Oleh : Baharuddin Rohim
Tajdid menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti pembaruan; modernisasi; restorasi, Kata “Tajdid” diambil dari bahasa Arab yang berkata dasar “Jaddada-Yujaddidu-Tajdiidan” yang artinya memperbarui. Sebuah kata yang telah familiar pada mayoritas kalangan Muslim khususnya di Indonesia terlebih Muhammadiyah menjadikan kata Tajdid sebagai spirit perjuangan persyarikatan sesuai Identitasnya “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”. (Anggaran Dasar, pasal 4/1) selain itu, tajdid adalah instrument “untuk mencapai maksud tujuan, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha disegala bidang kehidupan.” (Anggaran Dasar, pasal 7/1).
Secara umum, tajdid di dalam Muhammadiyah memiliki tiga aspek: pemikiran, praksis gerakan dan etos. Aspek pemikiran meliputi metode atau pendekatan dan hasil-hasilnya. Aspek praksis gerakan terkait dengan tata kelola organisasi dan inovasi teknologi. Aspek etos berhubungan dengan world-view (pandangan dunia), value (nilai-nilai) dan etik. (Abdul Mu’ti, Suara Muhammadiyah 2014). Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta (3-8 Juli 2010) atau yang sering dikenal Muktamar Satu Abad Muhammadiyah adapun didalamnya menegaskan kembali priotitas pengembangan program (2010-2015), khususnya pada poin ke tiga: “peningkatan dan pengembangan kualitas sumberdaya anggota dan kader sebagai pelaku gerakan yang mampu memperluas peran Muhammadiyah dalam dinamika kehidupan umat, bangsa, dan percaturan global.” (Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-46, 2010; 97).
Maka dalam usia Muhammadiyah Abad kedua ini sangat beralasan bila perkaderan Muhammadiyah dan hal-hal terkaitnya menjadi bagian dari anasir ciri pengembangan Program Muhammadiyah (2010-2015), antara lain pada: Pertama. Sistem Jaringan (menguatnya pemahaman ideologi dan visi gerakan Muhammadiyah). Kedua. Jaringan (menguatnya peran dan jaringan keummatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal; menguat dan meluasnya jaringan amal usaha, kegiatan, dan perangkat persyarikatan). Ketiga, Sumberdaya (Terlaksananya system kaderisasi dan regenerasi dalam Muhammadiyah secara konsisten dan berkelanjutan). (Sistem Perkaderan Muhammadiyah, hal 3-4). Sehingga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang termasuk bagian dari organisasi otonom Muhammadiyah harus mampu mengkontekstualisasikan terhadap realitas sosial sehingga keberpihakan IMM tepat sasaran sesuai dengan semangat Tajdid.
Keilmuan dan Sistem Jaringan
Ruang lingkup keilmuan selalu tidak ada pembatas sehingga ilmu akan selalu bias dan liar ketika tidak mempunyai landasan mendasar (teologi), didalam Tri kompetensi dasar di sebutkan Relegiusitas, Intelektualitas, dan humanitas sebagai standart minimum setiap kader IMM maka dalam konteks keilmuan relegiusitas para kader IMM harus kuat dan mengakar seperti halnya memahami bagaimana Islam tidak hanya sebatas ritual formalitas tanpa arti namun para kader IMM jauh lebih memahami substansi peribadatan sebagai konsekuensi logis setiap ummat muslim dengan demikian upaya IMM sebagai gerakan Tajdid akan terpenuhi, senada dengan konsep “Wahyu-Akal” yang digaungkan oleh kutowijoyo bagaimana kader IMM harus mampu menjadikan Relegiusitas sebagai sumber wahyu-teologi yang diorientasikan dan ditransformasikan kepada akal-rasio secara intetelektualitas dengan dibuktikan secara data dan fakta.
