Dr Agung Danarto, MAg
Pendidikan Muhammadiyah yang digagas oleh kiai Dahlan saat itu merupakan respon sekaligus antitesa terhadap sistem pendidikan yang berkembang pada zamannya. Pada waktu itu, paling tidak ada dua sistem pendidikan. Sistem pendidikan Belanda dan sistem pendidikan pesantren.
Respon dari Kiai Dahlan juga ada dua. Pertama adalah respon dari sistem pendidikan Belanda. Sebagaimana yang kita ketahui, karena desakan berbagai pihak sejak tahun 1901 Belanda melakukan politik balas budi yang kemudian dikenal dengan nama politik etis. Hal itu diwujudkan antara lain dengan membuka peluang pendidikan bagi warga bumi putera atau warga pribumi untuk bisa mengenyam pendidikan.
Bersamaan dengan itu, didirikan lembaga pendidikan di berbagai tempat. Pendidikan yang semula hanya diperuntukkan bagi mereka yang golongan ningrat, sejak 1901 dibuka untuk berbagai lapisan masyarakat. Rakyat biasa bisa mengenyam pendidikan Belanda.
Sudah barang tentu, sistem pendidikan Belanda ini murni ilmu umum. Respon pendidikan dari Kiai Dahlan adalah dengan memasukkan berbagai pendidikan agama di dalamnya.
Konon, sebelum memberikan respon dengan mendirikan sekolah, Kiai Dahlan terlebih dahulu menjadi pengajar di “sekolah Belanda” dengan memberikan pelajaran agama Islam yang non SKS dan sifatnya suka rela, dan mungkin juga Kiai Dahlan tidak digaji saat itu.
Model inilah yang berkembang menjadi sekolah umum sekarang yang mana sejatinya mengajarkan muatan umum namun diberikan pendidikan keagamaan.
Respon kedua yang diberikan Kiai Dahlan adalah yang ditujukan ke bentuk sistem pendidikan pesantren yang pada saat itu hanya mengajarkan ilmu agama saja. Tidak ada ilmu umumnya sama sekali. Sistem pembelajarannya pun tidak klasikal namun sorogan.
Respon Kiai Dahlan adalah dengan mempertahankan pondok pesantrennya tetapi muatan-muatan pengajarannya diberi muatan ilmu pengetahuan umum. Salah satu contoh respon ini adalah madrasah Muallimin Muhammadiyah, dan ini merupakan respon dari Kiai Dahlan yang telah ada sejak lama.
Sistem pesantren sendiri sebenarnya merupakan sistem yang sudah ada dari lama, sejak awal mula. Namun, memang diakui bersama berkembangnya zaman, lembaga ini tidak mengalami perkembangan, malah lembaga pendidikan umum yang menambah muatan agama berkembang.
Saat ini juga ada yang mengemukakan “Orang NU saja yang core nya pesantren, kini sudah meninggalkan pesantren dan membangun lembaga pendidikan-pendidikan umum. Muhammadiyah yang sudah memiliki lembaga pendidikan umum mengapa ingin kembali kepada pesantren?”
Inilah tantangan kita yang sebenarnya untuk merumuskan jati diri pesantren Muhammadiyah yang merupakan pesantren berkemajuan itu seperti apa. Kalau dulu Kiai Dahlan ingin merumuskan dan mendidik ulama yang intelek sekaligus intelek yang ulama itu artinya ada dimensi ukhrawi dan dimensi duniawi yang harus dikuasai. Ia memiliki bekal ilmu agama, tapi ia juga mempunyai keterampilan untuk hidup di dunia ini juga. Nah, inilah menurut saya yang perlu dirumuskan oleh pesantren Muhammadiyah.
Sekarang ini, banyak pengurus dan pimpinan pondok pesantren yang masih muda dan mumpuni yang tentunya ke depan akan semakin banyak terobosan dan strategi yang luar biasa untuk mengembangkan pesantren. (thari)
Disarikan dari ceramah di Pembukaan forum silaturahmi Pondok Pesantren Muhammadiyah Regional Jatim-DIY di MBS Yogyakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 Tahun 2016