Mengapa Muhammadiyah Tidak Bertarekat?

Mars Muhammadiyah tanfidz

Muhammadiyah Dok SM

Pertanyaan:

Saya ingin bertanya kepada redaksi pengasuh rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah: Mengapa kita Muhammadiyah tidak bertarekat?

Demikian, terima kasih. Nyakmat, Labuhan Haji, Aceh Selatan

(disidangkan pada hari Jum’at, 26 Jumadilawal 1435 H / 28 Maret 2014 M)

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan saudara. Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami akan menjelaskan sekilas mengenai tarekat.

Tarekat berarti jalan, cara, metode, sistem, madzhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang tempat berlabuh. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan diri yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendapatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Sebagai jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, orang yang melakukan tarekat tidak dibenarkan meninggalkan syariat, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama.

Agar dapat melaksanakan tarekat dengan baik, seorang murid hendaknya mengikuti jejak dan melaksanakan perintah serta anjuran yang diberikan mursyid (guru)nya. Ia tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan, dan dengan segala kekuatannya ia harus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari dosa dan noda yang dapat merusak amal. Ia juga harus memperbanyak ddzikir, wirid dan doa, serta memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin. Untuk tidak melanggar hukum-hukum agama, murid harus belajar ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat.

Biasanya untuk melaksanakan aktivitas tarekat secara baik, pengikut tarekat dimasukkan ke sebuah tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar), zawiyat (tempat ibadah kaum sufi) atau khandaq. Di tempat inilah amaliah tarekat dilaksanakan, baik berupa dzikir, ratib, pembacaan wirid-wirid atau syair-syair tertentu yang diiringi dengan bunyi-bunyian seperti rebana dan melakukan gerakan-gerakan menari mengiringi wirid yang dibaca, maupun berupa pengaturan nafas yang berisi dzikir tertentu.

Tarekat banyak muncul pada abad keenam dan ketujuh Hijriah, ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam dan dijadikan sebagai filsafat hidup. Pada periode ini tasawuf memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus, sedangkan sebelumnya, tasawuf dipraktikkan secara individual di sana-sini tanpa adanya ikatan satu sama lain. Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat menjadi semacam organisasi atau perguruan, dan kegiatannya pun semakin meluas, tidak terbatas hanya kepada dzikir dan wirid atau amalan-amalan tertentu saja. Tetapi juga pada masalah-masalah lain yang bersifat duniawi. (Bisri M Djaelani, Ensiklopedi Islam, Panji Pustaka Yogyakarta, cetakan pertama, juni 2007, Hlm. 391-392).

Tarekat terbelah menjadi beberapa golongan, di antaranya: Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyyah, Tarekat Qadiriyah dan lain-lain.

Muhammadiyah meskipun tujuan ibadahnya sama dengan tarekat termasuk dengan umat Islam yang lain, yakni bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun dalam praktiknya Muhammadiyah berbeda dengan Tarekat. Untuk lebih jelasnya kami akan mencantumkan butir ke-3 dan ke-4 dari Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) yang mengandung persoalan mengenai paham agama menurut Muhammadiyah.

Butir ke-3 MKCH Muhammadiyah: Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:

a Al-Qur`an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw;

b Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran AlQur`an yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.

Butir ke-4 MKCH Muhammadiyah: Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:

a Akidah

b Akhlak

c Ibadah

d Muamalah Duniawiyah

4.1 Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

4.2 Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.

4.3 Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah saw, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.

4.4 Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya muamalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SwT.

Menilik naskah MKCH Muhammadiyah di atas, maka jelaslah alasan Muhammadiyah tidak bertarekat, yakni karena dalam mengamalkan agama, adanya perbedaan mendasar khususnya dalam bidang praktik ibadah, seperti berdzikir, ratib, pembacaan wirid-wirid atau syair-syair tertentu yang diiringi dengan bunyibunyian rebana, melakukan gerakangerakan menari mengiringi wirid yang dibaca, berupa pengaturan nafas yang berisi dzikir tertentu. Berbagai contoh di atas tidak diamalkan oleh Muhammadiyah karena tidak ada tuntunannya. Melaksanakan amalan dalam bidang ibadah yang tidak ada tuntunannya tidak dapat dibenarkan. Dalam suatu Hadits dijelaskan:

Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda: Barangsiapa yang membuatbuat hal baru dalam urusan (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia tertolak. [Muttafaqun ‘alaih] Dalam riwayat lain dari Muslim: Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasari perintah kami, maka ia tertolak.

Dalam Hadits lain Rasulullah saw. bersabda:

Diriwayatkan dari Abi Najih al- ‘Irbadh bin Sariyah ra. Ia berkata: Rasulullah saw menasehati kami sebuah nasehat yang sangat jelas yang dapat menggetarkan hati dan meneteskan air mata, kemudian kami berkata: Wahai Rasulullah, seolaholah ia (nasehat) itu adalah nasehat perpisahan, maka nasehatilah kami, (kemudian) beliau bersabda: Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintahkan kalian adalah seorang hamba dari Habasyah. Dan sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang (masih) hidup, maka ia akan melihat banyak perselisihan. Oleh karena itu hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin al-Mahdiyyin (yang mendapatkan hidayah), gigitlah (berpegang teguh) Sunnah-Sunnah itu dengan gigi geraham. Dan hendaklah kalian menghindar dari suatu perkara yang baru, karena setiap bid’ah adalah sesat. [HR Abu Dawud: 4608, dan at-Tirmidzi: 2676. At-Tirmidzi berkata; Hadits ini adalah Hadits hasan sahih].

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 Tahun 2015

Exit mobile version