Pada awal geraknya KH Ahmad Dahlan sering dituduh sebagai seorang kafir, karena gebrakannya yang sering menyerupai gerakan non Islam dan menyelisihi apa yang biasa dilakukan ulama waktu itu. Semisal menentukan arah kiblat dengan ilmu falak yang dikuasainya dan mengajar santrinya dengan model klasikal yang lazim dipakai oleh non Islam pada waktu itu.
Mereka menuduh KH Ahmad Dahlan menggunakan sebuah Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh banyak perawi. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”
Hadits ini memang dinilai shahih dan diriwayatkan melalui banyak jalan antara lain: Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam no. 475 dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, Diriwayatkan oleh Abu Dzawaalah dalam Hadits-nya no. 3 dari Abu Umaamah Al-Baahiliy radliyallaahu ‘anhu. Diriwayatkan oleh AlHarawiy dalam Dzammul-Kalaam no. 474 dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahruz-Zakhaar 7/368 no. 2966 dari Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu. Diriwayatkan oleh Abu Daawud [1] no. 4031 Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Namun apakah tindakan KHA Dahlan yang demikian bisa digolongkan menyerupai golongan non Islam?
Ketika seorang ulama dari Magelang menyatakan hal yang demikian, KH Ahmad Dahlan balik bertanya: sampai di Yogya berkendara apa? Ketika Kiai tersebut menjawab naik kereta api, maka Kiai Dahlan berkata: bukankah kereta api itu juga buatan orang-orang kafir kenapa Kiai menaikinya Mendapat pertanyaan yang demikian Kiai tersebut tak berkutik.
Lalu apakah belajar ilmu dan memakai ilmu orang lain termasuk yang dimaksud Hadits ini, tentu tidak. Di zaman Rasulullah saw ketika masih hidup, Rasulullah juga memanfaatkan tawanan-tawanan non Muslim untuk mengajar menulis kaum Muslimin dan setelah selesai lalu dilepas. Dan karena menggunakan metode yang berbeda ini KHA Dahlan menjadi trend setter (yang diikuti) oleh umat Islam.
Karenanya, penulis cenderung pada maksud kata “menyerupai” ini adalah di dalam bidang akidah. Di dalam bidang ibadah sebagaimana ajakan kaum Kafir Quraisy pada waktu itu untuk beribadah setahun menurut ibadahnya Nabi Muhammad dan setahun kemudian beribadah menurut ibadah kaum Kafir Quraisy. Ajakan ini kemudian melatarbelakangi turunnya surat Al-Kafirun:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
- Katakanlah: “Hai Orang – orang yang Kafir“
- Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. 3. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
- Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang aku sembah.
- Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian (kamu) sembah.
- Untukmu agamamu untukku agamaku.
Sebab turunnya Al-Kafirun menurut Abdurrazaq dari Wahb ia berkata: “Kaum Musyrikin berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Jika kamu tertarik kamu ikuti kami setahun dan kami akan ikut kepada agamamu setahun, maka Allah menurunkan surat Al-Kafirun“. Diriwayatkan pula tentang sebab–sebab lain turunnya surat ini, namun kisahnya sama seperti itu.
Di masa sekarang dan yang akan datang. Ada yang berpendapat bahwa dua kalimat (ayat 4 dan 5) sebagai penegas, namun ada pula yang berpendapat bahwa 2 dan 3 menunjukkan perbedaan sesembahan (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembah Allah Subhanahuwata’ala sedang mereka menyembah berhala). Adapun ayat 4 dan 5 menunjukkan perbedaan dalam ibadah itu sendiri (ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang murni untuk Allah satu–satunya tanpa dicampuri kesyirikan dan kelalaian dari yang disembah sedangkan ibadah mereka semuanya adalah syirik mempersekutukan Allah) maka keduanya tidak akan pernah dapat bertemu.
Faidahnya surat Al Kafirun ini menurut Ar-Razy radhiyallahu ‘anhu:
- Penetapan akidah tentang qadha dan qadar terhadap orang-orang kafir dan Mukmin.
- Perlindungan Allah SwT terhadap Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan terpeliharanya beliau dari menerima usulan kaum musyrikin yang bathil.
- Penetapan kewajiban pemisahan antara orang–orang yang beriman dengan orang–orang kafir dan musyrik. (Lutfi Effendi)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2015





