JAKARTA, Suara Muhamamdiyah – Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) bertemu dengan Menkopolhukam RI Prof Dr Mahfud, hadir Ketua Umum MAHUTAMA Prof D. Aidul Fitriciada Azhari, Sekjend Auliya Khasanofa, Pengurus lainnya yakni Dr M Ilham Hermawan, Dr Sri Suatmiati, Salis M Abduh, Ummu Salamah dan Ibnu Hayyan, Senin (16/12).
Aidul menyampaikan bahwa Negara Pancasila sebagai dar al-‘ahdi wa al-syahadah. Negara Indonesia adalah negara Pancasila sebagai hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam).
Oleh karena itu, pengamalan Pancasila harus diarahkan pada penguatan konsensus nasional dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dan menghindarkan bentuk-bentuk stigmatisasi terhadap salah satu atau sebagian elemen bangsa dengan menggunakan Pancasila. Dengan cara demikian, terdapat ruang deliberasi bersama untuk membuktikan kesaksiannya sebagai warga bangsa dalam melaksanakan Pancasila di negeri Indonesia secara aman dan damai.
Pentingnya moderasi kehidupan beragama dalam menghadapi kecenderungan konservativisme beragama yang kerap mendorong radikalisme dan ektremisme dalam beragama yang dapat mengancam harmoni sosial bangsa Indonesia yang berwatak majemuk. Upaya memoderasi kehidupan beragama harus lebih diutamakan dibandingkan dengan upaya deradikalisasi yang justru akan mengundang resistensi dan semakin meningkatkan radikalisme keagamaan tegas Aidul yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Yudisial.
MAHUTAMA menyoroti reformasi yang telah berjalan dua dasawarsa ditandai oleh kecenderungan menguatnya demokrasi prosedural yang mengarah pada terbentuknya oligarki politik yang dapat mengancam masa depan demokrasi di Indonesia. UUD NRI Tahun 1945 memang memberikan kekuasaan yang besar kepada partai politik untuk membentuk pemerintahan dan menjalankan kekuasaan pemerintahan.
Ketentuan ini telah mendorong konsolidasi kekuasaan di kalangan partai politik yang mengarah pada terbentuknya oligarki politik yang sudah barang tentu akan mengasingkan rakyat dalam pengambilan keputusan secara demokratis. Oleh karena itu, patut dipertimbangkan untuk memperkuat keterlibatan masyarakat sipil, baik ormas maupun LSM, dalam proses pengambilan keputusan publik. Lebih jauh lagi, Muhammadiyah memandang perlu untuk menghidupkan kembali utusan golongan sebagai cara untuk melembagakan kekuatan masyarakat sipil dalam kehidupan bernegara, termasuk Muhammadiyah dan NU yang merupakan dua ormas terdepan yang terlibat dalam pembentukan Republik Indonesia.
MAHUTAMA mendukung RUU Omnibus Law bidang Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan yang diharapkan dapat mendorong investasi dan meningkatkan industri, perdagangan serta tersedianya kapangan kerja di Indonesia. Namun demikian, sepatutnya RUU Omnibus Law tidak mengabaikan aspek lingkungan dan tidak mengarah pada sentralisasi pemerintahan di Indonesia.
Untuk menghindari penguatan sentralisasi itu dan sejalan dengan susunan negara Indonesia sebagai negara kesatuan, maka lebih baik dipertimbangkan penguatan asas dekonsentrasi Pusat terhadap Daerah demi efektivitas dan efisiensi pembangunan tukas Aidul yang juga Guru Besar HTN FH Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Prof Mahfud sebagai Menkopolhukam menyambut baik penyampaian dari MAHUTAMA terutama mengenai Pancasila sebagai dar al-ahdi wa al-syahadah yang langsung memperhatikan buku yang diberikan oleh Aidul secara simbolis yang merupakan hasil Muktamar Muhammadiyah di Makassar. Menkopolhukam mengajak MAHUTAMA untuk mengadakan bersama kajian ketatanegaraan seperti pembahasan fiqih demokrasi, HAM, pemilu dan hal yang penting untuk memajukan hukum di Indonesia.
Sekjend MAHUTAMA Auliya Khasanofa yang juga Akademisi FH Universitas Muhammadiyah Tangerang menambahkan berbagai hal yang disampaikan dalam audiensi dengan Menkopolhukam sudah melalui diskusi dan kajian rutin MAHUTAMA di Pimpinan Pusat Muhammadiyah termasuk yang belum lama ini mengenai Omnibus Law.(Riz)