Haedar Nashir Membuat Saya Malu

Haedar Nashir Membuat Saya Malu

Haedar Nashir menulis di saat boarding dalam perjalanan menuju Kairo

Oleh: Dani Fadillah

Hari dimana saya membuat tulisan ini, 18 Oktober 2019, sebagai kader Muhammadiyah sekaligus seseorang yang berprofesi sebagai dosen di Perguruan Tinggi Muhammadiyah saya benar-benar merasa malu. Rasa malu ini bukan rasa malu biasa, karena rasa malu ini disebabkan oleh seorang Haedar Nashir. Hari ini saya membaca sebuah pesan di grup WhatsApp yang menyebutkan bahwa Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah hasil Muktamar Muhammadiyah tahun 2015 di Makassar kini telah resmi menjadi Professor dalam bidang sosiologi dengan angka kredit 894,50.

Sungguh seorang Haedar Nashir membuat saya malu. Beliau menahkodai persyarikatan sebesar Muhammadiyah dari Sabang hingga Marauke, dalam keseharian sibuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta melakukan pencerahan pada umat dalam kendaraan besar Muhammadiyah. Akan tetapi beliau tidak lalai dalam menyiapkan berbagai persyaratan hingga melakukan pemberkasan yang menunjang kenaikan jabatan fungsional akademik hingga akhirnya secara resmi beliau menjadi Professor sebagaimana yang ter-SK-kan dalam Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 35528/M/KP/2019 tentang Kenaikan Jabatan Akademik Dosen. Sedangkan saya, yang dalam keseharian sejak menjadi dosen hanya berkutat pada masalah yang sepele nan remeh, tidak sesibuk sebagaimana seorang Haedar Nashir, jabatan fungsional akademiknya masih begini-begini saja.

Sungguh seorang Haedar Nashir membuat saya malu. Saya jadi membayangkan bagaimana beliau bisa melakukan publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi di tengah kesibukan beliau yang sedemikian padatnya, tentu tidak mudah melakukan publikasi di jurnal internasional bereputasi karena pastinya setiap naskah harus melewati proses review yang sangat ketat. Serta tidak cukup hanya melakukan satu kali publikasi, harus beberapa buah naskah agar mencapai poin yang diharuskan. Sedangkan saya yang sehari-hari memiliki banyak waktu luang, terkadang masih ada perasaan malas saat ada balasan dari reviewer jurnal yang menyatakan bahwa naskah saya masih harus ada beberapa perbaikan lagi sebelum dipublikasikan, padahal waktu luang saya lebih banyak dari pada seorang Haedar Nashir.

Haedar Nashir menulis di sela-sela menunggu tamu di ruang Redaksi Suara Muhammadiyah

Sungguh seorang Haedar Nashir membuat saya malu. Beliau yang sudah go international masih berkenan untuk mengajar di dalam ruang-ruang kelas bersua dengan mahasiswa, tentu beliau melakukan ini, karena salah satu angka kredit wajib dalam kenaikan jabatan fungsional akademik dosen adalah poin tentang pelaksanaan pendidikan. Bahkan untuk memenuhi poin dalam angka kredit ini tidak cukup hanya dengan mengajar akan tetapi juga dengan membimbing dan menguji tugas akhir mahasiswa. Sedangkan saya terkadang masih ada perasaan mengeluh saat mendapat jatah mengajar yang lebih dari 12 SKS, padahal saya tidak sesibuk seorang Haedar Nashir.

Sungguh seorang Haedar Nashir membuat saya malu. Saya berusaha membayangkan bagaimana di tengah-tengah agenda kebangsaan Muhammadiyah beliau masih menyempatkan diri untuk melakukan pengabdian masyarakat guna menyempurnakan tri Dharma Perguruan Tinggi, sekaligus salah satu poin dalam angka kredit kenaikan jabatan fungsional akademik dosen. Sedangkan saya, yang sekali lagi tidak sesibuk seorang Haedar Nashir masih memilih-memilih ketika hendak melakukan pengabdian masyarakat, apakah ada dana operasionalnya atau tidak. Padahal seharusnya, dengan mau pun tanpa dana operasional sebagai seorang akademisi saya masih bisa melaksanakan pengabdian masyarakat, karena sekali lagi saya tidak sesibuk seorang Haedar Nashir.

Sungguh seorang Haedar Nashir membuat saya malu. ketika berita bahwa beliau telah resmi menjadi professor menyebar, beberapa rekan di grup WhatsApp malah ada yang lebih meributkan bagaimana beliau bisa melompat dari Jabatan Fungsional Lektor langsung ke Guru Besar tanpa melalui fase Lektor Kepala terlebih dahulu, padahal untuk bisa menjadi Guru Besar cukup sudah selesai menempuh pendidikan strata tiga dan memenuhi angka kredit yang diharuskan, tidak harus “nangkring” terlebih dahulu sebagai Lektor Kepala. Saya benar-benar merasa malu satu grup WhatsApp yang orang-orang yang lebih mencari peluang untuk “nyinyir” dari pada mengambil inspirasi dari seorang Haedar Nashir.

Semoga keseriusan mengejar Jabatan Fungsional akademik menjadi salah satu isu utama yang harus diperhatikan oleh bagi kader-kader Muhammadiyah yang menempuh jalan hidup di dunia akademik. Dalam dunia akademik, Jabatan Fungsional Akademik adalah salah satu persyaratan administrasi mutlak yang harus dimiliki oleh seseorang jika ingin ditempatkan dalam posisi strategis tertentu, tidak sedikit beberapa posisi strategis akhirnya lepas dari genggaman kader persyarikatan karena tidak ada kader yang memenuhi syarat Jabatan Fungsional Akademik yang diharuskan.

Wajib bagi seorang kader Muhammadiyah untuk aktif dalam berbagai kegiatan, namun kita tentu menyayangkan jika sampai menemui kader Muda persyarikatan yang menjadikan kesibukannya sebagai alasan kenapa jabatan fungsionalnya tidak mengalami peningkatan. Kini kita bisa berkata pada mereka “Bung, anda tidak sesibuk Haedar Nashir”.

Selamat atas raihan Guru Besar yang berhasil diperoleh oleh pak Haedar Nashir, semoga capaian yang beliau dapatkan bisa menginspirasi para kader Muhammadiyah lainnya, baik yang berada di PTM mau pun non-PTM agar bersemangat mengejar jabatan fungsional akademiknya demi kemajuan pribadi, bangsa, dan persyarikatan Muhammadiyah secara umum.

Dani Fadillah, Dosen Universitas Ahmad Dahlan, Sedang Kuliah S3 di Nanjing Shifan Daxue, Republik Rakyat China, Ketua PCIM Tiongkok Regional Nanjing

Exit mobile version