Oleh: Mohd Rashidi
Muhammadiyah mungkin agak asing bagi rakyat Malaysia. Paling kurang agak dikenali di Pulau Pinang, di mana penggeraknya adalah Ust Zainal Abidin Zam-Zam. Tetapi nama Buya Hamka begitu besar di Malaysia, beliau berdiri dengan kakinya sendiri sehingga orang lupa beliau adalah warga Muhammadiyah. Muhammadiyah bukan hanya tokoh besar seperti Hamka saja tetapi ada juga Ir Soekarno, Ir Djuanda, Jendral Sudirman, Kahar Muzakir dan lainnya.
Salah satu keunikan yang ada pada Muhammadiyah adalah kemampuan pemikir dan tokohnya untuk mengupas persoalan pemikiran modern dan ekonomi semasa yang menghimpit kehidupan rakyat bawah. Dr Dawam Rahardjo, Dr Moeslim Abdurrahman dan Dr Zakiyuddin Baidhawi antara tokoh Muhammadiyah yang aktif menulis perihal neoliberalisme, hegemoni kapitalisme dan globalisasi.
Ahmad Fuad Fanani menyebutkan di dalam “Menyongsong Muhammadiyah Jilid Ketiga” bahwa “Konsep dan praktik pembelaan Muhammadiyah terhadap the new mustadz’afin harus segera dirumuskan.
Para mustadz’afin itu tentunya tidak hanya anak yatim dan orang miskin, tapi seiring proses globalisasi dan hegemoni kapitalisme global ini, tentunya banyak sekali memunculkan kaum tertindas secara sosial, ekonomi, dan politik. Anak jalanan, tenaga kerja wanita, buruh korban PHK, wanita tunasusila, pemulung, korban penggusuran, nelayan dan petani yang tercekik harga jala dan pupuk, adalah mereka-mereka yang tentu butuh uluran tangan kita semua”.
Hegemoni politik maupun ekonomi modern tidak memikirkan masyarakat bawah. Sudah tentu ini adalah kemungkaran sosial yang membawa kefakiran itu kepada kekufuran. Seruan moral economy dan Teologi al-Maun yang banyak disuarakan oleh pemikir Muhammadiyah seharusnya diangkat lebih tinggi lagi.
Gerakan kesadaran dan pencerahan ilmu merupakan dua perkara yang penting tetapi gerakan “mengisi perut yang lapar” lebih-lebih lagi diutamakan. Mengimbau kembali misalnya Arab Spring tercetus bukan karena kebangkitan Islam, tetapi sebaliknya kemiskinan yang menghimpit dan pengangguran yang tinggi.
Gerakan Pencerahan
Muhammadiyah tidak wujud dalam konteks sosial santuni kaum dhu’afa semata-mata, tetapi gerakan pencerahan ilmu juga sebagian dari modus operandi di dalam organisasi. Muhammadiyah sepertinya tidak putus-putus melahirkan pemikir Islam yang kritis dan progresif. Nama seperti Prof Dr Haedar Nasir, Prof Dr Syafii Maarif, Prof Dr Kuntowijoyo, Prof Dr Moeslim Abdurrahman, Prof Dr Dawam Rahardjo, Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr Abdul Munir Mulkhan dan Prof Dr Amien Rais walaupun agak senior tetapi nama mereka masih segar sebagai tokoh dan intelektual yang disegani.
Tidak berhenti disitu saja, tokoh muda yang dikaitkan dengan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah yang dibidani oleh Dr. Moeslim Abdurrahman mulai menunjukkan taring dalan arena wacana intelektualisme Indonesia. Maka lahirlah generasi baru pemikir Muhammadiyah seperti Prof Dr Zakiyuddin Baidhawi, Dr Fuad Fanani, Dr Najib Burhani, Dr Pradana Boy, Hasnan Bachtiar, Dr Zuly Qodir maupun Abd Rohim Ghazali.
