Assalamu’alaikum wr wb.
Ibu Emmy yth, saya ayah (29 tahun) dari seorang anak (4 tahun). Saya seorang guru olah raga di sekolah swasta, mengajar 3 kali seminggu, sehingga waktu saya banyak untuk menjaga toko dan menjaga anak di rumah.
Ayah saya juga guru SD dan saya termasuk muridnya. Ia sangat galak dan sering memukul saya. Mungkin ayah saya berpikir murid lain jangan coba-coba nakal, wong anaknya saja dihajar juga. Selama 6 tahun saya tersiksa. Gaya ayah saya mendidik ditiru guru lain, T. Pernah kepala saya dibenturkan ke papan tulis. Saya jadi minder, pendiam dan pemurung, asyik dengan diri sendiri. Untung, saat SMA, saya bisa membaur dan mencari kesibukan agar bisa bersosialisasi. Alhamdulillah saya jadi PD dan aktif dalam komunitas olah raga volley dan pecinta ikan.
Masalah muncul setelah saya menikah dan punya anak. Saya kok seperti ayah saya yang mudah marah. Tanpa sadar saya sering menjewer dan mencubit ketika saya jengkel dengan kelakuannya. Misal, ia menumpahkan susu di kasur atau main pasir setelah mandi.
Saya sudah membaca buku dan sharing dengan teman tentang bagaimana menangani anak, saya juga berdoa setelah shalat tahajud agar anak ini menjadi shalih. Saya suka menyesal dan menangis bila ingat perlakuan saya pada anak saya. Bagaimana agar saya berubah dan tidak main tangan lagi? Sementara anak semakin kreatif dalam memancing kemarahan. Atas jawabannya jazakumullah.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Bapak Ran, di B.
—
Wa’alaikumsalam wr wb
Pak Ran yang baik, saya senang mendapat surat dari seorang ayah. Ini bukti bahwa Anda peduli terhadap perkembangan jiwa anak. Anda benar bahwa acuan ayah dan ibu dalam mendidik anak ya, diri sendiri. Bagaimana ia dibesarkan sejak kecil akan menjadi gambaran bagaimana ia akan memperlakukan anak-anaknya. Padahal, seperti Anda sudah merasakan betapa tidak enaknya dipukuli dan dipermalukan di depan teman-temannya. Ketika dewasa, alihalih bertekad tidak akan mengulangi kelakuan orang tua, kita malah berpikir.”Kalau tidak dikerasi oleh ayah, mungkin saya tidak jadi orang seperti sekarang.” Maka disadari atau tidak, kita menjadi fotokopi orang tua. Padahal seharusnya kita ingat, kepribadian anak kita tidak sama dengan kita.
Anda bilang, mulai pede dan berani gaul setelah bergabung dengan berbagai komunitas. Bagaimana kalau anak Anda ternyata sensitive? Bagaimana bila ia tidak seberuntung ayahnya yang bisa menemukan lingkup pergaulan positif?
Dalam alam pikiran kanak-kanaknya, anak Anda berpikir bahwa ayah akan memperhatikan kalau ia membuat ulah. Anda pun menyesal dan menangis setelah reda kemarahannya. Di sini, anak Anda berpikir bahwa ayahnya tidak konsisten. Tadi marah lalu bilang sayang dan memeluk lalu marah lagi. Ketahuilah, musuh utama perkembangan jiwa yang positif adalah sikap orangtua yang tidak konsisten. Di usianya, anak Anda lebih memakai perasaannya dalam mencerna dan memahami apa yang terjadi pada dirinya dan lingkungan. Penalarannya belum berkembang cukup kuat untuk menumbuhkan kemampuan menganalisis secara objektif.
Oleh karena itu, masa emas ini harus dipakai orangtua untuk merangsang rasa ingin tahu anak. Agar wawasannya berkembang dan IQnya berkembang optimal. Anak juga mulai diajak memperoleh pengalaman emosional yang kelak membuat ia percaya bahwa ia disayang orangtuanya. Ciptakan gaya komunikasi dan perilaku positif pada anak. Agar rambu-rambu perilaku, mana yang boleh dan tidak boleh, bisa diterima anak, misal dengan cara mengobrol enak dan santai dengan anak.
Selanjutnya, pahami psikologi perkembangan anak supaya harapan-harapan kepada anak disesuaikan dengan tahapan perkembangan psikologisnya. Konsentrasi anak 4 tahun tidak mungkin fokus selama 15 menit, maka tidak mungkin ia akan ingat selamanya bila hanya diberitahu sekali. Di sinilah pentingnya keteladanan, cara orangtua bersikap, berperilaku akan dijadikan model/acuan oleh anak dalam pembentukan kepribadiannya. Bila Anda memahami psikologi perkembangan anak akan membuat anda sadar bahwa anak adalah sosok unik. Memahami cara efektif dalam mengasuh anak akan membuat anda makin menikmati interaksi dengan anak. Jangan lupa untuk selalu sabar supaya tidak mudah terpancing emosi melihat ulah anak.
Semoga Anda dan istri diberi kesabaran dalam menemani anak-anak tercinta. Amiin.
—
Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, SPsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2017