Oleh Fahd Pahdepie
Dua tulisan gegabah karya Nasrudin Joha dan Agung Wisnuwardana belakangan beredar di sejumlah grup WhatsApp warga Muhammadiyah dan memicu polemik. Pasalnya, mereka menuduh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, telah menyudutkan umat Islam dalam makalah dan pidato pengukuhan jabatan guru besar yang diterimanya Rabu lalu (12/12) di Yogyakarta.
Secara serampangan Agung Wisnuwardana dan Nasrudin Joha menuduh Prof. Haedar telah memfitnah Hizbut Tahrir (HT) kerena mengkategorikannya sebagai salah satu kelompok radikal. Padahal, yang dilakukan Prof. Haedar adalah menyajikan pernyataan akademik yang bersifat referensial untuk memulai argumen utamanya yang justru hendak mengoreksi kesalahan kita selama ini dalam menggunakan term ‘radikal’, ‘radikalisme’, dan ‘deradikalisasi’.
Sesat Pikir Dua Penulis Siluman
Sebagai seorang akademisi yang ketika itu menerima penyematan gelar akademik tertinggi untuk menjadi guru besar, pernyataan Prof. Haedar tentu bukan berasal dari argumen yang tak berdasar. Secara hati-hati dan bertanggung jawab ia menuliskan referensi yang diacunya. Ketika menyebutkan Hizbut Tahrir (bukan Hizbut Tahrir Indonesia—HTI), Prof. Haedar sedang membahas sejumlah kelompok radikal sebagaimana dikemukakan intelektual Turki Ömer Taspinar sebagai kelompok yang melakukan gerakan bernuansa kekerasan (violent movement).
Prof. Haedar sama sekali tak menyebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagaimana dituduhkan Nasrudin Joha, baik dalam makalah maupun pidatonya. Ia menyebut Hizbut Tahrir sebagai salah satu organisasi yang secara faktual dikategorikan sebagai kelompok radikal dalam berbagai referensi akademik, menyusul fakta bahwa Hizbut Tahrir memang tercatat terlibat melakukan upaya kudeta di sejumlah negara.
Mesir membubarkan Hizbut Tahir pada tahun 1974 lantaran diduga terlibat upaya kudeta dan penculikan. Di Suriah, organisasi ini dilarang lewat jalur ekstra-yudisial pada 1998 karena terbukti menyusun kekuatan bersenjata. Percobaan kudeta juga pernah dilakukan di Yordania pada pertengahan tahun 60-an. Fakta-fakta inilah yang membuat sejumlah riset akademik mengkategorikan Hizbut Tahrir sebagai salah satu kelompok radikal.
Namun, sebenarnya ketika Prof. Haedar menuliskan Hizbut Tahrir secara berurutan dalam kategori kelompok radikal bersama Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah, ia sebenarnya sedang menyusun argumen kritis dengan mengacu pada kategorisasi yang dilakukan John L. Esposito dan Iner Deyra (‘Islamophobia and Radicalization: Breeding Intolerance and Violence’, 2019). Kedua intelektual ini meyakini bahwa penyematan kata radikal lebih sering diikuti dengan bias islamofobia.
Di sini jelas sekali bahwa Agung Wisnuwardana dan Nasrudin Joha gagal faham pada maksud Prof. Haedar. Selain bahwa mereka terbaca sama sekali tidak familiar dengan cara bagaimana sebuah tulisan akademik membangun argumen ilmiahnya.
Maka ketika keduanya menuduh Prof. Haedar justru mengokohkan ‘framing’ Barat yang menyudutkan Islam, apalagi diikuti dengan penekanan bahwa Prof. Haedar memberi legitimasi pada narasi mendzholimi umat Islam sebagaimana dilakukan pemerintah, semua itu merupakan tuduhan serampangan yang berasal dari sesat pikir yang akut.
Nasrudin Joha bahkan memberikan pelabelan yang lebih parah. Ia melakukan insinuasi bahwa Prof. Haedar merupakan antek Barat yang menyudutkan umat Islam. Sambil berusaha mengutip ayat al-Quran di tempat yang salah, ia bahkan menuduh Prof. Haedar ‘memakan bangkai saudaranya sendiri’. Dengan alasan bahwa makalah dan pidato akademik Prof. Haedar tak melakukan mengkonfirmasi kepada HTI, yang sebetulnya sama sekali ‘nggak nyambung’ paling tidak dengan dua alasan.