Penggunaan nalar secara mendasar menjadi permasalahan yang krusial dan mendesak dengan keseimbangan “Nalar Naqliyah” dan “Nalar Aqliyah” manusia akan mampu memenuhi tugas sebagai khalifah fil ardh. (Noeng Muhadjir, Filsafat Epistemologi) dikontekstualisasikan dengan ragam daya intelektualitas kader IMM maka sudah sepatutnya para kader IMM mampu memahami genealogi pemikiran sehingga memahami ilmu tidak hanya sebatas nafsu pembenaran atas egosentris ilmu. Salah satu upaya keilmuan untuk membuka paradigma berfikir yang terkonstruksi kokoh adalah dengan keseimbangan pola nalar naqliyah-nalar aqliyah bagaimana dikeduanya terdapat sudut berlainan namun saling berkaitan, maka relegiusitas (Naqliyah) dan intelektualitas (aqliyah) menjadi penentu gerakan tajdid IMM.
Praksis Gerakan dan Jaringan
Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: “BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR” (Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo, MKCH no 5) secara tekstual tertulis demikian, namun kontekstual praksis gerakan Muhammadiyah harus mampu menguatkan peran dan jaringan keummatan, kebangsaan, dan kemanusiaan dengan upaya keberpihakan yang dibentuk secara berkelanjutan (sustainable) dan sistemik. Keberadaan IMM dalam arah gerak kemasyarakatan harus mampu mengambil peran bagaimana IMM hadir terhadap permasalahan masyarakat melalui upaya jihad keberdayaan.
Mengacu pada pendekatan ekologi perkembangan manusia (ecology of human development) dan lingkungannya yang menyatakan bahwa intervensi sosial harus dapat menyentuh seluruh level relasi antar individu dan lingkungannya. Pertama. Level Makro meliputi struktur sosial system politik, Ideologi, Kebijakan Pemerintah, Lingkungan global melaui pendekatan system yang akomodatif dan responsive terhadap kebutuhan publik; full-participation of community. Kedua. Level Meso meliputi lingkungan dan komunitas; norma sosial, nilai, kultur melalui pendekatan membantu lingkungan agar dapat mengakomodasi kebutuhan individu; social networking. Ketiga. Level Mikro meliputi Individual; sitem nilai, sikap, kepribadian, pengetahuan dan keterampilan melalui pendekatan self-awareness; memfasilitasi adaptasi diri terhadap lingkungan. Ruang lingkup dan pendekatan diatas akan sangat membantu upaya praksis gerakan IMM dengan catatan praksis gerakan bersifat berkelanjutan (sustainable system), singkatnya IMM mampu menjejaring mitra kerja dalam rangka ikut andil dalam mengisi kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang adil makmur da diridhoi Allah SWT.
Amal Usaha Ikatan dan Sumberdaya
Amal usaha ikatan dengan sumberdaya merupakan satuan system kaderisasi dan regenerasi dalam Muhammadiyah secara konsisten dan berkelanjutan terlebih oganisasi otonom Muhammadiyah mempunyai keleluasaan dalam bergerak sehingga kemandirian disetiap ortom bukanhanya sebuah khayalan belaka. Kemandirian (self-reliance) adalah kemampuan untuk mengelola semua yang dimilikinya sendiri yaitu mengetahui bagaimana mengelola waktu, berjalan dan berfikir secara mandiri, disertai dengan kemampuan dalam mengambil resiko dan memecahkan masalah.
Dengan kemandirian tidak ada kebutuhan untuk mendapat persetujuan orang lain ketika hendak melangkah menentukan sesuatu yang baru. Individu yang mandiri tidak dibutuhkan yang detail dan terus menerus tentang bagaimana mencapai produk akhir, ia bisa berstandar pada diri sendiri. Kemandirian berkenaan dengan pribadi yang mandiri, kreatif dan mampu berdiri sendiri yaitu memiliki kepercayaan diri yang bisa membuat seseorang mampu sebagai individu untuk beradaptasi dan mengurus segala hal dengan dirinya sendiri (Parker, 2006) maka dalam konteks amal usaha ikatan merupakan wujud kongkret ikhtiar IMM mampu bertindak mandiri dan tidak bergantung atas orang lain.
Akhirnya, IMM sebagai gerakan tajdid mampu dicapai ketika integrasi interkoneksi antara Relegiusitas-Keagamaan, Intelektualitas-Kemahasiswaan, Humanitas-Kemasyarakatan sehingga memunculkan paradigma konstruktif serta adil seadil-adilnya sejak dalam pemikiran.
Baharuddin Rohim, Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bantul