Sudah menjadi kebiasaan manusia menjadikan penghujung tahun sebagai momen khusus. Terutama pula gembar-gembor perayaan dan hingar-bingar luapan kebahagiaan. Namun sedikit dari parade keramaian ini, manusia yang melakukan kontemplasi. Lebih banyak di antaranya menghabiskan semalaman dengan ragam hiburan habis pakai. Sebagai Muslim tentu kita mafhum bahwa masa adalah esensi manusia menjalani hidup. Tidak heran Allah menjadikan masa sebagai sumpah dari sekian banyak sumpah dalam Al-Qur’an.
Ini menunjukkan betapa pentingnya sumpah ini untuk diperhatikan. Lebih-lebih sumpah masa tersebut disandingkan dengan jatuh ruginya manusia menjalani hidup. Kecuali, tentu saja, orang yang beriman dan beramal shalih: tawâshau bi’l haq dan tawâshau bi al-shabr. Untuk itulah mereka dianggap sebagai orang-orang yang beruntung.
Mengapa manusia rugi dan beruntung? Jika dikaitkan dengan masa hidup, maka tentu berhubungan dengan apa yang dilakukannya sepanjang hayat. Rugi jika tidak beriman, walau ia menghabiskan waktunya dengan amal shalih. Apalagi tidak beriman, pun tidak beramal shalih. Tambahlah ia merugi. Maka, sebenarnya, manusia disediakan rentang masa sebagai kawan karib.
Karena inilah kita diminta mengakrabinya. Manusia diperintahkan untuk membangun relasi masa sebagai bagian dari keakraban tersebut. Allah telah memerintahkan dua hal dalam Qs Al-Hasyr: 18, yaitu takwa dan kontemplasi (munâdzarah) masa lalu untuk masa datang. Dua sisi masa tersebut yang kadang luput dari kontemplasi manusia, sehingga melupakan salah satunya. Jadi belum dianggap akrab apabila kita tidak menggandeng dua sisi masa tersebut.
Barangkali wajar apabila pergantian masa tahun dirasakan spesial bagi manusia. Namun tidak bijak bila seorang Muslim justru tidak menghargai momen tersebut secara kontemplatif. Berubahnya satu angka sebagai penanda masa tahun sebenarnya adalah masa lalu untuk masa datang. Untuk itu, seharusnya, seorang Muslim akan menjadikan momen tersebut untuk peningkatan takwa dan aktifitas muhasabah.
Oleh karena itu, wajar jika Nabi Muhammad saw memberikan tiga runtutan motivasi masa hidup: lebih buruk, sama saja, atau lebih baik. Kita berharap, sebagai Muslim, mampu mengumpulkan histori masa lalu sebagai upaya perubahan masa depan yang lebih baik. Inilah sisi lain dari Muslim yang berkemajuan. Tidak terkungkung masa lalu atau hanya fokus pada masa depan. Akan tetapi, menyatukan dua siklus ini menjadi bagian dari esensi hidup. Beruntung dunia dan akhirat. (Fauzan Muhammadi)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2017