majalah SM Edisi 15 tahun 2017