Tim Ekspedisi Destana Tsunami 2019 MDMC kali ini singgah di Sindangbarang, sebuah kecamatan di selatan Cianjur yang batas selatannya adalah Samudra Hindia. Awalnya kami sudah diberitahu teman dari MDMC Cianjur bahwa tidak ada cabang Muhammadiyah di sini. Bahkan bayangan kami, warga Muhammadiyah satu pun juga tidak ada. Dengan informasi seperti itu, kami sudah berpikir untuk bergabung saja dengan rombongan sosialisasi dari BNPB.
Namun ternyata kami salah, meski belum ada Pimpinan Cabang Muhamadiyah (PCM), namun disini sudah berdiri Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) sejak tahun 2014. Ketuanya bernama Ajeng Karwati, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di kampung Cikawung, Telagasari, Sindangbarang.
Dalam rombongan ekspedisi Destana Tsunami kami kali ini ada dua rekan dari Cianjur yang menyambut dan mendampingi kami, yaitu Ketua MDMC Cianjur Kang Edy dan Ketua Lazismu Cianjur Pak Nandang, Kang Edy inilah yang berusaha menghubungi cabang Muhammadiyah terdekat yang bisa kami singgahi. Ternyata cabang terdekat ada di Kecamatan Cidaun, sekitar 30 menit sebelum Sindangbarang dari arah timur.
Saat mengontak cabang Cidaun inilah, kami diberi informasi ada kader ‘Aisyiyah di Sindangbarang, setelah diberi kontak dan janjian untuk bertemu, kami lalu menuju rumahnya. Di sana kami disambut Ibu Karwati di rumahnya dan setelah memperkenalkan semua rombongan, segera kami terlibat pembicaraan yang nyambung karena kesamaan organisasi.
Ajeng, mulai bercerita bagaimana dia merintis ‘Aisyiyah di Sindangbarang. Awalnya dia adalah Ketua ‘Aisyiyah Cianjur, Ibu Titin Suantini dan salah seorang anggota Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah beserta rombongan berkunjung ke Sindangbarang sekitar tahun 2014, bermaksud mencari personil yang mau menjadi kader Aisyiyah. Mereka mendatangi kantor kecamatan Sindangbarang dan mengutarakan tujuannya. Oleh pihak kecamatan, disodorkan nama Ajeng Karwati, seorang ibu rumah tangga dan penggiat kegiatan wanita di Sindangbarang.
Setelah pembicaran tersebut, Ajeng mengumpulkan para wanita penggerak kegiatan desa yang dia kenal untuk diajak bersama-sama mendirikan Aisyiyah Sindangbarang. Terkumpul 10 wanita penggerak desa dari 3 tempat, yaitu Desa Talagasari, Desa Kertamukti, dan Desa Jayagiri. Setelah terbentuk, langkah awal Ajeng dalam menggerakkan ‘Aisyiyah di Sindangbarang adalah mendirikan Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA) dan mengadakan pengajian.
Awalnya para tokoh agama di desa-desa tersebut yang menolak upaya Ajeng mendirikan Aisyiyah, karena mereka tahu bahwa Aisyiyah adalah organisasi wanita Muhammadiyah. “Awalnya ada tokoh agama yang menolak, karena belum faham dan tidak suka dengan ‘Aisyiyah,” katanya. Bagi masyarakat Cianjur, Muhammadiyah adalah organisasi yang tidak disukai karena tidak sejalan dengan corak beragama masyarakat pada umumnya yang masih bercorak tradisional.
Dengan BSA, Ajeng mengumpulkan 10 orang kader wanita dari tiga desa tersebut untuk dilatih menjadi kader-kader motivator di desa masing-masing. Dari masing-masing desa dibentuk itu dibentuklah 4 BSA sehingga total ada 12 BSA dengan kegiatan utamanya adalah pengajian, sosialisasi kesehatan dan usaha peningkatan ekonomi warga. Setelah mantap pengorganisasiannya, setiap bulan BSA yang terbentuk ini mengadakan rapat pertemuan dan tiga bulan sekali mengadakan evaluasi.
Dalam menjalankan roda organisasi Aisyiyah Sindangbarang, Ajeng berusaha menjalankan kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Sadar tidak mungkin masuk melalui kegiatan agama dalam arti menyebarkan paham beragama Muhammadiyah, maka BSA yang didirikannya mengambil bidang kesehatan dan ekonomi sebagai garapannya. Pengajian BSA diisi dengan materi promosi hidup sehat dan usaha peningkatan ekonomi warga.
Tidak ketinggalan dalam perjalanannya membesarkan PCA Sindangbarang, Ajeng juga terlibat dalam advokasi permasalahan-permasalahan masyarakat terutama kaum perempuan seperti kasus pemerkosaan. “Selama ini tidak ada organisasi perempuan lain yang peduli terhadap permasalahan masyarakat di Sindangbarang, kecuali Aisyiyah,” katanya. Atas berbagai upayanya yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup masyarakat, lambat laun justru kehadiran Aisyiyah dinanti-nanti.
Di bidang pendidikan, Ajeng Karwati bersama sejawat di PCA Sindangbarang merintis sebuah SMK bernama SMK Sultan Giri yang berlokasi di kampungnya, tidak jauh dari rumah. Secara kelembagaan SMK yang dia dirikan tidak memakai nama Muhammadiyah sama sekali dengan pertimbangan agar tidak ditolak oleh warga. SMK Sultan Giri mempunyai dua jurusan yaitu Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian (TPHP) dan Administrasi Perkantoran (AP).
Lewat sepak terjangnya di Aisyiyah Sindangbarang, Ajeng hanya berharap bahwa dirinya bisa menjadi pribadi bermanfaat dan membawa perubahan positif bagi kehidupan warga karena memang warga sangat membutuhkan uluran tangan bantuan dari semua pihak untuk memajukan kehidupan mereka. (Sapari/Aulia)