In Memoriam Alm KH Zainal Abidin Siga
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Sebagai upaya untuk meningkatkan rasa percaya diri dan menguatkan semangat demi pencapaian kinerja yang lebih baik, satu penghargaan yang diberikan oleh pihak lain adalah sangat penting. Penghargaan yang diterima oleh seseorang, boleh jadi memiliki potensi sebagai contoh atau teladan bagi anak-anak, keluarga, bawahan, anak didik maupun masyarakat luas lainnya.
Untuk itulah satu organisasi atau lembaga sering memberikan penghargaan kepada anggotanya yang memiliki keunggulan atau prestasi tertentu. Prestasi bisa dalam bentuk memenangkan satu pertandingan, mengikuti seminar atau konferensi maupun menghasilkan satu karya yang penting bagi kehidupan masyarakat.
Penghargaan pun biasa diberikan atas pengabdian seseorang pada satu organisasi. Misalnya, seorang aparat negara yang telah mengabdi selama 10, 20, 30 tahun, jika persyaratan administrasinya diurus dengan baik, maka akan mendapat penghargaan dari Presiden RI. Biasanya diberikan pada saat perayaan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus setiap tahun.
Bagaimana dengan Persyarikatan Muhammadiyah? Dalam Muhammadiyah pun ada penghargaan. Ini mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Penghargaan diberikan atas prestasi yang ditorehkan oleh anggota, kader, siswa, santri, mahasiswa maupun pengurus amal usahanya. Sedangkan kepada pengurus Muhammadiyah itu sendiri, pemberian penghargaan itu amat langka. Apalagi pada saat dia masih menjabat. Kita belum pernah mendengar ada penghargaan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk Prof. Din Syamsuddin atau Prof. Asmuni Abdurrahman. Dalam pengamatan saya, belum pernah. Wallahu’alam.
Mengapa? Karena memang bagi pimpinan Muhammadiyah itu, tidak perlu. Tidak lazim. Bahkan terkesan berlebihan. Sebagai pengurus Muhammadiyah pun, sama sekali tidak pernah ada dalam benak kita akan mendapat penghargaan. Sama sekali tidak. Dalam pikiran para pimpinan Muhammadiyah, yang ada adalah bagaimana mendakwahkan Islam bagi umat manusia melalui berbagai program dan amal usaha yang didirikan. Dengan dua usaha, bila telah berhasil memberi arti demi masyarakat, bagi pimpinan Muhammadiyah, sudah jauh lebih penting daripada selembar surat penghargaan.
Walaupun sudah hampir tiga puluh tahun bersama ikut mengurus Persyarikatan Muhammadiyah khususnya di Sulawesi Selatan, tidak ada kita dengar ada program memberi penghargaan kepada pengurus Muhammadiyah. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan berbagai argumentasi yang rasional juga memiliki dalil yang kuat, maka beberapa Cabang atau Daerah Muhammadiyah, dalam setiap peringatan Milad Muhammadiyah, memberikan penghargaan kepada mantan pengurus Muhammadiyah. Mohon dicatat. Kepada mantan pengurus, bukan kepada pengurus.
Tiga tahun lalu, saya berkunjung ke rumah Wak Musonip Siagian (abang kandung ayah saya) di Lingkungan Kayu Ombun, Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Saat itu beliau sedang sakit, usianya hampir delapan puluh lima tahun. Saya mendapati sebuah piagam terpampang di meja ruang tamu. Piagam penghargaan kepada Musonnip Siagian atas jasa dan pengabdian selaku pengurus Muhammadiyah di Kayu Ombun, Padang Sidempuan. Piagam ini diberikan dan ditandatangani oleh pengurus cabang setempat. Saya sempat terperangah. Saya baru sadar bahwa Wak saya ini pun adalah pernah jadi pengurus Muhammadiyah selama puluhan tahun di lingkungan tersebut. Tak lama setelah itu, beliau pun mendapat panggilan dari Sang Khalik, menuju hari akhirat. Insya Allah husnul khatimah.