Lahirnya tema dan teori Islam Yang Memihak, Tauhid Sosial, Teologi al-Maun, Ilmu Sosial Profetik, Islam Berkemajuan, dan Islam Transformatif menjadikan Muhammadiyah terus maju ke hadapan memacu perubahan masyarakat seiring dengan semangat yang dijelmakan oleh almarhum Kiai Ahmad Dahlan.
Memahami secara mendalam gerakan pencerahan ilmu-ilmu keIslaman dan keMuhammadiyahan, Prof M Amin Abdullah menggaris bawahi 4 perkara secara panjang lebar di dalam buku beliau Fresh Ijtihad yaitu, (1) filsafat (al-ru’yah al-falsafiyyah) dan nilai (alqiyam al-asasiyyah), (2) visi peradaban (al-Ru’yah alHadhariyyah), (3) strategi keilmuan (al-Istiratijiyyah alMa’rifiyyah), (4) pembaruan metode dan pendekatan studi (tajdid usul al-fikr al-islamiy).
Kesemuanya ini melengkapi gerakan pencerahan dengan merangkumi pemahaman tauhid dalam bingkai falsafah dan nilai dasarnya, membina peradaban yang dinamik dan progresif, strategi keilmuan yang universal serta keberanian dalam ijtihad yang baru dan menggembleng wawasan gerakan sosial inklusif yang mendukung dialog dan keragaman.
Kesadaran intelektual sudah tentu melahirkan pemikir yang menerangi masyarakat dan memayungi kaum tertindas. Golongan intelektual organik (meminjam bahasa Antonio Gramsci) maupun rausyanfikir (meminjam Bahasa Dr. Ali Shariati) bukanlah sosok yang berpencak silat hebat bunganya dan berwacana melangit ke bumi tetapi sebaliknya inilah sosok yang merasai denyut nadi kesusahan masyarakat bawah dan katalis kepada revolusioner.
Dr Azhar Ibrahim menyebutkan di dalam bukunya Penjahanaman Pemikiran Intelektual, “Salah satu cara untuk membangun budaya kritis yang substantive ialah kemampuan kita untuk memadukan visi universalisme, namun yang tetap membumi kepada kenyataan (realiti) particular yaitu sintesis yang perlu diusahakan. Budaya kritik hanya boleh kukuh dan bermakna kalau kita membicarakan soal kemanusiaan dalam konteks yang konkret (membumi) serta kesanggupan menterjemah kupasan diagnostik itu kepada perancangan jalan keluar menguraikan masalah dan cabaran tersebut. Artinya, keterjalinan antara idea dan amalan”.
Di dalam “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Pembebasan: Mempertegas Pemihakannya Pada Kaum Dhua’afa” Dr Mansour Fakih menambah lagi, “Visi kritis pendidikan terhadap sistem dominan digunakan sebagai bagian pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas. Metode ini digunakan bagi munculnya sistem sosial baru yang lebih adil dan yang selama ini menjadi cita-cita pendidikan Freirean. Dalam perspektif Freirean, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk trasformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama ‘dehumanisasi’ karena sistem dan struktur yang tidak adil”.
Mengkaji Muhammadiyah ini sepertinya tidak akan habis seperti berlayar di lautan yang dalam. Begitu banyak sekali pengkaji luar dan dalam wilayah Nusantara ini yang mengkajinya. Greg Barton dan Martin van Bruinessen antara penulis yang membuat kajian yang menarik apabila membandingkan 2 organisasi raksasa dunia yaitu Muhammadiyah di Indonesia dan Gulen di Turki.
Sudah tentu seabad Muhammadiyah didirikan, dengan pergeseran paradigma yang baru Muhammadiyah mampu melebarkan sayapnya ke peringkat antarabangsa. Cita-cita ini boleh tercapai sekiranya pemikiran kritis tokoh Muhammadiyah diekspor ke dunia luar, buku-buku tokohnya diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, khususnya Bahasa Arab dan Inggris serta dialog silang ilmu. Selamat Milad buat Muhammadiyah.
Mohd Rashidi, Pengurus Lestari Hikmah, lembaga pemikiran dan pengkajian Islam. Kini berdomisili di Ipoh, Perak, Malaysia
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 22 Tahun 2019