Pertama, Prof. Haedar sama sekali tidak menyebut atau menyinggung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) baik dalam makalah maupun pidatonya. Kedua, pengutipan yang dilakukan Joha sama sekali salah. Ia menyebut makalah Prof. Haedar sepanjang 54 halaman, padahal sebenarnya 84 halaman. Terbaca jelas bahwa Joha tidak memahami secara memadai argumen yang dibangun Prof. Haedar, bahkan jangan-jangan tidak membacanya secara utuh hingga tuntas.
Sejatinya baik tulisan Agung Wisnuwardana maupun Nasrudin Joha sama sekali tidak layak ditanggapi. Namun, penyesatan opini yang dilakukan keduanya belakangan terus disebarkan dan menimbulkan kesalahpahaman di sejumlah kalangan yang tidak bisa mengakses makalah Prof. Haedar secara utuh. Apalagi, di tengah era media sosial dan banjir informasi seperti saat ini, tulisan Agung dan Joha yang pendek bisa jadi lebih cepat tersebar dan dianggap kebenaran daripada makalah utuh Prof. Haedar yang berjumlah 84 halaman.
Memahami Pemikiran Sang Profesor
Di bagian akhir ini, sebagai upaya untuk melakukan pencerahan dan pelurusan penyesatan opini yang dilakukan Joha dan Agung terhadap Prof. Haedar Nashir, izinkan saya sedikit menjelaskan pokok argumen Prof. Haedar tentang moderasi Indonesia dan keindonesiaan sebagaimana disampaikan dalam pidato pengukuhan guru besar sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Rabu (12/2) lalu. Hari itu saya mendengarkan secara utuh isi pidato Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut, juga membaca serta menelaah isi makalahnya hingga tuntas.
Pertama-tama, Prof. Haedar menyoal pelabelan kata ‘radikal’ dan ‘radikalisme’ yang sering dilakukan secara salah kaprah di tengah masyarakat. Apalagi jika upaya lebelisasi itu diiringi narasi yang berusaha menempatkan benar-salah secara diametral. Prof. Haedar terasa sangat keberatan dengan monopoli tafsir yang dilakukan pihak manapun—bahkan ketika itu dilakukan oleh negara sekalipun—sebab jika hal itu terjadi maka yang muncul adalah upaya melawan satu kutub ‘radikal’ dengan cara melahirkan radikalisme di kutub yang lain.
Di sinilah Prof. Haedar mengajukan keberatannya tentang istilah atau upaya ‘deradikalisasi’ atau ‘deradikalisme’. Baginya, deradikalisasi justru akan menciptakan relasi oposisional yang bersifat biner. Secara sosiologis, apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini justru adalah munculnya radikalisme baru yang diawali oleh sikap perlawanan terhadap radikalisme di pihak yang lain. Jika ini terus dibiarkan, yang akan muncul di kemudian hari adalah konflik dan perpecahan.
Akhirnya, Prof. Haedar mengangajukan satu solusi untuk menghindari situasi tersebut. Ia mengajukan ‘moderasi Indonesia dan keindonesiaan’ untuk mengganti narasi deradikalisasi. Sebab, baginya, yang harus dilakukan justru adalah membawa masyarakat Indonesia kembali ke karakter aslinya yang moderat, yang ‘wasathiyah’, yang tengahan, sesuai dengan nilai-nilai yang sudah disepakati para pendiri bangsa dalam sebuah konsensus bersama yang diberi nama Pancasila.
Jika kita berhasil memahami argumen utama Prof. Haedar ini, sesungguhnya ia ingin menghentikan semua narasi yang selama ini justru sedikit banyak merugikan Islam—juga merugikan Indonesia. Seandainya kita berhenti menggunakan istilah ‘deradikalisasi’, dan menggantinya dengan istilah ‘moderasi’, sebagai ‘quick win’ ini akan mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih guyub, toleran, bersatu dan damai.
Akhirnya, mari kita hindari serta lawan bersama narasi-narasi sesat dan menyesatkan sebagaimana dilakukan Agung Wisnuwardana dan Nasrudin Joha. Lagipula, kedua penulis ini tidak jelas rimbanya, mereka hanya menggunakan nama samaran untuk mengemukakan argumen yang seringkali provokatif dan tak berdasar. Bila polemik ini berlanjut, saya kira layak untuk kita terus persoalkan ke level yang lebih serius. Karena Agung dan Joha bukan hanya menyerang Prof. Haedar secara pribadi, tetapi juga telah menuliskan opini menyesatkan yang berpotensi memicu perpecahan.
Barangkali balada dua penulis siluman yang menyalahpahami satu guru besar ini pada awalnya terasa lucu dan menggelikan. Tetapi sejatinya mengganggu dan berbahaya jika tidak diluruskan. Tabik.
Fahd Pahdepie, Intelektual muda Muhammadiyah