JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Peraturan Menteri Agama nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim menuai kontroversi. Demikian juga dengan rencana pengawasan masjid oleh kepolisian. Muhammadiyah memandang kebijakan tersebut terlalu jauh mengatur ranah aktivitas keumatan di akar-rumput yang semestinya dihidupkan dan didorong secara positif, sejalan dengan kepribadian dan dinamika masyarakat Indonesia yang hidup dalam kegotongroyongan dan paguyuban.
Pengajian rutin di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, 13 Desember 2019, mengusung tema: “Regulasi Majelis Taklim, Haruskah?”. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam pengantarnya mengajak pemerintah untuk lebih seksama dalam membuat kebijakan. Menurutnya, Muslim Indonesia yang mayoritas di negeri ini sangat moderat. Seharusnya tidak perlu peraturan-peraturan yang membelenggu dan tidak perlu.
Niat baik pemerintah patut dihargai. “Semua kebijakan lahir tidak di ruang kosong. Ada mubaligh yang baca al-Qur’an tidak fasih. Pemahaman agama isinya ada juga yang tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Ada juga ulama instan, dulu beragama lain tiba-tiba masuk Islam, lalu jadi penceramah,” ujar Mu’ti. Namun jangan sampai ada generalisasi.
Mu’ti juga menyampaikan tentang prinsip Muhammadiyah dalam menyampaikan pandangan. “Muhammadiyah memegang prinsipnya yang independen dalam menilai semua permasalahan,” ujarnya. Tidak benar jika dikatakan bahwa Muhammadiyah mengkritik atau sebaliknya bungkam karena didorong oleh faktor sumbangan.
Direktur Penais Kemenag RI Ahmad Juraidi menyebut beberapa pertimbangan tentang PMA yang terdiri dari 6 Bab dengan 22 pasal. Regulasi ini antara lain mengatur: tugas dan tujuan majelis taklim, pendaftaran, penyelenggaraan yang mencakup pengurus, ustadz, jemaah, tempat, dan materi ajar.
Pasal 20 PMA ini mengatur tentang pendanaan majelis taklim yang dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan perundang-undangan. Penerima bantuan ini harus terdaftar. Pasal 6 ayat (1) PMA disebutkan majelis taklim harus terdaftar pada kantor Kementerian Agama. “Peraturan ini tidak lahir ujuk-ujuk, kita mengundang juga berbagai perwakilan,” kata Juraidi.
Pendaftaran ini diperlukan untuk pendataan dan peta dakwah. “Pemetaan kebijakan pembinaan pemerintah harus berbasis pada data. Majelis taklim juga dalam rangka penguatan majelis taklim. Seandainya ada bantuan pemerintah, harus terdaftar. Pendanaan dari APBN/APBN ini dalam rangka penguatan majelis taklim,” ulasnya. Saat ini, tidak ada data tentang jumlah majelis taklim yang valid.
Juraidi mengakui konstribusi masyarakat dalam pembangunan bidang agama sangat luar biasa. “Tumbuh masjid, surau, langgar, meunasah, termasuk pesantren, madrasah itu tumbuh dari bawah. Majelis taklim termasuk yang tumbuh dari bawah. Majelis taklim ini adalah pendidikan non-formal yang sangat fleksibel, dari segi waktu dan tempat.”
Komisi VIII DPR RI M Ali Taher Parasong menyatakan bahwa kebijakan ini rancu sembari menyebut beberapa alasan dari perspektif hukum. Dirinya mengaku berkomitmen mengawasi kebijakan pemerintah sebagai pelaksanaan tugas DPR yang berkaitan dengan kebijakan publik: pembuat undang-undang, penganggaran, pengawasan.
Undang-undang harus punya jiwa. Undang-undang, kata Ali Taher, lahir karena dua faktor: kebutuhan masyarakat (sociological jurisprudence) atau karena rekayasa sosial atau rekayasa politik (sosial engineer). Dia melihat lebih banyak UU lahir karena rekayasa politik dibandingkan kebutuhan masyarakat itu sendiri. “Maka saya tidak pernah bosan mengkritik, termasuk otokritik.”
