Oleh : Ahmad Soleh
Dalam hitungan kalender Hijriyah, usia Muhammadiyah sudah menginjak 110 tahun (18 Dzulhijah 1330-18 Dzulhijah 1440 H). Sedangkan dalam kalender Masehi, pada 18 November mendatang persyarikatan yang didirikan Kiai Dahlan pada 1912 ini akan menginjak usia 107 tahun. Perjalanan persyarikatan yang kini menjelang abad kedua, telah menorehkan begitu banyak prestasi dan karya nyata. Semua karya dan prestasi itu merupakan sumbangsih dan dedikasi yang diberikan Muhammadiyah terhadap agama, bangsa, dan kemanusiaan. Untuk kemajuan Indonesia, Muhammadiyah ada di garda terdepan.
Ahad (25/8) kemarin, penulis mengikuti Pengajian 3 Bulanan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Parungbingung, Depok, yang digelar di Masjid Al-Hukama. Dalam pengajian yang mengangkat tema “Refleksi 110 Tahun Muhammadiyah: Meneladan Para Pendahulu dalam Bermuhammadiyah” ini pemateri Muhbib Abdul Wahab, pengurus PP Muhammadiyah yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UMJ, menyampaikan bahwa Muhammadiyah sejak awal sudah mengamalkan apa yang disebut toleransi dalam kehidupan berbangsa. “Sehingga, tak perlu berteriak merasa paling Pancasila dan paling NKRI,” kata Ustaz Muhbib, Ahad (25/8).
Toleransi dalam kehidupan berbangsa, mesti dibuktikan dengan perilaku dan karya, bukan kata-kata belaka. Karya yang ditorehkan Muhammadiyah dapat dilihat dari kehadiran amal usaha di Papua yang notebene penduduknya mayoritas non-Muslim. Sehingga, jargon “sedikit bicara banyak bekerja” menjadi karakter gerakan Muhammadiyah. Ustaz Muhbib menyampaikan, sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah di Papua membawa pencerahan bagi masyarakat Papua. Artinya, meski membawa label ormas Islam terbesar, amal usaha Muhammadiyah diterima dengan baik, bahkan dibanggakan oleh masyarakat Papua yang telah merasakan kebermanfaatannya.
Hal ini tentu tidak lepas dari semangat yang dibawa para pendahulu Muhammadiyah. Baik itu sang pendiri, Kiai Ahmad Dahlan, maupun generasi setelahnya. Semangat dalam membangun gerakan persyarikatan adalah semangat jamaah, semangat kebersamaan. Karena dengan semangat jamaah itulah kita bisa merasakan bagaimana bergerak untuk kepentingan dan kemaslahatan umat.
Selain itu, ada spirit teologi Al-Ashr dan teologo Al-Maun yang menjadi inspirasi dan landasan pijak gerakan dakwah pencerahan Muhammadiyah. Istilah dakwah pencerahan berarti Muhammadiyah mengamalkan dakwah yang membebaskan (tahrir), memberdayakan (taqwiyah), dan memajukan (taqdim). Elan vital dan ruh gerakan inilah yang mesti dijaga. Sehingga karya-karya nyata persyarikatan bisa lebih banyak dan lebih maju serta memberikan kebermanfaatan kepada manusia tanpa pandang bulu.
Meneladan Pendahulu
Dalam pengajian tersebut, Ustaz Mahbub juga mengajak kita untuk bisa mengambil teladan dari pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan AR Fachruddin. Meneladan para pendahulu akan memberikan kita gambaran sejarah dan dinamika pemikiran yang membangun Muhammadiyah hingga sampai seperti saat sekarang ini.
Sebagai pendiri Muhammadiyah, Kiai Dahlan merupakan tokoh yang sangat kuat karakternya. Selain seorang ulama, dia juga merupakan sosok revolusioner yang mampu mendobrak tradisi dan kejumudan. Ide-ide gerakannya mencengangkan bagi orang-orang pada zaman itu—terutama umat Muslim. Bahkan, saking revolusionernya Kiai Dahlan pernah diolok-olok dengan sebutan “Kiai kafir”.
