Ketika seorang pejabat publik mengatakan bahwa memilih berdasar agama tidak konstitusional, sesungguhnya yang bersangkutan tidak paham tentang agama dan konstitusi. Boleh jadi, orang tersebut tidak paham sejarah bangsanya sendiri. Lebih jauh lagi, dia atau siapapun yang berpandangan demikian berpikiran sekuler, yang memisahkan agama dari urusan negara dan publik.
Bagaimana mungkin dalam suatu negara yang penduduknya beragama dan dikenal relijius justru agama dianggap sesuatu yang asing. Bangsa Indonesia sejak dulu mayoritas beragama Hindu, selain Budha dan juga kepercayaan-kepercayaan lokal. Kemudian datang Islam yang diterima secara damai dan menjadi agama terbesar penduduk Nusantara hingga saat ini. Terdapat pula Kristen-Katholik, yang datang bersamaan dengan masuknya kolonial di negeri ini. Juga penganut Konghuchu pada etnik Tionghoa.
Dengan demikian, agama merupakan ajaran yang mendarah-daging dalam kehidupan bangsa Indonesia. Agama bahkan melembaga menjadi kebudayaan masyarakat Indonesia dalam wujud tradisi, pola laku, dan orientasi tindakan di setiap lingkungan sosial masyarakat. Kalau di antara umat beragama itu masih belum sepenuhnya menjalankan agama, hal itu bukan berarti tidak pentingnya agama, tetapi lebih pada ketaatan dan perilaku pemeluknya.
Dengan pengalaman sejarah kerajaan-kerajaan Islam maupun Hindu atau lainnya, agama juga melembaga dalam kehidupan bernegara atau pemerintahan. Pemerintah kolonial Belanda dengan advis Snouck Hougronje sempat berusaha menempatkan fungsi agama Islam hanya sebatas urusan ibadah, serta menjauhkannya dari urusan muamalah dan lebih-lebih politik. Tetapi usaha itu tidak berhasil, karena kenyataannya agama tetap hidup dalam masyarakat Indonesia, tidak kecuali dalam politik.
Dalam perjuangan kemerdekaan hingga saat ini peran umat beragama dan organisasi atau kelompok-kelompok agama, lebih-lebih umat Islam, sungguh besar. Di lingkungan umat Islam sebagai mayoritas bahkan lahir para mujahid yang meninggal sebagai syuhada karena membela tanah air dari penjajahan. Slogan hubbul wathan min al-iman, menyatu dalam kehidupan umat Islam. Sehingga lahir pandangan antara keislaman dan keindonesiaan terjadi persenyawaan dalam kehidupan kebangsaan.
Ketika para pendiri bangsa melahirkan Pancasila sebagai dasar negara dan merumuskan UUD 1945 pasal 29, sangatlah jelas posisi Ketuhanan Yang Maha Esa dan keberadaan agama dalam fondasi konstitusi dasar Indonesia. Pancasila dengan lima esensi silanya juga senapas dengan ajaran agama. Dalam pembukaan UUD 1945 bahkan terdapat anak kalimat “Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, sebagai jiwa dari kelahiran dan keberadaan Negara Republik Indonesia serta denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia.
Karena itu, sungguh ahistoris sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai dasar, sejarah, dan keberadaan bangsa dan negara Indonesia manakala ada orang atau pandangan yang menyatakan bahwa tidaklah konstitusional jika memilih atau lebih luas lagi berdemokrasi dan berperikehidupan kebangsaan Indonesia didasarkan pada pertimbangan agama. Pandangan tersebut sekaligus menggambarkan sikap dan pikiran sekuler, yang tidak sejalan dengan Pancasila dan jiwa bangsa Indonesia.
Jadi, siapapun di Republik ini harus menghormati agama dan umat beragama. Agama bahkan harus menjadi sumber nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, selain dalam kehidupan sehari-hari sebagai satu kesatuan yang saling komplementer dengan Pancasila yang menjadi dasar negara. Bagi umat beragama bahkan merupakan suatu kewajiban imani secara individu dan kolektif untuk menjadikan agama sebagai pedoman hidup yang utuh dan tercermin dalam praktik sehari-hari.
Tentu tuntutan bagi umat beragama sendiri, ialah bagaimana dengan beragama justru mampu menampilkan hidup yang cerah dan mencerahkan, serta menyebar rahmat bagi semesta alam. Agama harus menjadi nilai aktual yang membentuk perilaku uswah hasanah dalam seluruh aspek kehidupan. Tetapi, sekali lagi, tidak boleh siapapun di Republik ini yang menegasikan apalagi merendahkan keberadaan dan fungsi agama dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam politik bernegara! (hns)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 Tahun 2017