- Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Mereka juga bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.
- Tentang dunia dan akhirat. Mereka juga bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Jika Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (minuman keras) dan judi, yaitu tentang hukum yang terkait dengan keduanya. Apakah halal atau haram? Yang bertanya ini adalah orang-orang yang beriman, yaitu para sahabat Nabi saw Khamr (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tertulis ‘khamar’), berasal dari kata
yang berarti “menutupi sesuatu”. Ungkapan
(kerudung atau mukenah yang menutupi kepala perempuan) berasal dari kata ini juga. Jadi segala yang menutupi atau menyelimuti sesuatu disebut khamar. Minuman keras dinamakan khamar, karena menutupi dan menyelimuti akal.(Al-Qurthubī, al-Jāmi’ liahkām Al-Qur’ān, (Beirūt: Dār al-Ihyā’ al-Turāts al-‘Arabī, 1416H/1995) jilid III, hlm. 51).
Menurut Abu Hanifah dan ulama Iraq, yang dimaksud dengan khamar adalah minuman yang hanya terbuat dari perasan anggur saja. Sementara itu, minuman yang terbuat dari gandum, biji-bijian dan sebagainya yang juga berpotensi memabukkan tidak dinamakan khamar, tetapi disebut nabīz. Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa minuman yang diharamkan, baik sedikit atau banyak, berdasarkan ayat tentang pengharaman khamar, hanyalah minuman memabukkan yang terbuat dari anggur, sedangkan minuman yang berbahan dasar lain, walaupun berpotensi memabukkan, hanya diharamkan kalau banyak, kalau diminum sedikit halal.
Di antara alasan mereka adalah pengertian bahasa, bahwa yang dikatakan khamr dalam bahasa Arab ialah hasil perasan anggur yang dimasak hingga mendidih lalu disimpan. Selain itu, mereka juga beralasan dengan riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas sebagaimana tercantum dalam kitab Sunan an-Nasa’i dan Sunan Ibn Majah.
Dari Ibn Abbas bahwa dia berkata: “Khamar hakikatnya haram, baik sedikit maupun banyak, demikian pula yang memabukkan dari setiap minuman.”
Mereka juga menambahkan bahwa ‘illat dari pengharaman khamar adalah timbulnya permusuhan dan kebencian, dan ini tidak akan timbul kecuali karena mabuk.
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Qs Al-Maidah [5]: 91).
Karena itu minuman yang berpotensi memabukkan itu tidak diharamkan kecuali kalau memang mengakibatkan mabuk. (Wahbah az-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Munīr, (Damsyiq: Dār al-Fikr, 1432H/2011M), jilid I, hlm. 644- 645).
Sementara itu jumhur ulama, penduduk Hijaz dan para ahli Hadits menegaskan bahwa khamar adalah nama bagi segala sesuatu yang memabukkan, dari bahan apa pun asalnya. Dengan demikian berdasarkan pada ayat yang mengharamkan khamar.
Dengan demikian, setiap minuman yang berpotensi memabukkan maka hukum meminumnya adalah haram, baik diminum banyak ataupun sedikit. Untuk mendukung pendapat ini mereka mengemukakan beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, alasan kebahasaan. Dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan khamar ialah sesuatu yang menutup akal (yang memabukkan) tanpa membedakan bahan asalnya. Para sahabat Rasulullah saw, sebagai orang yang sangat mengerti bahasa Arab dan Al-Qur’an, memahami bahwa pengharaman itu mencakup pada semua yang memabukkan, baik berasal dari anggur, kurma, madu, biji-bijian dan lain-lain. Bersambung
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 12 Tahun 2017