Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr wb
Mohon penjelelasan dan hukumnya jamaah shalat Jum‘at membaca doa pada saat khatib duduk setelah khutbah pertama sebelum khutbah kedua (doa di antara dua khutbah Jum‘at oleh makmum/jamaah). Demikian, terima kasih atas pencerahannya.
Wassalamu ‘alaikum wr wb
Jumadi, S.Sos., Karanganyar – Surakarta
(disidangkan pada Jum‘at, 3 Jumadilawal 1437 H / 12 Februari 2016 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr wb
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Sehubungan dengan ibadah, khususnya ibadah shalat, ada sebuah hadits Rasulullah saw:
Dari Malik ibn Al-Huwairits AlLaitsi ra (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat [HR Al-Bukhari no. 628].
Hadits ini mengandung pelajaran bahwa ibadah shalat harus dilakukan sesuai tuntunan agar tidak terjadi penyimpangan di dalamnya. Adapun mengenai tata cara shalat secara lengkap telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits-haditsnya.
Sesuai dengan pertanyaan saudara yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan shalat Jum‘at telah dijelaskan dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) dalam bab Shalat Jum‘at. Dalam HPT dijelaskan bahwa pelaksanaan shalat Jum‘at diawali dengan dua khutbah sebagaimana hadits Nabi saw:
Dari Abdullah ibn Umar ra (diriwayatkan) ia berkata: Adalah Nabi saw dahulu berkhutbah dua kali dan duduk antara keduanya [HR Al-Bukhari no. 928].
Pada hadits tersebut dijelaskan bahwa Nabi saw berkhutbah dua kali pada shalat Jum‘at dan memisahkan kedua khutbahnya dengan cara duduk singkat di antara keduanya. Berkaitan dengan pertanyaan saudara mengenai hukum doa di antara dua khutbah, kami mengelompokkannya menjadi dua, yaitu pertama doa shalawat yang dibaca secara berjamaah seperti yang sering dijumpai pada masjid-masjid tertentu, kedua doa yang dipanjatkan secara individu kepada Allah.
Mengenai doa shalawat yang dibaca secara berjamaah pada saat khatib duduk di antara dua khutbah seperti yang sering dijumpai pada masjid-masjid tertentu telah dibahas dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 4 hlm. 118, bahwa belum ditemukan dalil baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang memerintahkan agar pada saat khatib duduk antara dua khutbah para jamaah membaca shalawat, atau bacaan tersebut dipimpin oleh satu orang (yang biasanya disebut bilal) untuk kemudian diikuti oleh jamaah yang lain.
Beberapa hadits yang ada mengenai dua khutbah Jum‘at di dalamnya tidak diterangkan mengenai perintah untuk membaca shalawat dan doa-doa khusus lainnya. Hadits-hadits tersebut antara lain,
Dari Jabir ibn Samurah (diriwayatkan) ia berkata: Adalah Rasulullah saw. berkhutbah sambil berdiri dan duduk di antara dua khutbah dan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan memberi peringatan kepada orang banyak [HR Ahmad no. 20813].
Dari Ibn Umar (diriwayatkan), ia berkata: Adalah Nabi saw berkhutbah pada hari Jum‘at sambil berdiri lalu duduk dan kemudian berdiri lagi, sebagaimana dilakukan oleh orangorang sekarang [HR Muslim no. 33].
Kedua hadits di atas menegaskan tentang adanya duduk di antara dua khutbah Jum‘at, tapi tidak sama sekali menyebutkan adanya keharusan membaca shalawat bagi jamaah pada saat khatib sedang duduk di antara dua khutbah itu. Hadits tersebut hanya menyebutkan tentang sikap khatib yang hendaknya duduk di antara dua khutbah, sementara sikap makmum pada saat itu tidak dijelaskan. Dikarenakan tidak ada dalil yang menjelaskan mengenai membaca shalawat pada saat khatib sedang duduk di antara dua khutbah, maka hendaknya perkara tersebut ditinggalkan, berdasarkan hadits,
Dari ‘Aisyah ra (diriwayatkan) ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami ini yang bukan dari kami maka dia tertolak [HR. AlBukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718].
Sejalan dengan hadits di atas, dalam kaidah fiqhiyah disebutkan,
Hukum asal dalam ibadah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.
Sedangkan mengenai doa secara individu pada saat khatib duduk di antara dua khutbah, telah dibahas pada Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 21/2003 dengan judul syarat doa makbul, bahwa Hari Jum‘at termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi saw:
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) bahwasanya Rasulullah saw menyebut tentang hari Jum‘at. Beliau bersabda: Di dalamnya terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba Muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta [HR AlBukhari no. 935 dan Muslim no. 852].
Dalam hadits Muslim berikut dijelaskan bahwa batas waktu pada hari Jum‘at yang dimaksud mustajab adalah waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum‘at,
Dari Abi Burdah ibn Abi Musa Al-Asy’ari (diriwayatkan) ia berkata: Abdullah ibn Umar berkata kepadaku: Apakah engkau pernah mendengar bapakmu mengatakan sesuatu dari Rasulullah saw tentang waktu mustajab pada hari Jum‘at? Aku menjawab: Pernah, aku pernah mendengar beliau mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Waktu mustajab itu adalah antara imam duduk (selesai khutbah pertama) sampai selesai shalat Jum’at.” [HR Muslim no. 853].
Berdasarkan hadits tersebut, waktu antara dua khutbah pada hari Jum‘at adalah termasuk waktu mustajab untuk berdoa. Di samping itu perlu diketahui juga bahwa pelaksanaan khutbah Jum‘at tersebut berada pada waktu antara adzan dan iqamah yang juga merupakan waktu mustajab untuk berdoa, berdasarkan hadits,
Dari Anas ibn Malik (diriwayatkan), ia berkata: Rasululah saw bersabda: Tidak ditolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamat [HR. Abu Dawud no. 521].
Dengan demikian, berdoa sendiri atau secara individu pada waktu khatib duduk di antara dua khutbah adalah masyru‘ (disyariatkan). Lebih lengkap tentang bagaimana tata cara pelaksanaan berdoa dapat dilihat dalam buku Tuntunan Dzikir dan Doa Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
—
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 tahun 2018