YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Tarjih di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta edisi 52 mengusung tema “Hal Ikhwal Wakaf Uang”. Narasumber pada pengajian yang berlangsung pada 8 Agustus 2019 itu menghadirkan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Dr Mohammad Mas’udi MAg.
Menurut Mas’udi, tidak ada teks al-Qur’an dan Sunnah yang menyebut langsung tentang wakaf. Namun ada beberapa nash yang dipandang bisa menjadi pijakan tentang wakaf, semisal QS. Al Hajj: 77 dan Hadis: Jika anak Adam wafat, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga hal, salah satunya adalah sedekah jariyah, yang dipahami sebagai wakaf.
Praktik yang selama ini berjalan di lingkungan Muhammadiyah adalah wakaf melalui uang, bukan wakaf uang atau wakaf tunai. Dalam Kitab Waqaf Himpunan Putusan Tarjih disebutkan, “Kalau engkau menerima uang untuk waqaf atau mendapat barang waqaf yang tidak tertentu, atau yang berwaqaf (waqif-nya) tidak menentukan, hendaklah engkau pergunakan sebagai amal jariyah yang sebaik-baiknya, jangan sampai harta benda waqaf itu tertimbun menjadi kanaz (timbunan) yang terkutuk”. Putusan Tarjih pada Muktamar Khususi ke-32 di Purwokerto tahun 1953 tersebut mengindikasikan bolehnya wakaf dalam bentuk uang tunai, tetapi tidak diperinci tentang ketentuan lainnya.
Rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah edisi 19 tahun 2018 memuat Fatwa “Wakaf Uang, Wakaf Menggunakan Uang, dan Kepemilikan Benda Wakaf”, yang menyertakan Fatwa MUI tahun 2002. Komisi Fatwa MUI menetapkan fatwa tentang wakaf uang pada 28 Shafar 1423 H/1 Mei 2002 M, sebagai berikut: (a) Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, (b) Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, (c) Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, (d) Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh), (e) Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
“Putusan Tarjih tahun 1953 masih menggunakan paradigma lama, sementara dalam Majalah SM edisi 19 tahun 2018 sudah menggunakan paradigma baru,” tutur Mas’udi. Paradigma baru diperlukan karena kondisi sosial masyarakat yang berubah. Dinamika dan tuntutan perubahan ini harus direspons. Dalam paradigma baru misalnya, disebutkan bahwa harta yang telah diwakafkan dapat bersifat selamanya dan dapat pula bersifat sementara atau berjangka waktu.
Mengapa perlu ada paradigma baru dalam wakaf? Mas’udi mengajukan beberapa alasan. Pertama, belum optimalnya peran wakaf dalam peningkatan kesejahteraan umat. Kedua, pemahaman masyarakat yang belum memadai dalam perkembangan wakaf kontemporer. Ketiga, banyak nadhir wakaf yang tidak mengerti tentang konsep wakaf produktif, kemitraan wakaf, wakaf uang, dan lainnya. Keempat, wakaf perlu diintegrasikan dalam sistem ekonomi nasional tiap negara dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Ma’udi menyebut bahwa paradigma baru tentang wakaf dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU tersebut. Melalui regulasi ini, cara untuk mengekalkan uang sebagai benda wakaf adalah melalui lembaga keuangan syariah. Oleh bank syariah nantinya uang wakaf akan dikelola dengan prinsip mudharabah. Bank syariah berlaku sebagai mudharib dan nadhir berlaku sebagai shahibul maal.
“Dalam paradigma baru wakaf, pertama, harta wakaf yang berupa tanah dan uang, bisa diwujudkan menjadi rumah sakit, rumah susun, gedung perkantoran, pusat perniagaan, tidak hanya untuk masjid, kuburan, dan sekolah. Kedua, keuntungan dari pengelolaannya bisa disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian beasiswa, pembangunan jalan, program pengentasan kemiskinan, dan lainnya,” urai Mas’udi. Harta wakaf itu bisa untuk bermacam aktivitas: ibadah, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan kesejahteraan umum lainnya. (ribas)
Baca juga:
Pengajian Tarjih 21: Bagaimana Muhammadiyah Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis?
Pengajian Tarjih 14: Bagaimana dan Kemana Tujuan Hidup Manusia?
Pengajian Tarjih 6: Menebar Kasih Sayang untuk Menjaga Kehidupan