Khususnya Kementerian Agama, Ali Taher berharap kementerian ini fokus menjalankan fungsi agama dan fungsi pendidikan. Tidak perlu mengurusi hal remeh-temeh. “Kementerian Agama harus menjadi penjaga rohani bangsa yang sesuai semangat founding father,” ujar mantan Sekum PP Pemuda Muhammadiyah ini.
Ali Taher menombang PMA Nomor 29 Tahun 2019 ini dalam kacamata Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD 1945. “PMA ini cacat bahkan batal demi hukum.” Alasan Ali Taher Parasong: pertama, isi undang-undang harus lahir dari dasar pemikiran sosiologis dan politik, harus ada kejelasan tujuan. Kedua, kelembagaan yang membuat UU harus tepat dan telah melalui kajian yang mendalam. Harus menguasai masalahnya.
Ketiga, ada kesesuaian antara jiwa hierarki perundang-undangan. PMA ini tidak. “APBN yang dijanjikan bagi majelis taklim sebenarnya hanya kamuflase karena tidak melibatkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Saya yakin PMA ini tidak bisa dijalankan,” kata politisi asal Flores ini. Keempat, UU harus dapat dilaksanakan. “PMA ini tidak bisa dijalankan karena datanya saja tidak jelas.”
Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menyayangkan terbitnya PMA nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Menurutnya, majelis taklim sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, bahkan sejak puluhan tahun sebelum negara lahir. Aturan ini dianggap mundur ke belakang. “Di zaman Belanda, majelis taklim diawasi Belanda. Jika ada kata ‘merdeka’ langsung ditangkap.”
Majelis taklim, kata Dadang, bisa berumur panjang karena kehadirannya bermanfaat bagi masyarakat untuk penguatan paham keagamaan. Menurutnya, kalau ada segelintir majelis taklim yang keliru, jangan lantas semua majelis taklim dicurigai. “Yang satu salah, radikal, jangan semuanya dianggap salah,” ujarnya.
Mengatur terlalu jauh, dianggap justru “memendekkan usia” majelis taklim. Dadang mencontohkan, anak-anak muda semakin tidak tertarik pada majelis taklim. “Minat belajar agama anak milenial hanya 6 persen. Minat pada olahraga 30 persen. Ada data PPIM UIN Jakarta, 56% orang Indonesia belajar agama dari media sosial. Kira-kira 164 juta orang pengguna internet, dan 150 juta di antaranya menggunakan media sosial.”
Ketua PP Muhammadiyah ini menceritakan tentang jamaah majelis taklim di kampungnya tidak tetap menghadiri satu majelis taklim. Seorang jamaah bisa mengikuti lebih dari tiga majelis taklim. Peraturan harus mendaftarkan majelis taklim justru menyulitkan. “Bahkan dikhawatirkan justru memadamkan sinar yang tumbuh,” ungkap Guru Besar Sosiologi Agama UIN Bandung ini.
Dadang khawatir jika aturan ini berupaya untuk menyeragamkan paham keagamaan masyarakat sehingga semuanya sesuai dengan paham keagamaan pemerintah. “Penyeragaman paham keagamaan itu tidak baik. Bahkan melarang atau menutup majelis taklim karena berbeda dengan paham keagamaan pejabat kemenag itu yang disebut memaksakan kehendak atau truth claim,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan tentang perlunya membangun kehidupan kebangsaan yang positif. “Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan memerlukan visi yang luas dan jiwa kenegaraan yang mendalam agar tidak terjebak pada langkah-langkah sesaat yang kelihatan menyelesaikan masalah tetapi malah menimbulkan masalah yang lebih berat. Manakala ada masalah besar dan krusial, sebaiknya ditempuh dialog dan musyawarah untuk ditemukan jalan keluar bersama sesuai prinsip Persatuan Indonesia.”
Semua pihak harus bijak, memiliki visi dan jiwa kenegaraaan yang melintasi agar tidak salah langkah, yang membuat kehidupan kebangsaan menjadi gaduh dan penuh pertentangan. “Pemerintah dan semua komponen bangsa harus belajar pada sejarah era Orde Lama dan Orde Baru agar tidak mengulangi kesalahan yang sama,” tukas Haedar Nashir. (ribas)