Kedua, pendapat jumhur itu juga didukung oleh Hadits-hadits yang secara pasti mengharamkan setiap yang memabukkan, di antaranya Hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh banyak perawi dari enam belas orang sahabat, seperti Umar, Ibnu Umar dan lainnya, seperti,
“Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan khamar adalah haram” (HR al-Bukhari dan lain-lain)
Dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah saw bersabda; “Apa yang membuat mabuk, baik banyak maupun sedikit maka haram hukumnya” (HR Abu Dawud).
Dari al-Nu’man bin Basyir, dia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamar, dari kurma bisa dibuat khamar, dari madu bisa dibuat khamar, dari gandum bisa dibuat khamar, dan jerawut bisa dibuat khamar” (HR Abu Dawud).(Ibid).
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa nabīz merupakan khamar, karena ia memabukkan, dan hukumnya haram, baik banyak ataupun sedikit. Ketentuan ini diperkuat lagi oleh Hadits riwayat al-Bukhari dari ‘Aisyah ra. Ia berkata, Rasulullah ditanya tentang al-bit’u (nabiz yang terbuat dari madu), sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari,
Dari Aisyah bahwa dia berkata: Rasulullah saw pernah ditanya tentang al-bit’u, beliau kemudian menjawab, “Setiap minuman yang memabukkan haram,” (HR al-Bukhari).
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pendapat yang kedua inilah yang lebih rajih atau lebih kuat, karena para sahabat ketika mendengarkan pengharaman khamar, maka mereka memahami bahwa pengharaman ini mencakup nabiz juga. Apalagi ayat pengharaman khamar itu diturunkan di Madinah, dimana pada waktu itu minuman keras dibuat dari kurma dan biji-bijian.(Ibid., hlm. 646).
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang pengertian khamar, namun itu tidak berdampak pada membolehkan meminum sedikit minuman yang berpotensi memabukkan, karena ulama Iraq dan ulama Hijaz telah sepakat bahwa Allah telah mengharamkan meminum banyak perasan anggur karena memabukkan dan mengharamkan yang sedikit karena menjadi wasilah untuk meminum banyak, dan hal itu juga berlaku pada nabīz.(Ibid).
Al-maysir berarti judi, berasal dari kata yang berarti mudah atau gampang. Pertaruhan dan perjudian ini dinamakan maysir karena pekerjaan ini tidak melalui proses dan usaha yang sulit untuk mendapatkan hasil, kecuali dengan permainan sederhana, undian dan faktor untung-untungan. Pada bangsa Arab dahulu perjudian yang biasa mereka lakukan hanya terbatas pada pertaruhan sederhana dengan memakai tiga alat utama, yaitu qadah, azlam dan aqlam.
Qadah adalah kotak sebagai tempat, sedangkan azlam dan aqlam adalah benda yang dimasukkan ke dalam kotak yang dikocok oleh orang yang dipercaya. Setelah itu orang ini akan mengambil salah satu azlam atau aqlam atas nama orang tertentu, dan dari undian inilah dilihat apakah beruntung atau buntung. Perjudian pada zaman sekarang sudah sangat beragam bentuk dan caranya. Maysir tidak terbatas pada bentuk pertaruhan bangsa Arab zaman dahulu, tetapi mencakup seluruh bentuk perjudian yang berlaku di tengah masyarakat. Dengan demikian ketentuan hukum tentang maysir mencakup atas semua bentuk dan cara perjudian.
Adapun sebab turun ayat ini menurut Hadits riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah sebagai berikut,
Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Telah diharamkan khamar sebanyak tiga kali. Tatkala Rasulullah saw datang ke Madinah, beliau mendapati para sahabat sedang minum-minum khamar dan bermain judi. Kemudian mereka menanyakan kepada Rasulullah saw tentang khamar dan judi. Lalu turunlah firman Allah, yas ‘alūnaka ‘anil khamri wal maysir qul fī himā itsmun kabīrun wa manāfi’u lin nāsi wa itsmu humā akbaru min naf’ihimā…
sampai akhir ayat. Setelah mendengarkan ayat ini mereka berkata, “Tidak diharamkan atas kita, Allah hanya berfirman, ‘pada keduanya terdapat dosa yang besar’.” Mereka masih tetap meminum khamar, sampai ada kejadian dimana salah seorang dari kalangan Muhajirin melaksanakan shalat, dan ia mengimami orang banyak pada waktu shalat Maghrib, dan terdapat kesalahan dalam bacaannya (karena ia meminum khamar), maka turunlah ayat yang lebih keras (yaitu firman Allah dalam Qs An-Nisa’ [4]: 43 yang melarang shalat dalam keadaan mabuk).
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 13 Tahun 2017