Pemimpin Fenomenal
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Ahad, 10 November 2019, Muhammadiyah Sulawesi Selatan telah kehilangan sosok pemimpin yang fenomenal. K.H. Zainal Abidin Siga dalam usia 82 tahun di Limbung Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa.
Saya sebut pemimpin yang fenomenal karena dalam usia senja, masih semangat mengurus Muhammadiyah. Bahkan masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Gowa yang memasuki periode keempat. Beliau tidak hanya duduk manis dan memampangkan namanya dalam SK pengurus. Beliau aktif dan boleh jadi lebih aktif dari pengurus lainnya yang usianya lebih muda.
Perkenalan saya dengan Kiyai Siga, demikian bisa kami sapa, sudah mulai sejak awal tahun 2000an. Ketika itu, dalam Musyawarah Daerah Muhammadiyah Gowa di Sungguminasa. Saya hadir mendampingi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan KH. Nasruddin Razak, yang membawakan sambutan dan mendampingi jalannya musyawarah. Bersama 12 orang lainnya, Kiyai Siga masuk sebagai anggota formatur. Dan terpilih sebagai wakil ketua PDM Gowa mendampingi ustadz Abdullah Renre.
Dalam kapasitas sebagai staf kantor PWM Sulsel, sejak saat itu saya sering berkomunikasi dengan Kiyai Siga untuk urusan organisasi. Selama sepuluh tahun, saya perhatikan beliau selalu menghadiri acara-acara yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Beliau juga dikenal sebagai pemimpin tangguh menjalankan dakwah, bahkan berjalan kaki ke pedalaman Kabupaten Gowa. Beliau juga tercatat sebagai imam tetap Masjid Raya Limbung, Gowa.
Setiap bulan Ramadan, di Yogyakarta atau Jakarta, selalu diadakan pengajian Ramadan. Sebenarnya pesertanya adalah terbatas, Kiyai Siga tak masuk dalam kategori peserta. Tetapi beliau selalu mau ikut pengajian tersebut selama bertahun-tahun. Dia meminta kepada panitia pelaksana agar membolehkannya sebagai peserta. Dengan biaya sendiri. Naik pesawat ke Yogyakarta atau Jakarta. Dia merasa nikmat menjadi peserta pengajian Ramadan. Setelah selesai pengajian, kembali ke Gowa, berdakwah dengan bekal ilmu yang diperoleh dari pengajian dimaksud.
Tidak hanya itu, beliau juga jadi peserta pengajian Ramadan tingkat Sulawesi Selatan di Sinjai tahun 2016 lalu. Pulang dari Sinjai, kami dalam satu boleh dengan Ustadz Mawardi Pewangi. Beliau masih segar dan aktif. Itulah pertemuan terakhir saya dengan almarhum.
Beberapa waktu sebelum meninggal dunia, sebenarnya almarhum Kiyai Siga, sudah dinominasikan akan mendapat penghargaan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Rencananya akan diserahkan dalam Milad Muhammadiyah di Yogyakarta pada bulan Nopember ini. Tim dari pusat sudah mengunjungi dan mewawancarai beliau.
Tetapi Allah Swt, berkehendak lain. Kiyai Siga, tidak perlu mendapat surat penghargaan. Dedikasi dan loyalitasnya dalam mengurus umat melalui Persyarikatan Muhammadiyah, sebenarnya sudah melebihi daripada secarik surat keputusan. Kader-kader Muhammadiyah akan tetap mengenang jasa dan pengabdian almarhum. Menjadikannya sebagai motivasi dan teladan untuk mengabdi, demi umat, bangsa dan negara. Wassalam
Haidir Fitra Siagian, PhD, Dosen UIN Alauddin Makassar, tinggal di Gwynneville, Wollongong, New South Wales, Australia