Dalam kisahnya, Kiai Dahlan pernah mengajarkan surah Al-Maun kepada santri-santrinya. Sampai-sampai para santrinya merasa bosan dan mulai mengeluh. “Sampai kapan kita mengaji Al-Maun, Kiai?” tanya salah seorang santri kepada Kiai Dahlan. Kiai Dahlan pun balik bertanya, apa yang kamu sudah amalkan dari surah ini? Mengamalkan menurut Kiai Dahlan bukanlah sebatas menghafal atau membacanya dalam shalat fardhu. Mengamalkan bagi Kiai Dahlan berarti mewujudnyatakan dalam tindakan, perbuatan, dan gerakan. Mengamalkan berarti membumikan, sehingga ajaran Islam menjadi rahmat bagi semesta.
Kemudian, Kiai Dahlan dan santri di Langgar Kidul-nya itu mencari anak-anak telantar untuk kemudian memandikan, memberikannya makan, kemudian diajari mengaji langsung oleh Kiai Dahlan. Inilah awal mula gerakan sosial berbasis teologi Al-Maun yang dikerjakan Kiai Dahlan dan santri-santrinya. Apa yang dilakukan Kiai Dahlan ini merupakan hal yang begitu revolusioner. Jika Islam kerap disampaikan sebagai dakwah-dakwah mimbar belaka, Kiai Dahlan menjadikan dakwah itu dengan perbuatan atau dakwah bil hal. Lebih-lebih dia sosok yang uswatun hasanah.
“Jadilah guru sekaligus murid” adalah jargon Kiai Dahlan yang menyiratkan visi pendidikan modern. Menjadi guru sekaligus menjadi murid berarti semua orang, sekalipun ia seorang guru harus terus belajar kapan pun dan di manapun. Karena kunci keberhasilan ada pada proses belajar yang tiada henti. Ungkapan ini juga menandakan adanya kesadaran untuk senantiasa mengikuti perkembangan zaman yang terus bergerak. Sejatinya, spirit yang diajarkan Kiai Dahlan saat itu adalah spirit membumikan ajaran Islam yang berkemajuan. “Islam itu harus kemajoean,” begitu ungkapnya.
Yang selanjutnya dibahas pemateri adalah sosok AR Fachruddin. Pak AR merupakan tokoh pemimpin Muhammadiyah yang menjabat sebagai ketua umum cukup lama, yakni 38 tahun (1968-1990). meski begitu, Pak AR dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan hidup sederhana. Tak ada sedikit pun yang dia dapatkan dari jabatannya sebagai ketum ormas Islam terbesar.
Dalam kisahnya, Pak AR memang sosok yang mampu menjaga jarak dan hubungan baik dengan pemerintah pada saat itu, Pak Harto. Sampai-sampai, dia ditawari rumah dan mobil oleh Pak Harto. Namun, Pak AR menolak pemberian itu. Saking bersahajanya, Pak AR ke mana-mana naik sepeda motor. Dia pun masih sempat berjualan bensin eceran di depan rumahnya. Begitulah kira-kira kesahajaan Pak AR yang juga disebut sebagai sufinya Muhammadiyah. Dia tak pernah memanfaatkan jabatan strategisnya di Muhammadiyah untuk kepentingan dan keuntungan pribadi.
Ditarik kepada zaman kiwari, kita mesti bisa mengambil teladan dari para pendahulu. Baik dalam menjalankan dakwah persyarikatan maupun dalam menjalani kehidupan berbangsa. Terutama bagi generasi muda yang akan berperan memegang tampuk kepimpinan umat dan bangsa ke depan. Kita perlu belajar dari tokoh-tokoh terdahulu. Tentang bagaimana memegang dan menunaikan amanah, tentang belajar dan berproses, juga tentang bagaimana berpikir maju dan tidak jumud. Selain kedua tokoh tersebut, tentu kita juga mesti mempelajari dan mengambil teladan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya. Mulai dari Buya Hamka, Ki Bagus Hadikusumo, Sukarno, Jenderal Soedirman, Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Haedar Nashir, dan masih banyak lagi. Terakhir, kita mesti mencatat pesan Pak AR Fahcruddin ini, kita harus ikhlas, tekun, ulet, dan sabar dalam menjalankan amanat persyarikatan.
Ahmad Soleh, Sekretaris DPP IMM